Thursday, February 21, 2013

Berbagi


Salah satu hal yang baru saja saya sadari ternyata sangat menyenangkan adalah berbagi. Dan memiliki seseorang yang bisa diajak berbagi itu juga ternyata sangat menyenangkan. Bukan hanya saya bisa membagi hal-hal yang sebelumnya saya pikir tidak dapat saya bagi, tetapi saya juga kembali mendapatkan pengalaman dibagi.

Mungkin ini asing dan terlihat aneh, tapi sudah sekian lama saya memiliki kesulitan untuk berbagi. Saya hanya...merasa bahwa berbagi itu bukan merupakan salah satu kebutuhan hidup utama saya. Selama ini bagi saya pengamalan berbagi itu tidak selalu merupakan hal yang bermanfaat atau mendatangkan nilai positif. Seringkali yang terjadi justru sebaliknya.


Sedikit berkelana ke masa lalu, saat itu semua tadi belum terjadi..

Dahulu kala, di jaman prasejarah mungkin.. (ha ha ha), saya pernah begitu suka berbagi banyak hal dengan orang lain. Membagi dan dibagi. Itu bagian dari hidup, kan? Bukankah sejak dulu kita semua selalu dijejali sebuah teori bahwa manusia adalah makhluk sosial, yang salah satu kebutuhannya adalah berinteraksi dengan manusia atau makhluk lainnya. Saya juga, dulu saya suka berinteraksi dengan orang lain. Sampai suatu ketika, saya menjadi tidak terlalu suka lagi.

Permasalahannya bukan kapan itu semua berawal, tapi mengapa.

Penjelasannya bisa sangat panjang (saya yakin itu) dan banyak juga. Sebagian besar mungkin akan terdengar mengada-ada atau dibuat-buat jika saya jabarkan satu persatu. Tapi alasan besarnya adalah kepercayaan. 
Saya berhenti mempercayai orang lain. Ya. Saya bahkan sudah tidak lagi memiliki keinginan untuk percaya pada apapun. Termasuk pada orang lain.

Saya tidak akan menulis mengenai cerita-cerita dibalik hilangnya rasa percaya itu. Itu terlalu membosankan, dan saya yakin tak ada yang benar-benar peduli atau ingin tau. :)

Jadi, yang akan saya tuliskan adalah bahwa ketika seseorang sudah memutuskan untuk berhenti percaya --pada apapun atau siapapun-- orang tersebut akan belajar untuk hidup seorang diri. Ia akan belajar untuk tidak bergantung pada apapun, atau siapapun.

Itu lah yang terjadi pada saya. Saya mulai belajar untuk tidak memiliki ketergantungan pada apapun, saya berusaha tidak memiliki keinginan terhadap sesuatu apapun yang dapat membuat saya begitu..tertarik. Saya juga mulai belajar untuk tidak memiliki ketergantungan secara emosional kepada siapapun. Tak ada orang yang cukup bisa saya pedulikan, atau bahkan saya sayangi. Selain keluarga, tentunya.

Jadi, saya hidup untuk detik ini, saat ini dan sendiri.

Menyedihkan? Tidak.

Sebaliknya, saya justru menemukan sebuah kenyamanan. Dan rasa aman. Untuk pertama kalinya dalam sejarah hidup saya, saya aman. Saya aman bersama rasa percaya. Saya aman dari rasa sakit yang bisa diakibatkan oleh interaksi dengan orang lain. Dan saya terlena begitu lama dalam rasa aman ini.


Banyak yang bilang bahwa hidup hanya sekali, you only live once. Setiap momen hanya akan terjadi sekali. Sebenarnya saya agak kurang setuju, karena menurut saya dalam hidup ini ada sebuah siklus yang terus berulang dalam sebuah pola yang teratur. We live, love, learn and let go.

Ketika seseorang telah cukup lama hidup dengan membiasakan dirinya untuk tidak membagi apapun ke siapapun, maka pada saatnya ia akan memulai belajar untuk kembali berbagi, akan terasa sangat sulit.
Ya, saya masih sulit untuk sekedar berbagi dengan orang lain. Ada bagian yang sangat besar dalam diri saya yang selalu ingin menjauh saat ada orang lain yang ingin mendekat. Saya masih sering mendapati diri saya tak ingin berbicara dengan orang lain, tak ingin terlibat dengan kehidupan orang lain.

