Friday, November 28, 2014

Loneliness

Menjadi seorang pengusaha itu memang menyisakan banyak cerita.

Sebagai seorang nubie di dunia bisnis, langkah saya pun masih tertatih tatih. Kadang saya bingung harus bagaimana, kadang saya punya ide dan rencana yang bagus, tapi berantakan dalam mengeksekusinya. Salah satu hal yang sampai saat ini masih saya pelajari dengan teramat dalam adalah bagaimana berhubungan dengan manusia.

Manusia yang telah Allah SWT ciptakan beraneka ragam rupanya, wataknya, gaya bicaranya, latar belakang pendidikan dan lingkungan sosialnya. Namun di setiap interaksi dengan orang lain, saya selalu menemukan sesuatu, belajar sesuatu yang baru.

Misal, saat salah satu customer menghubungi saya via telepon. Awalnya memang pembicaraan kami seputar bisnis, dan saya pun menanggapinya secara profesional. Namun tak jarang yang kemudian menjadi merasa akrab lalu kemudian memuntahkan isi hatinya kepada saya. Iya, via telepon.

Saya selalu menganggap bahwa setiap interaksi yang saya lakukan bersama customer saya, itu adalah bagian dari pekerjaan. Bahwa menyimak dan menanggapi, bahkan mencoba memberi solusi atas persoalan pribadinya adalah bagian dari pekerjaan saya. Dan ketika saya bekerja, saya melakukannya dengan sungguh-sungguh. Saya tidak suka main-main.

Dan ketika ada customer yang menjadi merasa begitu akrab kepada saya, dia sering curhat, bahkan hampir setiap saat, saya menjadi tertegun sesaat. Apa yang sedang terjadi di sini?

Disadari atau tidak, sesungguhnya, setiap manusia itu kesepian. Ada orang yang mudah menyadarinya, tapi tidak memiliki solusi atasnya, kemudian menjadi depresi. Ada juga yang seperti saya (mungkin) yang belum kunjung menyadarinya, atau hidup di dalam penyangkalan dan berusaha membenamkan diri dalam berbagai macam kegiatan untuk membunuh rasa kesepian itu.

Kadang kala rasa kesepian itu memang tidak dirasakan, sampai kita menemukan orang yang bisa membuat kita tidak lagi kesepian.

Barusan saya menyadarinya. Saat salah seorang customer mengirim sms kepada saya, "Teh, masa beras banyak semutnya sih"
Saya spontan membalas, "Maksudnya?"
Sms balasan darinya masuk dengan cepat, isinya "Iya, kok bisa sih beras disemutin? Ini berasku disemutin"

Saya pun termenung dengan lama. Apakah itu tanda-tanda kesepian?
Hati saya begitu tersentuh. Kalau ia benar-benar sedang kesepian dan sama sekali tidak memiliki solusi atasnya, dan meng-sms saya hanya untuk berbicara masalah beras dan semut adalah salah satu cara yang bisa ia pikirkan untuk membunuh rasa kesepian itu, solusi apa yang bisa saya berikan?
Saat itulah saya melepaskan 'pakaian pekerjaan' saya, dan berusaha untuk menjadi temannya. Hanya temannya. Karena mungkin itulah yang paling dia butuhkan saat ini.

Kami berbincang lama, tidak ada urusannya dengan pekerjaan. Hingga barusan, sms terakhir saya tidak lagi dibalas olehnya. Mungkin dia sudah tertidur.

Saya tidak tau mengapa saya mengalami kejadian seperti ini. Mungkin ini teguran Allah kepada saya. Selama ini saya jarang merasa kesepian, bahkan saat saya sendirian dan dalam "pengasingan" dulu itu. Kalau berbicara soal kesepian, saya tidak terlalu mengerti.
Tapi malam ini, saya sedikit mengerti. Saya tiba-tiba menjadi lebih mengerti.

Saya bersyukur atas pelajaran yang Allah berikan pada saya melalui kejadian malam ini. Tiada tersia satu episode pun dalam drama kehidupan manusia. Allah selalu memberikan petunjukNya, hanya tergantung pada manusia, mau belajar dan bersyukur atau tidak.


Wednesday, November 26, 2014

Seorang lelaki dan seorang kakek

Terkisah, ada seorang lelaki yang buta aksara.
Karena keinginannya yang kuat untuk terbebas dari kebodohan, dia pergi menuntut ilmu. Dengan giat dan sabar, dia belajar dan belajar hingga suatu hari dia bertemu dengan seorang kakek.

Mereka berbincang-bincang santai. Sang kakek pun menemukan bahwa lelaki tersebut sedang dalam proses menimba ilmu. Sang kakek merasa tertarik, kemudian bertanya mengenai ilmu yang baru saja dipelajari oleh sang lelaki. Sang lelaki pun menjelaskan, sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya mengenai ilmunya. Dia bercerita dengan hati yang tulus dan antusias dalam membagi ilmunya, walau masih sedikit dan tak seberapa nilainya.

Setelah sang lelaki selesai bercerita, sang kakek memberikan komentarnya. Betapa ilmu yang baru saja dipelajari oleh sang lelaki bertentangan dengan apa yang diketahuinya. Sang kakek juga sempat menyebutkan beberapa ilmu lain yang mendukung pendapatnya.

Sesaat, sang lelaki tertegun. Ia pun bertanya-tanya dalam hati, siapakah kakek yang baru ditemuinya? Mengapa kakek tersebut justru mengetahui lebih banyak daripada dirinya sendiri?

Saat itulah kemudian sang kakek mengaku bahwa dulunya ia adalah seorang ilmuwan. Dari obrolan selanjutnya, sang lelaki menemukan bahwa sang kakek sangat pandai dan berwawasan luas. Ia pun merasa semakin malu, ia baru saja menjelaskan ilmu dan pemahamannya yang sederhana pada orang yang ternyata lebih berilmu, seolah menebar garam di lautan.

Sang lelaki terdiam. Ia tidak pernah bermaksud untuk merasa lebih pintar lalu untuk kemudian membagikan ilmunya yang sederhana kepada siapapun. Terlebih lagi, kepada seorang ilmuwan yang ilmunya telah melebihi dirinya. Tetapi sang kakek ilmuwan telah membuatnya seolah menjadi seperti itu.

