Friday, November 28, 2014

Loneliness

Menjadi seorang pengusaha itu memang menyisakan banyak cerita.

Sebagai seorang nubie di dunia bisnis, langkah saya pun masih tertatih tatih. Kadang saya bingung harus bagaimana, kadang saya punya ide dan rencana yang bagus, tapi berantakan dalam mengeksekusinya. Salah satu hal yang sampai saat ini masih saya pelajari dengan teramat dalam adalah bagaimana berhubungan dengan manusia.

Manusia yang telah Allah SWT ciptakan beraneka ragam rupanya, wataknya, gaya bicaranya, latar belakang pendidikan dan lingkungan sosialnya. Namun di setiap interaksi dengan orang lain, saya selalu menemukan sesuatu, belajar sesuatu yang baru.

Misal, saat salah satu customer menghubungi saya via telepon. Awalnya memang pembicaraan kami seputar bisnis, dan saya pun menanggapinya secara profesional. Namun tak jarang yang kemudian menjadi merasa akrab lalu kemudian memuntahkan isi hatinya kepada saya. Iya, via telepon.

Saya selalu menganggap bahwa setiap interaksi yang saya lakukan bersama customer saya, itu adalah bagian dari pekerjaan. Bahwa menyimak dan menanggapi, bahkan mencoba memberi solusi atas persoalan pribadinya adalah bagian dari pekerjaan saya. Dan ketika saya bekerja, saya melakukannya dengan sungguh-sungguh. Saya tidak suka main-main.

Dan ketika ada customer yang menjadi merasa begitu akrab kepada saya, dia sering curhat, bahkan hampir setiap saat, saya menjadi tertegun sesaat. Apa yang sedang terjadi di sini?

Disadari atau tidak, sesungguhnya, setiap manusia itu kesepian. Ada orang yang mudah menyadarinya, tapi tidak memiliki solusi atasnya, kemudian menjadi depresi. Ada juga yang seperti saya (mungkin) yang belum kunjung menyadarinya, atau hidup di dalam penyangkalan dan berusaha membenamkan diri dalam berbagai macam kegiatan untuk membunuh rasa kesepian itu.

Kadang kala rasa kesepian itu memang tidak dirasakan, sampai kita menemukan orang yang bisa membuat kita tidak lagi kesepian.

Barusan saya menyadarinya. Saat salah seorang customer mengirim sms kepada saya, "Teh, masa beras banyak semutnya sih"
Saya spontan membalas, "Maksudnya?"
Sms balasan darinya masuk dengan cepat, isinya "Iya, kok bisa sih beras disemutin? Ini berasku disemutin"

Saya pun termenung dengan lama. Apakah itu tanda-tanda kesepian?
Hati saya begitu tersentuh. Kalau ia benar-benar sedang kesepian dan sama sekali tidak memiliki solusi atasnya, dan meng-sms saya hanya untuk berbicara masalah beras dan semut adalah salah satu cara yang bisa ia pikirkan untuk membunuh rasa kesepian itu, solusi apa yang bisa saya berikan?
Saat itulah saya melepaskan 'pakaian pekerjaan' saya, dan berusaha untuk menjadi temannya. Hanya temannya. Karena mungkin itulah yang paling dia butuhkan saat ini.

Kami berbincang lama, tidak ada urusannya dengan pekerjaan. Hingga barusan, sms terakhir saya tidak lagi dibalas olehnya. Mungkin dia sudah tertidur.

Saya tidak tau mengapa saya mengalami kejadian seperti ini. Mungkin ini teguran Allah kepada saya. Selama ini saya jarang merasa kesepian, bahkan saat saya sendirian dan dalam "pengasingan" dulu itu. Kalau berbicara soal kesepian, saya tidak terlalu mengerti.
Tapi malam ini, saya sedikit mengerti. Saya tiba-tiba menjadi lebih mengerti.

Saya bersyukur atas pelajaran yang Allah berikan pada saya melalui kejadian malam ini. Tiada tersia satu episode pun dalam drama kehidupan manusia. Allah selalu memberikan petunjukNya, hanya tergantung pada manusia, mau belajar dan bersyukur atau tidak.


Wednesday, November 26, 2014

Seorang lelaki dan seorang kakek

Terkisah, ada seorang lelaki yang buta aksara.
Karena keinginannya yang kuat untuk terbebas dari kebodohan, dia pergi menuntut ilmu. Dengan giat dan sabar, dia belajar dan belajar hingga suatu hari dia bertemu dengan seorang kakek.