Saya masih sering ingin menyelesaikan apapun masalah yang sedang saya hadapi seorang diri. Bukan hanya dalam proses pengambilan keputusan yang saya lakukan sendiri tanpa melibatkan orang lain, tapi juga dari segi emosional, saya tidak suka membaginya dengan orang lain. Tak pernah ada yang benar-benar tau bagaimana perasaan saya, harapan atau ketakutan yang mengiringi berbagai peristiwa. Banyak peristiwa yang benar-benar hanya saya seorang diri yang tau. Tidak semua peristiwa ini kurang menyenangkan, bahkan ada beberapa pencapaian yang baik. Tapi saya simpan semuanya untuk diri saya sendiri.

Mungkin, memang ada yang salah dengan diri saya. Ya.

Akhir-akhir ini bahkan keadaan menjadi semakin...salah. Saya bukan hanya tidak suka membagi, tapi saya semakin tidak suka dibagi. Menyimak cerita atau hanya sekedar 'beban' orang lain telah membuat saya kurang nyaman. Ketika ada orang lain membagi -apapun itu- kepada saya, saya ingin menjauh sejauh-jauhnya. Awalnya hanya awkward, karena saya mulai kehilangan kemampuan berkomentar atau bahkan bereaksi. Saya seringkali tidak tau harus bagaimana, melakukan apa. Lama kelamaan saya semakin mirip orang yang tidak punya hati, tidak peduli. Banyak orang yang kemudian -sesuai dugaan/harapan saya- menjauh. Dan ketika beberapa orang lainnya dengan gigih mencoba kembali berbagi cerita hidupnya kepada saya, saya kembali merasakan urgensi untuk segera menjauh. Atau bersikap tidak mau tau, tidak peduli. Tidak mau dibebani.

Nah. Mungkin selama ini saya merasa terbebani pada saat orang lain membagi apapun itu kepada saya.
Atau mungkin saya hanya berpikir demikian: Selama ini saya tidak banyak membagi diri saya, lalu mengapa orang lain begitu ingin membagi diri mereka kepada saya? 

Saya masih sulit menerima orang lain untuk masuk ke dalam hidup saya. Itu. Karena ketika seseorang masuk dalam hidup orang lain, hidup mereka akan saling berpengaruh. Mereka terikat. Dan saya tidak suka terikat. 
Nah.



Tapi, kembali lagi..

Malam ini saya seolah menemukan kembali, ternyata berbagi itu cukup menyenangkan. Memiliki teman berbagi yang menyenangkan itu cukup menyenangkan, membuat pengalaman berbagi itu menjadi jauh lebih tidak traumatis bagi saya. Teman berbagi yang menyenangkan, yang membagi dirinya, kisahnya, bebannya secukupnya. Tidak terlalu membebani orang lain tapi juga cukup melegakan untuk dibagi bersama orang lain.

Mungkin saya memang harus banyak belajar soal berbagi. Karena, yah..tidak semua orang tidak bisa dipercaya. Tidak semua orang harus dijauhi. Saya yang harus belajar mengenai rasa percaya dan membuka diri. 

Why French Parents Are Superior


While Americans fret over modern parenthood, the French are raising happy, well-behaved children without all the anxiety. Pamela Druckerman on the Gallic secrets for avoiding tantrums, teaching patience and saying 'non' with authority.

When my daughter was 18 months old, my husband and I decided to take her on a little summer holiday. We picked a coastal town that's a few hours by train from Paris, where we were living (I'm American, he's British), and booked a hotel room with a crib. Bean, as we call her, was our only child at this point, so forgive us for thinking: How hard could it be?

We ate breakfast at the hotel, but we had to eat lunch and dinner at the little seafood restaurants around the old port. We quickly discovered that having two restaurant meals a day with a toddler deserved to be its own circle of hell.

Bean would take a brief interest in the food, but within a few minutes she was spilling salt shakers and tearing apart sugar packets. Then she demanded to be sprung from her high chair so she could dash around the restaurant and bolt dangerously toward the docks.


Our strategy was to finish the meal quickly. We ordered while being seated, then begged the server to rush out some bread and bring us our appetizers and main courses at the same time. While my husband took a few bites of fish, I made sure that Bean didn't get kicked by a waiter or lost at sea. Then we switched. We left enormous, apologetic tips to compensate for the arc of torn napkins and calamari around our table.