Andaikan saja sang kakek mau jujur dan terbuka sejak awal bahwa ia adalah seorang ilmuwan yang telah mengetahui ilmu sederhana yang dimiliki oleh sang lelaki, mungkin mereka justru akan saling mengerti. Sang lelaki tidak akan menuai rasa malu, bahkan justru bisa belajar dari sang kakek.

Dan sang kakek, mungkin tidak akan kehilangan banyak waktu hanya untuk mendengarkan sang lelaki menjelaskan ilmu yang telah diketahuinya sejak lama.

Sunday, November 9, 2014

Tersesat

Hidup di dunia itu tidak sendirian, dan tidak terlepas dari konflik antar sesama manusia. Saat terjadi konflik, terkadang saya masih tidak mau memaafkan kesalahan orang lain. Masih mengingat-ingatnya, menyimpannya teramat dalam di hati saya, membuatnya semakin busuk seiring berjalannya waktu.
Saya masih enggan menyapa orang yang pernah menyakiti saya, tidak mau berkomunikasi dengannya, membuang muka saat bertemu dengannya, tanpa memberinya kesempatan untuk menjelaskan, atau meminta maaf.

Padahal Allah Maha Pengampun.
Jikalau Allah itu mendendam, Dia tidak akan memaafkan dan mengampuni dosa-dosa saya di masa lalu. Terus-menerus mengingatnya, menghitung-hitungnya, menantikan saat yang tepat untuk membalas segala perbuatan buruk saya di masa lalu.
Tetapi tidak, Allah memaafkan dan mengampuni dosa setiap makhlukNya, asalkan bukan dosa karena menyekutukanNya. Ia menerima taubat, tetap mengasihi dan menyayangi makhlukNya, mengabulkan do'a yang tulus dipanjatkan. Dia tidak pernah perhitungan dalam memberikan kasih sayangNya.

Jikalau Allah mau, Dia bisa membuka seluruh aib saya, menyebarkannya kepada jin dan manusia. Membuat saya bagaikan kotoran yang berjalan, menebarkan bau yang tak sedap.
Tetapi Allah menyimpannya, menyembunyikannya dengan amat rapi. Bahkan Allah masih memberi saya kesempatan untuk memperbaiki diri, memulai hidup yang baru, menjadi lebih baik, sampai akhirnya diri yang penuh aib ini menuai banyak pujian, kekaguman.

Lalu mengapa hati saya bisa sampai ingin menyebar aib dan keburukan orang lain? Menambah-nambahkannya dengan tujuan ingin seseorang dicap buruk oleh orang-orang lainnya. Lisan ini mudah memutar-balikkan fakta, menyebar hasut dan fitnah, semata ingin agar orang lain membenci seseorang?

Seringkali saya tidak sadar, bahwa saya sebagai manusia telah berperilaku berlebihan. Merasa diri yang paling baik, merasa memiliki hak untuk menghakimi orang lain. Merasa memiliki hak untuk membalas perlakuan buruk orang lain dengan perlakuan yang sama buruknya, bahkan lebih buruk.

Padahal Allah tidak pernah demikian.
Seburuk-buruknya saya, Allah tidak pernah menyulitkan hidup saya. Allah tidak pernah memberi apapun kepada saya kecuali yang terbaik. Bukan hanya itu, Dia juga masih mau mendengarkan do'a-do'a saya di saat saya putus asa, jeritan kesedihan terdalam saya yang tidak pernah sanggup saya ungkapkan kepada siapapun.
Ada trilyunan makhluk-Nya, masing-masing memohon untuk didengar dan ditanggapi. Tetapi Allah masih bisa berlaku adil, Dia mendengar setiap panjatan do'a, tidak pernah bosan mendengar do'a yang diucap berulang-ulang. Mengabulkan permohonan do'a yang sama.

Jikalau Allah itu pencemburu berat,
Sudah berapa kali Ia akan ngambek karena saya jarang menemuiNya saat senang dan hanya ingat padaNya saat saya sulit? Bahkan, di saat sholat, ruku', dan sujud pun saya tidak selalu mengingatNya. Terkadang dikalahkan oleh hal-hal sepele, seperti es krim, atau dering telpon, atau pekerjaan yang belum selesai.

Tetapi tidak, berapa kali pun ruku' dan sujud kita, walaupun seringnya dilakukan dengan kurang sempurna, Dia tetap bergembira menyambut kita.

Berapa kali pun ibadah lainnya yang saya lakukan hanya sebagai penggugur kewajiban dan terkadang bercampur riya', Allah tetap menganggap saya adalah hambaNya. Allah tetap mengharapkan kedatangan hambaNya kepadaNya dalam kondisi terbaik, dengan usaha yang terus menerus lebih baik.

Lalu mengapa saya mudah putus asa? Saat datang ujian Allah yang sedikit saja bertambah tingkat kesulitannya, saya mudah untuk merasa down, patah semangat, kebingungan mengatasi persoalan.

Padahal Allah tidak pernah satu kali pun membiarkan saya sendirian. Saat saya merasa jauh dariNya, bukan Dia yang menjauh, tetapi saya yang menjauh.
Harapan saya bukan lagi hanya padaNya, padahal Dia Yang Maha Menentukan.
Saat beban terasa semakin berat, saya malah memohon untuk diringankan beban tersebut, bukan memohon untuk diberikan diri yang semakin kuat.

Tetapi itu semua tidak membuat Dia membenci saya, atau makhluk lainnya yang mengalami hal seperti yang saya alami.
Allah tetap menyayangi setiap makhlukNya, tidak berkurang sedikitpun kasih sayangNya setiap saat.

Tanpa saya sadari, saya memang kufur nikmat selama ini. Selalu merasa kurang. Kurang cantik, kurang pintar, kurang sejahtera, kurang bahagia, terlalu banyak memiliki masalah.
Tapi, sesungguhnya Allah telah memberikan saya banyak hal, hanya saja saya yang amat sangat kurang bersyukur.
Kalau saya merasa kurang bahagia, itu bukan karena saya tidak memiliki sesuatu, tetapi karena saya tidak mensyukuri apa yang saya miliki.

