Meragukan motif, sikap atau perilaku orang lain seringkali disalah-artikan sebagai negative thinking. Tetapi, bagaimana kita bisa benar-benar mengenal dan mengetahui seseorang jika kita tidak pernah meragukan mereka?
Ah, saya kembali teringat akan sebuah manga yang pernah saya baca. Judulnya 'Liar Game'. Ada sebuah pernyataan yang menarik bagi saya, dan tidak bisa saya lupakan.
"People should be doubted.
Many people misunderstand this concept. The truth is, doubting people is simply a part of trying to get to know them.
'Trust', that act is ,without a doubt, a very noble one.. but you know, what many people do, that they call 'trust' is actually giving up on trying to understand others. And that has nothing to do with 'trust', but is rather an APATHY. There are countless people out there who fail to realize that apathy is a far more devastating act than doubting others.
The worst of all people were the vast numbers who really believed they were doing good, when they were actually deceiving others. They didn't have the slightest clue what they were doing. Simply because they were trying to avoid picturing just how much pain they were inflicting on others by their actions. Not giving a single thought, is merely a state of complete APATHY.
The true evil is becoming apathetic about other people.
Doubt them, question them, suspect them, and take a good, long look into their hearts. Humans are the kind of beings that can't put their pain into words, after all."
Begitu ucapan Mr. Shinichi Akiyama kepada Nao Kanzaki. Mindblowing, memang. Tapi jika direnungkan dengan baik, memang benar adanya.
Rasa tidak percaya akan membawa kita pada sebuah pemahaman.
Saya juga belajar mengenai arti nilai sebuah hal justru dari rasa tidak percaya. Karena saya tidak percaya, maka saya menemukan sebuah pengetahuan baru. Karena saya tidak percaya, maka saya menemukan arti sahabat dan bertemu sahabat..
Jika Copernicus dan Galileo adalah orang-orang yang mudah percaya tanpa rasa ragu, maka hingga saat ini kita juga akan mempercayai bahwa bumi itu datar dan matahari berputar mengelilingi bumi. Karena mereka ragu, mereka skeptis, mereka terus bertanya dan bertanya, maka mereka menemukan. Begitulah banyaknya penemuan dan pengetahuan lain yang lahir justru dari rasa skeptis dan tidak percaya.
Begitu pula, jika kita mempercayai semua orang, tidak memiliki rasa ragu kepada mereka. Apa kita akan pernah memiliki beberapa orang teman dekat yang kita sebut sahabat?
Renungkan. Seorang sahabat adalah orang lain yang mulanya sama sekali tidak kita kenal, sama seperti orang lainnya. Tetapi karena kita pernah memiliki rasa tidak percaya padanya, pernah meragukan kapabilitasnya dalam memegang rahasia, pernah meragukan tingkat intelektualitasnya untuk membantu memecahkan masalah yang sedang kita hadapi, pernah meragukan ketulusannya, kejujurannya dalam berbicara, maka kita menemukan dia, sahabat kita. Dengan meragukannya, kita belajar untuk menemukannya. Sama halnya seperti ketika Copernicus meragukan teori geosentris, maka ia menemukan teori heliosentris.
Mengapa tidak percaya? Mengapa meragukan sesuatu? Karena kita peduli.
Rasa simpati. Itu dasarnya.
Mengapa harus susah memikirkan sesuatu? Kan tidak ada untungnya? Mengapa meragukan sesuatu? Bukankah itu sebuah kerugian?
Sekali lagi, karena rasa ragu dan tidak mudah percaya itu menunjukkan rasa ingin tahu, yang berasal dari rasa peduli.
Mudah saja untuk percaya. Sangat mudah. Toh tidak membuang banyak energi. Tetapi sekali lagi, renungkan. Saat kita memutuskan untuk percaya, untuk tidak meragukan sesuatu. Apakah karena kita sama sekali tidak peduli? Apakah kita telah bersikap apatis?
Ada benang yang sangat tipis yang memisahkan antara bersikap optimis dan bersikap apatis.
Meragukan sesuatu, bertanya-tanya, kembali ragu, bersikap skeptis memang seolah pesimis. Tapi setidaknya itu karena masih ada rasa simpati. Jikalau rasa simpati itu cukup besar, bisa bergerak menjadi sebuah empati.
Tetapi jika kita tidak pernah ragu, tidak pernah bertanya, bisa jadi sebenarnya kita tidak ingin terlibat, tidak ingin susah atau kita hanya tidak pernah cukup peduli. Dan jika kita tidak cukup peduli, maka kita telah menjadi seperti yang disebutkan oleh Mr. Shinichi Akiyama tadi, 'the true evil'.