After a few more harrowing restaurant visits, I started noticing that the French families around us didn't look like they were sharing our mealtime agony. Weirdly, they looked like they were on vacation. French toddlers were sitting contentedly in their high chairs, waiting for their food, or eating fish and even vegetables. There was no shrieking or whining. And there was no debris around their tables.

Though by that time I'd lived in France for a few years, I couldn't explain this. And once I started thinking about French parenting, I realized it wasn't just mealtime that was different. I suddenly had lots of questions. Why was it, for example, that in the hundreds of hours I'd clocked at French playgrounds, I'd never seen a child (except my own) throw a temper tantrum? Why didn't my French friends ever need to rush off the phone because their kids were demanding something? Why hadn't their living rooms been taken over by teepees and toy kitchens, the way ours had?


Soon it became clear to me that quietly and en masse, French parents were achieving outcomes that created a whole different atmosphere for family life. When American families visited our home, the parents usually spent much of the visit refereeing their kids' spats, helping their toddlers do laps around the kitchen island, or getting down on the floor to build Lego villages. When French friends visited, by contrast, the grownups had coffee and the children played happily by themselves.

By the end of our ruined beach holiday, I decided to figure out what French parents were doing differently. Why didn't French children throw food? And why weren't their parents shouting? Could I change my wiring and get the same results with my own offspring?

Driven partly by maternal desperation, I have spent the last several years investigating French parenting. And now, with Bean 6 years old and twins who are 3, I can tell you this: The French aren't perfect, but they have some parenting secrets that really do work.

I first realized I was on to something when I discovered a 2009 study, led by economists at Princeton, comparing the child-care experiences of similarly situated mothers in Columbus, Ohio, and Rennes, France. The researchers found that American moms considered it more than twice as unpleasant to deal with their kids. In a different study by the same economists, working mothers in Texas said that even housework was more pleasant than child care.


Rest assured, I certainly don't suffer from a pro-France bias. Au contraire, I'm not even sure that I like living here. I certainly don't want my kids growing up to become sniffy Parisians.

But for all its problems, France is the perfect foil for the current problems in American parenting. Middle-class French parents (I didn't follow the very rich or poor) have values that look familiar to me. They are zealous about talking to their kids, showing them nature and reading them lots of books. They take them to tennis lessons, painting classes and interactive science museums.

Yet the French have managed to be involved with their families without becoming obsessive. They assume that even good parents aren't at the constant service of their children, and that there is no need to feel guilty about this. "For me, the evenings are for the parents," one Parisian mother told me. "My daughter can be with us if she wants, but it's adult time." French parents want their kids to be stimulated, but not all the time. While some American toddlers are getting Mandarin tutors and preliteracy training, French kids are—by design—toddling around by themselves.

I'm hardly the first to point out that middle-class America has a parenting problem. This problem has been painstakingly diagnosed, critiqued and named: overparenting, hyperparenting, helicopter parenting, and my personal favorite, the kindergarchy. Nobody seems to like the relentless, unhappy pace of American parenting, least of all parents themselves.


Of course, the French have all kinds of public services that help to make having kids more appealing and less stressful. Parents don't have to pay for preschool, worry about health insurance or save for college. Many get monthly cash allotments—wired directly into their bank accounts—just for having kids.

But these public services don't explain all of the differences. The French, I found, seem to have a whole different framework for raising kids. When I asked French parents how they disciplined their children, it took them a few beats just to understand what I meant. "Ah, you mean how do we educate them?" they asked. "Discipline," I soon realized, is a narrow, seldom-used notion that deals with punishment. Whereas "educating" (which has nothing to do with school) is something they imagined themselves to be doing all the time.

One of the keys to this education is the simple act of learning how to wait. It is why the French babies I meet mostly sleep through the night from two or three months old. Their parents don't pick them up the second they start crying, allowing the babies to learn how to fall back asleep. It is also why French toddlers will sit happily at a restaurant. Rather than snacking all day like American children, they mostly have to wait until mealtime to eat. (French kids consistently have three meals a day and one snack around 4 p.m.)

One Saturday I visited Delphine Porcher, a pretty labor lawyer in her mid-30s who lives with her family in the suburbs east of Paris. When I arrived, her husband was working on his laptop in the living room, while 1-year-old Aubane napped nearby. Pauline, their 3-year-old, was sitting at the kitchen table, completely absorbed in the task of plopping cupcake batter into little wrappers. She somehow resisted the temptation to eat the batter.