Ah, sekarang saya tersadar bahwa selama ini saya sudah tersesat. Tersesat dalam labirin kenegatifan. Dan saat ini Allah telah menunjukkan secercah cahaya sebagai pedoman bagi saya dalam ketersesatan. Cahaya tersebut bernama hidayah.
Tugas saya saat ini adalah menjaga agar supaya cahaya tersebut tidak padam. Syukur-syukur jika menjadi semakin terang dan menerangi jalan di sekitar saya, membantu yang lain yang mungkin juga sedang tersesat.

"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)".
(Q.S. Ali Imraan: 8)

Friday, October 31, 2014

Syukur

Saya bersyukur.

Saya bersyukur atas apa yang saya miliki hari ini. Hal-hal yang belum tentu semua orang miliki. Yang terasa remeh temeh bagi saya, namun mahal bagi sebagian orang lain.
Kesehatan.
Hal yang seringkali terlupakan untuk disyukuri. Seperti keleluasaan untuk menghirup nafas kehidupan, kekuatan untuk tetap dapat beraktifitas, menjemput rizqi yang telah dijatahkan oleh Allah SWT.

Saya juga bersyukur atas rasa aman dan nyaman di rumah, tempat tinggal saya, yang walaupun bukan milik saya, tapi sanggup menjaga dan melindungi diri saya.
Betapa banyak orang yang memiliki tempat tinggal yang lebih baik namun tidak merasa cukup.

Saya amat bersyukur atas keluarga ini. Keluarga yang walaupun jauh dari kesempurnaan, namun tetap saling menjaga. Saya tidak menuntut keluarga ini menjadi sempurna, cukup bagi saya bahwa mereka ada dan selamanya mereka akan menjadi sumber motivasi bagi saya.
Betapa banyak keluarga lainnya yang terlihat sempurna dari luar, namun ternyata juga memiliki masalah yang lebih berat.
Setiap keluarga memiliki permasalahannya masing-masing.

Saya bersyukur, amat sangat bersyukur atas kecukupan rizqi yang Allah berikan kepada kami selama ini. Tiada pernah kekurangan satu rupiahpun, walaupun juga tidak berlebihan. Rizqi yang amat sangat cukup untuk menjaga kami tetap bertahan hidup, yang berusaha kami dapatkan dan keluarkan dengan cara yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Adil kepada setiap makhluknya. Tiada pernah tertukar rizqi setiap makhlukNya, walau satu sen pun.

Saya bersyukur atas nikmat iman, yang berfungsi sebagai benteng pertahanan diri saya diantara gempuran ujian, cobaan, dan godaan. Tiada pernah berkurang sedikitpun keyakinan saya, bahwa Tuhan Yang Maha Esa tidak akan pernah mendzolimi makhluknya, sesulit apa pun keadaan yang pernah terjalani.
Iman yang membawa saya kembali ke jalur yang benar setelah saya berkali-kali tersesat. Iman yang bagaikan cahaya di masa-masa kegelapan yang berulang kali terjadi.
Inilah nikmat yang paling saya syukuri. Tanpa pertolongan Allah, sesungguhnya saya tidak bisa apa-apa. Sesungguhnya saya hanyalah makhluk yang seringkali bodoh, ceroboh, tergesa-gesa, mudah putus asa. Namun berkali-kali, keimanan membawa saya pada keyakinan bahwa Ada Yang Menjaga saya. Dan selama saya percaya pada-Nya, semua tiada akan pernah tersia. Kesulitan, ujian, hambatan, kesedihan, kebahagiaan, semuanya pasti ada maksud dan tujuannya. Yaitu yang terbaik untuk saya.

Saya bersyukur atas semuanya. Saya bersyukur atas rasa syukur ini. Sesungguhnya saya telah merasa cukup, lebih daripada cukup. Allah telah memberikan semuanya pada saya. Apa lagi yang kurang?
Cara terbaik untuk mensyukuri rasa syukur ini adalah dengan berusaha yang terbaik. Apa pun yang saya lakukan dalam sisa hidup ini, saya berusaha untuk memberikan yang terbaik dari seluruh kemampuan saya.

Innasholaati wanusukii wamahyaaya wamamaatii lilLaahi Rabbil 'aalamiin..
sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah karena Allah, tuhan seluruh alam.

"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)" - Q.S. Ali Imraan:8

Tuesday, October 28, 2014

Agen Biro Jodoh

Bergabung di sebuah komunitas memang membuahkan banyak cerita.
Sebenarnya saya bukan orang yang suka bergaul ke sana kemari. Berkenalan dengan orang-orang baru pun masih terasa kurang nyaman bagi saya. Namun, akhir-akhir ini saya mencoba untuk memberi challenge pada diri sendiri. Sejauh apa saya bisa melangkah, setinggi apa saya bisa melompat, sebesar apa kekuatan diri saya sendiri.

Challenge tersebut pun melibatkan sesuatu yang sama sekali bukan zona nyaman saya. Kalau zona nyaman saya adalah berada di ruangan tertutup, di depan buku, komputer, atau spesimen, apa yang akan terjadi saat saya harus berkenalan dengan orang-orang baru setiap saat? Saya harus berbincang, membangun pertemanan dengan mereka.

Yang unik adalah saya bertemu dengan berbagai kalangan. Mulai dari para pebisnis papan atas yang kebanyakan adalah para chinese (tanpa bermaksud rasis sama sekali, justru saya sangat kagum dengan mereka, senior-senior saya); kalangan Ibu-Ibu rumah tangga yang rempong dan tak pernah kehabisan bahan pembicaraan; kalangan socialita arisan elit, yang jadwal arisannya dalam sehari melebihi jadwal makan saya; kalangan on-liners yang punya akun di setiap social media yang ada, yang bahkan belum pernah saya dengar sebelumnya; dan lain-lain.

Seringnya, saya menjadi penghuni termuda diantara kalangan tersebut. Dan menjadi penghuni termuda itu memiliki keunikan tersendiri. Salah satunya adalah ketika perbincangan mengarah-arah ke topik yang agak "dewasa". Orang-orang di sekitar saya dengan asyiknya tertawa, menikmati pembicaraan atau lelucon tertentu sementara saya mateng(??) di dalem dan awkward di luar. Berusaha mempertahankan antara ekspresi poker face dan pura-pura(??) lugu. Keadaan seperti ini tak terelakkan terjadi, dan berada di tengah-tengahnya pun menjadi sebuah pengalaman tersendiri bagi saya.
Pengalaman tak terelakkan yang terjadi adalah urusan jodoh perjodohan yang rauwis-uwis. Selain penghuni termuda, saya pun kebetulan juga menjadi penghuni terngenes(??) karena belum berkeluarga, masih single kinyis kinyis pula.
Ibuk-ibuk, bapak-bapak pun berebut(??) ingin menorehkan prestasi(?)nya agar bisa menjodohkan saya. Ini yang repot. Karena saat terjadi transaksi pertukaran nomer kontak, saya pun berusaha untuk berpikir positif bahwa transaksi yang terjadi hanyalah pertukaran nomer kontak. Bukan pertukaran jodoh, atau pertukaran takdir.