Mereka berbincang-bincang santai. Sang kakek pun menemukan bahwa lelaki tersebut sedang dalam proses menimba ilmu. Sang kakek merasa tertarik, kemudian bertanya mengenai ilmu yang baru saja dipelajari oleh sang lelaki. Sang lelaki pun menjelaskan, sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya mengenai ilmunya. Dia bercerita dengan hati yang tulus dan antusias dalam membagi ilmunya, walau masih sedikit dan tak seberapa nilainya.

Setelah sang lelaki selesai bercerita, sang kakek memberikan komentarnya. Betapa ilmu yang baru saja dipelajari oleh sang lelaki bertentangan dengan apa yang diketahuinya. Sang kakek juga sempat menyebutkan beberapa ilmu lain yang mendukung pendapatnya.

Sesaat, sang lelaki tertegun. Ia pun bertanya-tanya dalam hati, siapakah kakek yang baru ditemuinya? Mengapa kakek tersebut justru mengetahui lebih banyak daripada dirinya sendiri?

Saat itulah kemudian sang kakek mengaku bahwa dulunya ia adalah seorang ilmuwan. Dari obrolan selanjutnya, sang lelaki menemukan bahwa sang kakek sangat pandai dan berwawasan luas. Ia pun merasa semakin malu, ia baru saja menjelaskan ilmu dan pemahamannya yang sederhana pada orang yang ternyata lebih berilmu, seolah menebar garam di lautan.

Sang lelaki terdiam. Ia tidak pernah bermaksud untuk merasa lebih pintar lalu untuk kemudian membagikan ilmunya yang sederhana kepada siapapun. Terlebih lagi, kepada seorang ilmuwan yang ilmunya telah melebihi dirinya. Tetapi sang kakek ilmuwan telah membuatnya seolah menjadi seperti itu.

Andaikan saja sang kakek mau jujur dan terbuka sejak awal bahwa ia adalah seorang ilmuwan yang telah mengetahui ilmu sederhana yang dimiliki oleh sang lelaki, mungkin mereka justru akan saling mengerti. Sang lelaki tidak akan menuai rasa malu, bahkan justru bisa belajar dari sang kakek.

Dan sang kakek, mungkin tidak akan kehilangan banyak waktu hanya untuk mendengarkan sang lelaki menjelaskan ilmu yang telah diketahuinya sejak lama.

Sunday, November 9, 2014

Tersesat

Hidup di dunia itu tidak sendirian, dan tidak terlepas dari konflik antar sesama manusia. Saat terjadi konflik, terkadang saya masih tidak mau memaafkan kesalahan orang lain. Masih mengingat-ingatnya, menyimpannya teramat dalam di hati saya, membuatnya semakin busuk seiring berjalannya waktu.
Saya masih enggan menyapa orang yang pernah menyakiti saya, tidak mau berkomunikasi dengannya, membuang muka saat bertemu dengannya, tanpa memberinya kesempatan untuk menjelaskan, atau meminta maaf.

Padahal Allah Maha Pengampun.
Jikalau Allah itu mendendam, Dia tidak akan memaafkan dan mengampuni dosa-dosa saya di masa lalu. Terus-menerus mengingatnya, menghitung-hitungnya, menantikan saat yang tepat untuk membalas segala perbuatan buruk saya di masa lalu.
Tetapi tidak, Allah memaafkan dan mengampuni dosa setiap makhlukNya, asalkan bukan dosa karena menyekutukanNya. Ia menerima taubat, tetap mengasihi dan menyayangi makhlukNya, mengabulkan do'a yang tulus dipanjatkan. Dia tidak pernah perhitungan dalam memberikan kasih sayangNya.

Jikalau Allah mau, Dia bisa membuka seluruh aib saya, menyebarkannya kepada jin dan manusia. Membuat saya bagaikan kotoran yang berjalan, menebarkan bau yang tak sedap.
Tetapi Allah menyimpannya, menyembunyikannya dengan amat rapi. Bahkan Allah masih memberi saya kesempatan untuk memperbaiki diri, memulai hidup yang baru, menjadi lebih baik, sampai akhirnya diri yang penuh aib ini menuai banyak pujian, kekaguman.