Delphine said that she never set out specifically to teach her kids patience. But her family's daily rituals are an ongoing apprenticeship in how to delay gratification. Delphine said that she sometimes bought Pauline candy. (Bonbons are on display in most bakeries.) But Pauline wasn't allowed to eat the candy until that day's snack, even if it meant waiting many hours.


When Pauline tried to interrupt our conversation, Delphine said, "Just wait two minutes, my little one. I'm in the middle of talking." It was both very polite and very firm. I was struck both by how sweetly Delphine said it and by how certain she seemed that Pauline would obey her. Delphine was also teaching her kids a related skill: learning to play by themselves. "The most important thing is that he learns to be happy by himself," she said of her son, Aubane.

It's a skill that French mothers explicitly try to cultivate in their kids more than American mothers do. In a 2004 study on the parenting beliefs of college-educated mothers in the U.S. and France, the American moms said that encouraging one's child to play alone was of average importance. But the French moms said it was very important.

Later, I emailed Walter Mischel, the world's leading expert on how children learn to delay gratification. As it happened, Mr. Mischel, 80 years old and a professor of psychology at Columbia University, was in Paris, staying at his longtime girlfriend's apartment. He agreed to meet me for coffee.

Mr. Mischel is most famous for devising the "marshmallow test" in the late 1960s when he was at Stanford. In it, an experimenter leads a 4- or 5-year-old into a room where there is a marshmallow on a table. The experimenter tells the child he's going to leave the room for a little while, and that if the child doesn't eat the marshmallow until he comes back, he'll be rewarded with two marshmallows. If he eats the marshmallow, he'll get only that one.

Most kids could only wait about 30 seconds. Only one in three resisted for the full 15 minutes that the experimenter was away. The trick, the researchers found, was that the good delayers were able to distract themselves.

Following up in the mid-1980s, Mr. Mischel and his colleagues found that the good delayers were better at concentrating and reasoning, and didn't "tend to go to pieces under stress," as their report said.

Could it be that teaching children how to delay gratification—as middle-class French parents do—actually makes them calmer and more resilient? Might this partly explain why middle-class American kids, who are in general more used to getting what they want right away, so often fall apart under stress?

Mr. Mischel, who is originally from Vienna, hasn't performed the marshmallow test on French children. But as a longtime observer of France, he said that he was struck by the difference between French and American kids. In the U.S., he said, "certainly the impression one has is that self-control has gotten increasingly difficult for kids."

American parents want their kids to be patient, of course. We encourage our kids to share, to wait their turn, to set the table and to practice the piano. But patience isn't a skill that we hone quite as assiduously as French parents do. We tend to view whether kids are good at waiting as a matter of temperament. In our view, parents either luck out and get a child who waits well or they don't.

French parents and caregivers find it hard to believe that we are so laissez-faire about this crucial ability. When I mentioned the topic at a dinner party in Paris, my French host launched into a story about the year he lived in Southern California.

He and his wife had befriended an American couple and decided to spend a weekend away with them in Santa Barbara. It was the first time they'd met each other's kids, who ranged in age from about 7 to 15. Years later, they still remember how the American kids frequently interrupted the adults in midsentence. And there were no fixed mealtimes; the American kids just went to the refrigerator and took food whenever they wanted. To the French couple, it seemed like the American kids were in charge.

"What struck us, and bothered us, was that the parents never said 'no,' " the husband said. The children did "n'importe quoi," his wife added.

After a while, it struck me that most French descriptions of American kids include this phrase "n'importe quoi," meaning "whatever" or "anything they like." It suggests that the American kids don't have firm boundaries, that their parents lack authority, and that anything goes. It's the antithesis of the French ideal of the cadre, or frame, that French parents often talk about. Cadre means that kids have very firm limits about certain things—that's the frame—and that the parents strictly enforce these. But inside the cadre, French parents entrust their kids with quite a lot of freedom and autonomy.

Authority is one of the most impressive parts of French parenting—and perhaps the toughest one to master. Many French parents I meet have an easy, calm authority with their children that I can only envy. Their kids actually listen to them. French children aren't constantly dashing off, talking back, or engaging in prolonged negotiations.

One Sunday morning at the park, my neighbor Frédérique witnessed me trying to cope with my son Leo, who was then 2 years old. Leo did everything quickly, and when I went to the park with him, I was in constant motion, too. He seemed to regard the gates around play areas as merely an invitation to exit.