Sebenarnya saya merasa kurang nyaman, dengan urusan perjodohan yang rauwisuwis ini. Bukan apa-apa sih, karena sebenarnya saya memang tidak menyengajakan diri untuk menceburkan diri di komunitas ini dalam rangka mencari jodoh atau apa. Saya memang murni ingin memberi challenge kepada diri sendiri. Bonusnya ya semacam pengalaman hidup, yang memang juga sedang saya cari. Masalah perjodohan itu memang sengaja tidak sedang saya pikirkan sementara ini.

Orang-orang mungkin merasa semacam kasihan(?) pada saya karena pada usia saat ini belum juga berkeluarga, dan sebagainya. Banyak juga yang bertanya "mengapa?".
Kalau dihadapkan pada pertanyaan yang seperti itu, saya kadang menjawabnya dengan asal-asalan. Kadang dengan bercanda, kadang cuma cengengesan, kadang pura-pura budeg, kadang budeg beneran hehehe.
Sebenarnya itu alasan yang sangat pribadi, dan alasannya bisa bermacam-macam. Yang paling gampang saya kemukakan adalah bahwa saya sedang memproses diri saya sendiri. Saya sedang dalam proses menjalani mimpi saya. Saya sedang sangat mensyukuri hidup yang saya jalani saat ini. Alasan yang ketika saya kemukakan ke orang lain (yang iseng/kepo bertanya), kemudian membuat mereka berpikir, "kasihan mungkin dia kurang bahagia, makanya fokus ke mimpi, karir, atau apalah." Sehingga membuat mereka memiliki semacam ambisi(?) untuk menyelenggarakan kontes perjodohan.

Sehingga terjadilah kontes yang demikian. Duh.
Sebagai jomblo ngenes tapi kinyis kinyis yang sedang dalam perjalanan ke barat mencari kitab suci (halah), saya merasa berkewajiban untuk "meneruskan" wahyu(?) perjodohan ini kepada teman saya yang kebetulan sedang membutuhkan jodoh.

Mungkin ke depannya jika lancar dan berkah, bisnis saya akan merambah ke bidang pertukaran jodoh :')
Mungkin malah saya berbakat di sana, dan bisa membantu banyak orang, kan? Siapa tau.. 

Friday, October 24, 2014

Curhat

Curhat merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia modern.
Mungkin.

Seolah menjawab kebutuhan tersebut, saat ini tersedia beragam media untuk menyalurkan curhat. Ada yang sukanya curhat di Facebook, Twitter, atau Path. Ada pula yang sukanya curhat di blog. Seperti saya 😛
Walaupun masih banyak juga yang memilih untuk curhat langsung kepada manusia lainnya, baik itu kepada teman, kerabat, maupun pasangan.

Orang bilang bahwa curhat walaupun belum tentu bisa menyelesaikan masalah, namun setidaknya sanggup untuk meringankan beban pikiran.

Ya, itu kan pendapat orang ya.
Berdasarkan pengalaman saya, curhat itu tidak selalu bisa membantu saya. Tidak selalu meringankan beban pikiran, dan tidak selalu bisa menyelesaikan masalah. Bahkan, curhat justru memiliki potensi lebih besar untuk menambah masalah.

Kenapa?
Pertama, tidak selamanya orang yang saya curhati itu bisa dipercaya. Terkadang bahan curhatan saya bocor ke mana-mana. Terkadang, orang yang saya curhati juga memutar balikkan omongan, sehingga muncul dusta, atau fitnah, bahkan bisa menjadi bahan hasut untuk mengadu domba.
Yang kedua, tak selamanya orang yang saya curhati itu memiliki kapasitas diri yang baik. Apakah dia merupakan pendengar yang baik, atau minimal dia bukan hakim yang gemar memberi justifikasi atas situasi atau kondisi saya. Sehingga, curhat selalu gagal memberikan rasa ringan di diri saya. Yang ada malah semakin berat, akibat beban penghakiman orang lain.

Makanya, sebagai seorang makluk sosial yang jarang bersosialisasi, saya sangat jarang curhat pada orang lain. Bahkan pun kepada teman yang selama ini dekat dengan saya, saya seringkali berpikir berulang kali untuk curhat.

Akibatnya, saya sering sekali merasa kesepian saat bersama teman-teman. Seringnya saya memendam sendiri masalah yang sedang saya hadapi, berusaha menutupi dari orang-orang terdekat. Dan semakin besar keinginan saya untuk sendirian. Karena saat saya sendirian, saya tidak perlu memendam apa-apa.

Sejak dulu, saya lebih suka menulis saat saya ingin curhat. Medianya bisa berupa diary, jurnal, puisi, dan hingga saat ini, blog. ☺

Saat saya menulis, saya bisa menjadi sangat lepas. Saya bisa membuka apa saja, yang tidak bisa saya buka kepada manusia lainnya. Saya merasa seperti tidak memiliki batasan psikologis. Saya bebas menyalurkan perasaan, pemikiran, atau apapun, tanpa khawatir akan dihakimi.
Melalui tulisan pun saya tidak khawatir mengenai masalah privasi, karena saya sendiri yang memfilter mana yang mau saya bagi dan mana yang harusnya saya simpan, tanpa harus mengurangi nilai curhat itu sendiri.
Saya bisa saja melindungi privasi saya hanya dengan menceritakan sedikit hal lewat tulisan, tapi merasa sangat lega seolah telah membagi semua hal. Itulah mengapa saya sangat menyukai curhat dengan cara menulis di blog. ☺

Namun, curhat lewat blog tidak pernah berhasil menyelesaikan masalah atau memberi masukan solusi. Walaupun ada feedback melalui comment atau apa, tetap saja tidak cukup.