Lalu mengapa hati saya bisa sampai ingin menyebar aib dan keburukan orang lain? Menambah-nambahkannya dengan tujuan ingin seseorang dicap buruk oleh orang-orang lainnya. Lisan ini mudah memutar-balikkan fakta, menyebar hasut dan fitnah, semata ingin agar orang lain membenci seseorang?

Seringkali saya tidak sadar, bahwa saya sebagai manusia telah berperilaku berlebihan. Merasa diri yang paling baik, merasa memiliki hak untuk menghakimi orang lain. Merasa memiliki hak untuk membalas perlakuan buruk orang lain dengan perlakuan yang sama buruknya, bahkan lebih buruk.

Padahal Allah tidak pernah demikian.
Seburuk-buruknya saya, Allah tidak pernah menyulitkan hidup saya. Allah tidak pernah memberi apapun kepada saya kecuali yang terbaik. Bukan hanya itu, Dia juga masih mau mendengarkan do'a-do'a saya di saat saya putus asa, jeritan kesedihan terdalam saya yang tidak pernah sanggup saya ungkapkan kepada siapapun.
Ada trilyunan makhluk-Nya, masing-masing memohon untuk didengar dan ditanggapi. Tetapi Allah masih bisa berlaku adil, Dia mendengar setiap panjatan do'a, tidak pernah bosan mendengar do'a yang diucap berulang-ulang. Mengabulkan permohonan do'a yang sama.

Jikalau Allah itu pencemburu berat,
Sudah berapa kali Ia akan ngambek karena saya jarang menemuiNya saat senang dan hanya ingat padaNya saat saya sulit? Bahkan, di saat sholat, ruku', dan sujud pun saya tidak selalu mengingatNya. Terkadang dikalahkan oleh hal-hal sepele, seperti es krim, atau dering telpon, atau pekerjaan yang belum selesai.

Tetapi tidak, berapa kali pun ruku' dan sujud kita, walaupun seringnya dilakukan dengan kurang sempurna, Dia tetap bergembira menyambut kita.

Berapa kali pun ibadah lainnya yang saya lakukan hanya sebagai penggugur kewajiban dan terkadang bercampur riya', Allah tetap menganggap saya adalah hambaNya. Allah tetap mengharapkan kedatangan hambaNya kepadaNya dalam kondisi terbaik, dengan usaha yang terus menerus lebih baik.

Lalu mengapa saya mudah putus asa? Saat datang ujian Allah yang sedikit saja bertambah tingkat kesulitannya, saya mudah untuk merasa down, patah semangat, kebingungan mengatasi persoalan.

Padahal Allah tidak pernah satu kali pun membiarkan saya sendirian. Saat saya merasa jauh dariNya, bukan Dia yang menjauh, tetapi saya yang menjauh.
Harapan saya bukan lagi hanya padaNya, padahal Dia Yang Maha Menentukan.
Saat beban terasa semakin berat, saya malah memohon untuk diringankan beban tersebut, bukan memohon untuk diberikan diri yang semakin kuat.

Tetapi itu semua tidak membuat Dia membenci saya, atau makhluk lainnya yang mengalami hal seperti yang saya alami.
Allah tetap menyayangi setiap makhlukNya, tidak berkurang sedikitpun kasih sayangNya setiap saat.

Tanpa saya sadari, saya memang kufur nikmat selama ini. Selalu merasa kurang. Kurang cantik, kurang pintar, kurang sejahtera, kurang bahagia, terlalu banyak memiliki masalah.
Tapi, sesungguhnya Allah telah memberikan saya banyak hal, hanya saja saya yang amat sangat kurang bersyukur.
Kalau saya merasa kurang bahagia, itu bukan karena saya tidak memiliki sesuatu, tetapi karena saya tidak mensyukuri apa yang saya miliki.

Ah, sekarang saya tersadar bahwa selama ini saya sudah tersesat. Tersesat dalam labirin kenegatifan. Dan saat ini Allah telah menunjukkan secercah cahaya sebagai pedoman bagi saya dalam ketersesatan. Cahaya tersebut bernama hidayah.
Tugas saya saat ini adalah menjaga agar supaya cahaya tersebut tidak padam. Syukur-syukur jika menjadi semakin terang dan menerangi jalan di sekitar saya, membantu yang lain yang mungkin juga sedang tersesat.

"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)".
(Q.S. Ali Imraan: 8)