Frédérique had recently adopted a beautiful redheaded 3-year-old from a Russian orphanage. At the time of our outing, she had been a mother for all of three months. Yet just by virtue of being French, she already had a whole different vision of authority than I did—what was possible and pas possible.

Frédérique and I were sitting at the perimeter of the sandbox, trying to talk. But Leo kept dashing outside the gate surrounding the sandbox. Each time, I got up to chase him, scold him, and drag him back while he screamed. At first, Frédérique watched this little ritual in silence. Then, without any condescension, she said that if I was running after Leo all the time, we wouldn't be able to indulge in the small pleasure of sitting and chatting for a few minutes.

"That's true," I said. "But what can I do?" Frédérique said I should be sterner with Leo. In my mind, spending the afternoon chasing Leo was inevitable. In her mind, it was pas possible.

I pointed out that I'd been scolding Leo for the last 20 minutes. Frédérique smiled. She said that I needed to make my "no" stronger and to really believe in it. The next time Leo tried to run outside the gate, I said "no" more sharply than usual. He left anyway. I followed and dragged him back. "You see?" I said. "It's not possible."

Frédérique smiled again and told me not to shout but rather to speak with more conviction. I was scared that I would terrify him. "Don't worry," Frederique said, urging me on.

Leo didn't listen the next time either. But I gradually felt my "nos" coming from a more convincing place. They weren't louder, but they were more self-assured. By the fourth try, when I was finally brimming with conviction, Leo approached the gate but—miraculously—didn't open it. He looked back and eyed me warily. I widened my eyes and tried to look disapproving.

After about 10 minutes, Leo stopped trying to leave altogether. He seemed to forget about the gate and just played in the sandbox with the other kids. Soon Frédérique and I were chatting, with our legs stretched out in front of us. I was shocked that Leo suddenly viewed me as an authority figure.

"See that," Frédérique said, not gloating. "It was your tone of voice." She pointed out that Leo didn't appear to be traumatized. For the moment—and possibly for the first time ever—he actually seemed like a French child.

sumber





Sakit


Ada yang mendapatkan kenyamanan atau kebahagiaan atau pelarian dari rasa sakitnya sendiri dengan cara SENGAJA menyakiti orang lain.
Ada orang yang jauh lebih senang menyakiti diri sendiri daripada harus tak sengaja menyakiti orang lain. Dan menemukan kesenangan dari proses menyakiti dirinya sendiri, lebih daripada kewajaran.

Ada yang memilih untuk berontak dari semua rasa sakit. Mencoba menyingkirkan rasa sakit yang terus mengejarnya sejak dulu. Berontak dan berontak seumur hidup, sehingga tak lagi jelas baginya, mana rasa sakit yang sesungguhnya harus dilawan.

Ada juga orang yang benar-benar menikmati semua kesenangan, mereguknya dengan serakah dan tak pernah merasa cukup. Menyedot semua kebahagiaan dari setiap hal yang ditemuinya sepanjang perjalanan hidupnya. Tak pernah benar-benar merasa cukup dengan kebahagiaan yang dimilikinya.

Ada pula yang benar-benar menanggung semua rasa sakit sendirian. Membiarkan rasa sakit bersemayam begitu lama dalam hidupnya. Karena benar-benar tak tau harus berbuat apa terhadapnya. Juga tak memiliki wadah untuk menumpahkan semua rasa sakitnya.

Ada yang benar2 menutup pintu hati dari semua perasaan, memiliki hidup bagaikan robot karena terlalu takut untuk merasakan rasa sakit.

Ada juga yang piawai menyembunyikan semua rasa sakitnya dibalik semua tawa dan senyumnya. Memainkan sandiwara hidup dengan baik, selalu memilih menjadi aktor/aktris protagonis. Membiarkan orang lain bersorak sorai memuji kepiawaiannya bersandiwara. Namun selalu merasa sepi.

Semua orang sakit.
Masokis, hedonis, apatis, atau apapun. Kita semua sakit!
Hidup terkadang menjadi berat dan kita merasa sakit. Cara kita menyikapinya berbeda-beda.

Seharusnya tak boleh ada sebuah standar bagi siapapun untuk menilai atau menghakimi pilihan orang lain untuk menyikapi rasa sakitnya. Bagaimana bisa sesama pasien saling memvonis?

Yang seharusnya terjadi adalah proses saling mengobati. Yang satu bisa menjadi obat bagi yang lainnya. Agar kemudian dapat tersembuhkan.