Dulu saya sering merasa kesepian dan hampa, karena teman-teman yang saya miliki tidak sanggup menjadi teman berbagi. Menulis blog bisa membuat saya seolah memiliki teman berbagi, tapi tidak memberi solusi.

Saya telah menemukan solusinya. Saya telah menemukan Tempat Berbagi Yang Selalu Mendengarkan, Selalu Mengerti, Selalu Mengasihi Tanpa Terlalu Cepat Menghakimi, Selalu Memberi Solusi, Dapat Menenangkan Hati.

Media curhat yang terbukti sangat tepat, cepat, akurat, adalah do'a.
Do'a adalah bentuk komunikasi curhat saya kepada Dzat Yang Maha Mendengar. Ia bukan saja mendengar, tapi juga menyimak isi setiap curahan hati saya, tiada satu pun yang terlewat.
Melalui do'a, tidak pernah ada batasan waktu untuk curhat. Karena melalui do'a, saya curhat kepada Dia Yang Bisa Diakses Setiap Saat, Tidak Pernah Merasa Terganggu.
Curhat melalui do'a memberikan saya kekuatan yang teramat sangat luar biasa. Saya merasa sangat lemah di hadapanNya saat berdo'a , namun setelahnya saya merasa sangat kuat. Seolah tidak pernah lemah sebelumnya.
Setelah curhat melalui do'a, saya selalu mendapat solusi. Terkadang solusinya seketika, terkadang pula agak lama. Namun, selalu ada solusi. Saya pun merasa jauh dari sikap putus asa, berburuk sangka, hampa, dan sebagainya. Karena melalui do'a, saya curhat kepada Sang Penguasa, Yang Maha Berkehendak atas segalanya. Apa yang dapat menghalangi sesuatu untuk terjadi jika Dia sudah berkehendak?

Jikalau sekarang saya masih suka curhat melalui tulisan di blog ini, itu semata karena saya ingin mengabadikannya saja, menjadikannya pelajaran. Supaya suatu saat nanti, jikalau saya lupa, atau angot, atau kumat, saya bisa kembali ingat bahwa saya pernah mengalami kejadian demikian.

Saat ada kesulitan, di sana pasti ada kemudahan. Karena itu adalah perkataanNya, janjiNya. Kemudahan yang berdampingan dengan kesulitan itu bisa saya lihat setelah saya curhat melalui do'a. Tiba-tiba ada jawaban dari masalah yang sedang saya hadapi, yang belum pernah saya pikirkan sebelumnya.

Karena saya orangnya melankolis-romantis (😛), saya mudah menangis saat curhat. Tapi seringnya saya gengsi dan malu untuk menangis di depan orang lain, apalagi di depan orang tua saya.
Dengan memaksimalkan waktu berdo'a, si melankolis-romantis dalam diri saya itu menjadi terpuaskan. Saya bisa punya banyak waktu privat untuk menangis saat curhat, tidak ada yang tahu kecuali Dia. Setelahnya, saya terpuaskan dan bisa kembali menjadi normal(??)

Do'a adalah terapi khusus bagi jiwa.
Do'a bisa menjadi sarana curhat yang amat efektif, menyehatkan jiwa yang sakit, menenangkan pikiran-pikiran yang resah, menyingkirkan segala keraguan dan rasa putus asa.

"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran." (Q.S. Al Baqarah: 186)

Do'a adalah kekuatan 😊

Sunday, October 12, 2014

Masalah

Masalah.
Dalam hidup pasti ada masalah. Namanya juga hidup, banyak dinamika. Kalau banyak cucian namanya laundry. Kalau banyak anak namanya nggak KB. Kalau banyak ingus namanya pilek, iya nggak?
Kadangkala, masalah datang ke hidup saya dibawa oleh orang lain. Saya sudah berjuang mati matian menata rapi sana sini, sebagai upaya pencegahan terjadinya masalah yang diakibatkan oleh kesalahan saya sendiri. Eh, tiba-tiba karena kehadiran satu orang saja, semua yang sudah terbangun dengan baik langsung hancur. Bagaikan efek domino.

Kalau sudah begini, biasanya saya gampang stress.
Lha kok enak banget, orang datang hanya untuk bikin masalah. Setelah itu ditinggalkan. Saya deh yang kebagian bersih-bersih.
Pait. Pait.

Kejadian seperti ini tidak terjadi sekali atau dua kali dalam hidup. Melainkan berkali-kali, hampir selalu terjadi, dan polanya hampir sama. Ini entah saya harus tepuk tangan apa tepuk pundak sendiri ya..

Saya pernah berpikir kalau terus-terusan begitu, seumur hidup saya bisa-bisa hanya sibuk mengurusi orang lain. Saya tidak akan pernah punya kehidupan. Kalau saya hidup dengan cara memfungsikan diri sendiri sebagai tempat sampah, atau pengki, atau kemoceng, atau apalah, selamanya saya hanya akan menjadi itu semua. Berakhir dengan penuh debu.

Maka pada suatu ketika, saya mulai menjauh dari peradaban. Pelan-pelan saya mulai menjauh dari semua orang. Semua. Kecuali hanya 3 orang anggota keluarga saya saja. Sehari-hari saya benar-benar tidak berkomunikasi dengan siapapun. Kecuali memang benar-benar terpaksa, ya hanya sekedar "iya", "tidak", "Terima kasih". Atau gabungan dari ketiganya, "iya. Nggak, terima kasih"

Orang-orang mungkin menganggap saya aneh, mungkin sudah separuh gila, karena menjalani hidup yang seperti itu. Tapi -demi jenggot Merlin- saya belum pernah merasakan ketenangan dan kebahagiaan hidup yang lebih daripada saat-saat pengasingan saya itu.

Di awal-awal masa pengasingan tersebut, hidup terasa serupa bulan madunya para pengantin baru (walaupun yang seperti apa pun saya belum tau, karena saya belum pernah mengalami juga sih). Semuanya terasa sangaaat indah. Hidup terasa lebih indah, hati terasa begitu tenang, pikiran jernih, suasana hati senantiasa riang, matahari bersinar cerah, bunga-bunga bermekaran di taman, pelangi bermunculan, unicorn berdatangan.

Lama kelamaan, masa pengasingan menjadi zona nyaman saya. Saya enggan sekali keluar dari sana. Saya merasa bahwa di luar sana (di luar zona pengasingan), bertemu dengan orang-orang itu begitu menakutkan, teramat sangat mengerikan. Kemudian saya menjadi sangat defensif kepada orang lain. Manusia telah berubah menjadi serupa dementor bagi saya.

Setiap kali ada kondisi yang mengharuskan saya berkomunikasi dengan orang (siapa pun selain keluarga saya), saya sebegitu ketakutannya sehingga saya akan memikirkan 1000 atau lebih cara agar saya tidak perlu banyak berkomunikasi lebih dari sekedar 3 kata ajaib: ya, tidak, terima kasih.

Periode kegelapan ini berlangsung cukup lama. Dan saya berkubang dalam lubang kenikmatan itu seperti kuda nil di kubangan lumpur. Alam bawah sadar saya berkata itu tidak benar, namun terasa sangat nikmat hingga terasa benar.

Apakah itu semua gejala depresi? Mungkin saja. Ada delusional, denial, misanthrophy. Tapi, dibalik semua gejala depresi tersebut, anehnya saya benar-benar merasa bahagia. Masalah kebahagiaan ini bukan denial.

Entahlah, saya tidak ingin menganalisa atau membahas dari sudut pandang medis-psikiatris. Percuma lah, saya juga nggak ngerti -___-"

Saat ini, saya masih merasa kurang nyaman saat berada di dekat orang lain, terutama banyak orang. Saya masih menghemat bahan pembicaraan. Masih merasa agak defensif terhadap topik pembicaraan yang sedikit pribadi.
Namun, ajaibnya, saya juga menjadi jauh lebih baik. Saya bisa bergaul kembali dengan manusia! Saya bisa menghadiri acara yang amat sangat meriah dan penuh orang. Saya bisa bercanda, tertawa dan berbicara lebih dari 3 kata ajaib. Bahkan, saya bisa kembali menanggapi/merespon pembicaraan orang lain. Saya bisa berdialog. Bukan dialog yang sama seperti dulu, di mana orang lain nyerocos dan saya kejepit cuma angguk angguk, senyum kecut, menahan sendawa, dan sebagainya. Tetapi dialog yang melibatkan dinamika topik pembicaraan. Orang lain bertanya, saya menjawab, lalu saya bertanya balik, dst.

Ini sebuah pencapaian dalam hidup.
Ya, menurut saya ini sebuah pencapaian yang cukup membanggakan. Karena untuk bisa sampai ke sini, saya harus sanggup berdiri, melangkah kemudian berjalan dari sana. Terus melangkah dan tidak menyerah saat jatuh kembali. Perjalanan dari sana ke sini itu adalah sebuah pengalaman.

Satu hal yang saya temukan sangat berharga dalam hidup ini adalah pengalaman.
Pengalaman itu bukanlah sesuatu yang bisa didefinisikan, digeneralisasi, diseragamkan. Pengalaman itu sifatnya personal, nilainya tidak bisa terukur. Bisa jadi bagi seseorang pengalaman mengendarai sepeda motor itu sangat biasa saja nilainya. Tapi bagi orang lain (yang memiliki kondisi fisik/psikis/ekonomi/lingkungan yang berbeda), bisa mengendarai motor adalah pengalaman yang paling menarik dalam hidupnya.
Pengalaman-pengalaman dalam hidup itu sesungguhnya merupakan proses-proses yang pada akhirnya menjadikan kita manusia yang memiliki added value. Diibaratkan dalam sebuah reaksi kimia, Masalah (m) adalah reaktan, bereaksi menghasilkan Pengalaman(p) sebagai produk dan Kebijaksanaan (w) sebagai produk sampingan dan dengan bantuan Pengetahuan (t) sebagai katalis.
Pada orang introvert, reaksi bersifat eksotermik. Sedangkan pada orang ekstrovert, reaksi bersifat endotermik.

*Sungkem ke guru kimia sambil buru-buru ngacir*

Dalam membagi semua ini, saya tidak sedikitpun merasa malu karena membuka aib diri sendiri. Saya sudah melangkah melampaui semua rasa malu, kecewa, minder, bahkan putus asa. Jikalau ada omongan yang kurang enak, kalimat-kalimat penjatuh semangat, cibiran, hinaan, cercaan, makian, bahkan sumpah serapah pun, itu semua hanyalah rangkaian kata. Words are only words. Even if it's an insult, they're nothing but mere words.
Sekuat apapun tekad sang pemilik kata-kata untuk memberikan jatah kata kata jahatnya kepada saya, semua itu tidak akan sanggup menyakiti saya, karena saya tidak membiarkan kata-kata tersebut memiliki kekuatan. They're just a bunch of harmless, innocent words, used frivolously by some random person.

Dengan mental seperti itulah saya bisa bangkit dari segala macam masalah. Masalah hanyalah sebuah reaktan, dan omongan orang hanyalah kata-kata.
Saat ada masalah (yang pastinya akan terus ada) yang dibawa oleh orang lain kembali ke hidup saya yang sedang mulai saya atur kembali, saya tau bahwa masalah itu hanya akan berlangsung sementara. Seperti layaknya semua hal yang ada di dunia ini, tiada yang abadi. Saya juga paham bahwa sebenarnya masalah itu hadir PASTI beserta solusinya. Jodoh dari masalah adalah solusi. (Lalu jodoh saya siapa??)
Kalau solusi dari masalah tersebut belum sanggup saya lihat, bukan berarti solusinya tidak ada, atau sangat jauh. Bahkan mungkin solusi dari masalah tersebut lebih dekat daripada jodoh saya (hiks...). Yang saya perlukan hanyalah Katalisnya, pengetahuannya. Daripada stress sendiri berkutat dengan worry worry worry worry, endless worry tentang apa yang mungkin akan terjadi, worst case scenario, dsb, fokus saja kepada apa yang dapat saya lakukan dengan amat sangat maksimal hari ini. Maksimalkan ikhtiar saat ini.

Mengutip wejangan seseorang, "jangan benturkan idealisme dengan realita. Itu hanya akan menciptakan ruang kegelisahan"

Terakhir, wejangan buat diri sendiri,

"Dan, apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkal-lah kepada Allah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya" (Q.S. Ali Imraan :159)

Friday, October 10, 2014

Hilang

Hilang. v.

Menurut KBBI, artinya adalah tidak ada lagi; lenyap; tidak kelihatan.

Jadi, sesuatu dikatakan sudah hilang apabila sesuatu itu pernah ada. Jika sesuatu itu belum pernah ada, maka sesuatu itu dikatakan tidak hilang.

Begitu logikanya.

Pada kenyataannya, saya sering sekali merasakan kehilangan.
Kehilangan kesempatan.
Kehilangan momentum.
Bahkan kehilangan rizqi.
Mungkin.

Jikalau saya renungkan berdasarkan definisi KBBI, maka sebenarnya selama ini hal-hal yang menurut saya telah hilang, tidaklah hilang.
Yang hilang mungkin hanya potensi untuk mendapatkannya.

Pada saat saya merasa kehilangan rizqi, misalnya, sebenarnya saya tidak kehilangan apa-apa. Karena sejak awal, rizqi itu bukan menjadi milik saya. Begitu kan? Yang hilang adalah potensi untuk mendapatkan rizqi tersebut.
Hanya POTENSInya.

Namun, benak saya, yang dipenuhi dengan berbagai macam hal. Salah satunya, yang paling besar adalah ambisi, merasakan kehilangan yang teramat besar. Seolah-olah saya telah mengalami kerugian yang tidak dapat tergantikan.
Di saat yang bersamaan, saya juga lupa bahwa ketika satu pintu tertutup, maka 1000 pintu lain akan terbuka.
Hanya SATU pintu yang tertutup, tapi rasa beban kehilangan di hati teramatlah besar.

Astaghfirullahal'adziim..

Memang, iya, saya telah bekerja keras untuk mendapatkan potensi itu. Dan iya, saya juga memiliki ekspektasi yang tidak rendah terhadapnya.
Tetapi takdir Allah SWT berkata lain. Rizqi itu bukan ditakdirkan untuk saya. Lalu saya bisa apa? Allah-lah yang mengatur pembagian rizqi kepada setiap makhlukNya.
Kalau saya bilang, "sudah, ikhlaskan saja", tentu saja menjadi sangat rancu. Ikhlaskan bagaimana, lha wong sejak awal memang saya tidak punya apa-apa. Melainkan hanya sebuah potensi.

Yang perlu saya katakan, seharusnya, adalah, "Sudah, tingkatkan saja usahamu". Begitu baru terasa pas.
Akan ada banyak potensi lainnya yang mungkin akan hilang lagi kalau hanya terpaku di sana.

Rizqi setiap makhluk Allah itu masing-masing sudah didepositokan. Dan akan cair pada waktunya.
Halah.

Wednesday, October 8, 2014

Tidak tertukar

Tuhanku adalah Tuhan Yang Maha Adil.

Kepada setiap makhluk ciptaanNya, Ia menyediakan bagian-bagian yang tidak akan pernah tertukar.

Ada ratusan juta jiwa manusia, dan ada ratusan juta atau bahkan milyaran makhluk hidup di muka bumi ini. Setiap makhluk bertahan hidup dengan caranya, atau berusaha dengan giat untuk mengubah takdirnya. Namun takdir satu jiwa dan yang lainnya tak akan pernah tertukar.

Tuhanku sudah mengaturnya.

Setiap saat, setiap detik, makhluk hidup keluar dan mencari rizqi. Mulai dari semut, unta, hingga manusia. Namun rizqi makhluk yang satu tidak akan tertukar dengan yang lainnya. Begitu pula jatah usianya, waktu kembalinya.

Tuhanku tidak pernah ingkar. KetetapanNya adalah pasti.

Ada begitu banyak hal baik dan buruk yang menimpa setiap jiwa di muka bumi ini setiap saat. Ada kalanya saat makhlukNya mengalami hal baik dan lupa pada-Nya. Namun sering adanya saat mereka ditimpa kemalangan, mereka menyalahkan Tuhanku.

Tetapi Tuhanku sungguh Maha Pengasih dan Penyayang.

Ia berjanji bahwa sesungguhnya di dalam setiap kesulitan, akan ada kemudahan. Dan Ia juga berjanji bahwa Ia tidak akan pernah membebani makhlukNya dengan beban yang tidak sanggup mereka pikul.

Tuhanku Maha Sempurna.

Ia menciptakan masalah satu paket beserta solusinya. Hanya aku yang seringkali terlalu dangkal, hingga solusi pun jauh dari jangkauan pandangku.

Tuhanku Maha Bijaksana.

Diantara banyak makhlukNya yang berebut tahta kemuliaan, Ia hanya memuliakan siapa-siapa yang pantas untuk dimuliakan. Ia akan memberikan ujian kepada makhlukNya sebagai seleksi untuk mendapatkan tahta kemuliaan di hadapanNya. Dan sesungguhnya kemuliaan di hadapanNya sajalah sebenar-benarnya kemuliaan.

Tuhanku Maha Mengetahui.

Dosa-dosa dan aib-aib makhlukNya yang senantiasa berusaha untuk disembunyikan. Betapa rapinya dosa dan aib itu tertutup rapat. Disimpan di tempat-tempat yang bahkan sesama makhlukNya pun tidak mengetahui. Tuhanku Tahu.
Setiap emosi, memori, bahkan mimpi yang terpendam dalam setiap hati makhluknya. Tiada yang luput dari penglihatanNya.

Jika Ia ingin membuka satu saja diantara aib yang kumiliki kepada seisi dunia, maka tiada satu hal pun yang bisa menyelamatkanku dari kehinaan. Tak ada.


Hari ini, saat ini, banyak yang sudah terjadi dalam hidup kita. Setiap yang terjadi, itu adalah kehendakNya. Dan aku yakin dengan rencana dan ketetapan Tuhanku. Semua ada maksudnya, semua ada tujuannya. Apa yang tampak atau terasa kurang baik, mungkin sebenarnya adalah bagian dari rencana besar yang telah Tuhanku tetapkan untuk makhlukNya. Aku yakin bahwa Tuhan yang selama ini kuimani, adalah Tuhan yang telah Memberikan banyak nikmat kepada milyaran, bahkan trilyunan makhlukNya. Tuhan yang tidak pernah mendzholimi makhlukNya, seingkar apapun mereka kepadanya.

Karena Tuhanku, Ia Maha Memelihara.



Friday, June 6, 2014

Diantara euforia itu..

Ada sebuah fenomena yang menarik yang saya temui akhir-akhir ini. Bukan hanya saya saja yang mengalami rasanya, tapi sepertinya kita semua mengalami.

Jokowi dan Prabowo.

Itulah fenomenanya. Mereka seolah berada di mana-mana. Televisi, media sosial, bahkan obrolan sehari-hari pun seputar mereka.

Wajar ya, mengingat jadwal Pilpres yang semakin dekat. Dan dengan ramainya pembicaraan seputar kedua orang tersebut membuktikan bahwa animo masyarakat Indonesia terhadap politik (??) masih besar. Setidaknya, mungkin ini bisa jadi pertanda bahwa golongan apatis (?) politik semakin berkurang. Mungkin.

Sebelum saya lanjutkan menulis, saya ingin menyatakan bahwa tulisan ini tidak ada tendensi apapun dan tidak disponsori oleh golongan manapun. Saya sendiri pun bukan bagian dari golongan atau partai apapun. Bahkan, sampai saat ini pun saya belum tau akan memilih siapa pada Pilpres 9 Juli mendatang.

Kembali ke bahasan utama.

Saya sudah mengikuti 3 kali pemilu sejak 2004. Dan rasanya, belum pernah ajang Pilpres seramai kali ini. Atau hanya perasaan saya saja?
Setiap pemilu memang wajar menjadi pembicaraan sehari-hari. Pemilu yang sudah-sudah pun demikian, ramai menjadi bahan pemberitaan/pembicaraan.
Saya ingat ketika pemilu 2004 yang menghasilkan Pak SBY sebagai presiden. Atau pilpres 2009 yang bahkan lebih ramai karena pilpres dilaksanakan dalam 2 putaran, dengan hasil yang sepertinya pun sudah bisa ditebak.

Lalu, apa perbedaan pilpres yang dulu-dulu dan yang sekarang?

Harapan.

Mungkin itu sebabnya. Pada pilpres kali ini, masyarakat memiliki harapan yang sangat besar terhadap kedua calon pemimpin. Saya seperti bisa membaca harapan yang tersirat dalam setiap ulasan berita, tulisan di media sosial, atau bahkan obrolan sehari-hari. Harapan yang besar bahwa kelak, para calon pemimpin ini bisa membawa Indonesia menjadi lebih baik.

Mengenai harapan, saya sangat paham rasanya berharap. :)
Bagaimana rasanya seperti menemukan secercah cahaya dalam kegelapan. Perlahan, kita akan percaya bahwa mungkin saja hal baik akan terjadi esok hari. Bahwa mungkin saja cahaya yang hanya secercah itu akan bertambah intensitasnya. Ketika hal baik tidak juga kunjung terjadi, kita akan berusaha mempertahankan secercah cahaya tersebut, walaupun semakin redup. Bahkan, pada saat cahaya itu akan padam, kita akan mencari-cari alasan dan pembenaran bahwa cahaya itu akan hidup, bahkan akan bertambah terang.

Namun apa yang terjadi jika ternyata sang cahaya tersebut benar-benar padam? Mungkinkah kita justru akan sangat tidak suka kepada cahaya lagi di masa yang akan datang?

Saya menemukan banyak tulisan/berita yang isinya bukan hanya mendukung/memberikan opini kepada salah satu capres, tapi banyak pula yang isinya seolah mendukung salah satu capres dengan cara membeberkan prestasinya sekaligus membeberkan aib(?) capres lainnya. Terkadang pada intensitas yang amat...kuat. Seolah-olah calon yang didukungnya adalah yang terhebat, dan calon lainnya adalah.. penjahat.

Jarang saya menemukan tulisan/berita yang isinya hanya memberikan komentar simpatik kepada salah satu calon, tanpa sama sekali menyiratkan bahwa seolah-olah calon lainnya itu (minimal) bukan penjahat.

Saya sangat ingat pada suatu peristiwa di tahun 2009, menjelang Pilpres kala itu. Saat itu, saya masih sangat suka berada di tengah-tengah masyarakat. Bergaul ke sana kemari demi mendapatkan jawaban dari kehidupan, sesuatu yang saya cari mati-matian. Di suatu kesempatan, seorang bapak mengajak saya berbicara. Topik yang hangat adalah politik dan pilpres 2009. Beliau berbicara sangat banyak dan panjang lebar mengenai satu parpol, yang kebetulan mengusung capres dan lolos ke putaran kedua. Beliau berpendapat bahwa partai tersebut sangat baik, saya kutip, "terbaik". Dan sang bapak juga menyebutkan betapa parpol yang lain itu tidak baik, bahkan menyebutkan beberapa 'dosa' mereka.
Saat itu saya hanya menyimak, dan tidak banyak berkomentar. Karena saya tidak dimintai pendapat dan tidak berkapasitas untuk berpidato atau berdebat.
Tentu saja saya punya pendapat. Setiap orang pasti punya pendapat, tapi apakah pendapat tersebut harus selalu disuarakan dengan lantang dalam kondisi apapun dan bagaimana pun? Ada tempat dan waktu untuk setiap hal.
Saat ini, apa yang terjadi pada partai "terbaik" yang disebut oleh bapak itu? Atau capres yang didukungnya? Saat ini saya tidak yakin sang bapak tetap memiliki pendapat yang sama tentang apa yang dinilainya "terbaik" saat itu.

Sekali lagi, mungkin, MUNGKIN, bapak itu pernah memiliki sebuah harapan. Sama seperti masyarakat yang sekarang sedang menikmati ladang harapan utopis terhadap capres idamannya. Namun, harapan adalah.. harapan. Bisa menjadi kenyataan, bisa juga hanya harapan.
Memiliki harapan tidak pernah salah, tenggelam terlalu dalam di dalam harapan itu lah yang akan membunuh kita.

Dalam euforia pilpres dan gelombang dukungan kepada kedua capres, milikilah pelampung yang akan menyelamatkan kita agar tidak tenggelam atau hanyut.

Seperti kata bang Rhoma,
"begadang jangan begadang, kalau tiada artinya. Begadang boleh saja, asal ada perlunya"

Berharap jangan berharap, kalau tiada batasnya. Berharap boleh saja, asal ada batasnya.

:)