Harapan.
Itulah yang obat yang sesungguhnya dibutuhkan oleh orang yang sedang sakit. Harapan akan tetap hidup esok hati, harapan akan ada kehidupan yang lebih baik yang bisa didapatkannya setelah dia sembuh. Harapan akan senyum orang lain yang menantinya di rumah.

Di mana dapat ditemukan apotek yang menjual obat bernama 'harapan'? Sayangnya, para apoteker belum ada yang bisa menemukan obat tersebut. Jadi maaf, tidak ada di pasaran.

Lalu apa yang terjadi selanjutnya pada orang-orang sakit? Mereka harus meracik dan meramu obat bernama 'harapan' itu sendiri. Kalau mereka beruntung, akan ada orang lain yang membantu.

Kalau tidak cukup beruntung? Bukan berarti tak bisa bertahan hidup, sobat! Tumbuhkan sendiri tanaman harapanmu di bangsal rumah sakit tempat kamu dirawat. Hingga pada saatnya, ia bisa menjadi tanaman yang bisa kamu racik menjadi obat. Itu yang akan menyembuhkanmu.

Berat, memang. Sakit saja sudah berat, terlebih lagi tidak ada yang merawat dan tidak ada obat. Tapi itu semua tidak lantas kemudian membuat kesempatan hidupmu hilang sama sekali. Justru di situlah letak sebuah kesempatan emas! Kamu bisa menjadi The Chosen One, The Boy Who Lived. Halaaah... maaf, kita sedang tak berbicara tentang anak lelaki berkacamata yang memiliki bekas luka di dahinya.

Kamu bisa menjadi seorang pemenang yang berhasil lolos dari sebuah pertarungan sengit, yang lubang lolosnya lebih kecil daripada jarum jahit terkecil. Kamu akan menjadi alumni sebuah perguruan besar bernama Kehidupan. Dengan predikat summa cumlaude.

Ya, orang sakit lainnya juga akan lolos. Tapi kamu berbeda. Kamu melewati proses yang lebih 'menantang'. Sekilas kamu nampak sama, Orang Yang Sudah Sembuh. Tapi kamu TAU bahwa kamu berbeda. Dan itu cukup, sebagai modalmu.

Setelahnya, melangkah ke luar dan temui dunia baru yang siap menyambut orang hebat sepertimu!

FLORENCE NIGHTINGALE SYNDROME


Gara-gara baca sebuah buku yang sedikit menyinggung tentang Florence Nightingale Syndrome, saya jadi tergelitik untuk mencari tau lebih lanjut tentangnya. Hasil gugel sana-sini, akhirnya saya menemukan beberapa hal yang cukup mengejutkan

The Florence Nightingale Syndrome is also referred to as the Florence Nightingale Effect.This syndrome happens when an individual caring for another individual develops romantic feelings for them. More specifically the Florence Nightingale Syndrome is a psychological complex that might happen when a vulnerable patient is being cared for and their caretaker develops romantic and oftentimes erotic feelings for them. The Florence Nightingale Syndrome can also occur when the patient develops romantic feelings for their caretaker as they begin to see them as their protector.

(sumber)

Well, Well.. can't help but think that i might have it.

Sejak dulu saya heran pada diri saya sendiri, karena saya memang punya kecenderungan untuk peduli pada "yang sedang kesusahan" atau "yang kurang beruntung". If you know what i mean.

Misal, di hiruk pikuknya aktifitas sehari-hari dan interaksi dengan banyak orang, saya memang cenderung merasa tertarik pada wajah yang murung. Saya mungkin akan lebih banyak mengamati si wajah murung ini sambil melakukan psiko-analisa (yang seringnya berujung sok tau sih -___-). Mengapa orang ini menampakkan wajah murung? Apakah ia benar-benar murung? Ataukah hanya sedang mengantuk? (Beberapa orang yang sedang mengantuk memiliki wajah murung juga. True story). Lalu psiko-analisa tersebut menjadi semakin liar sampai berubah menjadi keinginan untuk mengkonfirmasinya kepada orang tersebut, mengapa ia murung? Apa masalahnya? ...Sampai berlanjut kepada (biasanya) orang tersebut bercerita pada saya dan membagi bebannya.

Awalnya saya hanya berpikir kecenderungan saya ini hanya disebabkan oleh karena saya anak pertama, semacam selalu ada keinginan untuk melindungi dan membuat nyaman orang lain, sampai kalau bisa, menyembuhkan luka hatinya. Atau saya hanya kebetulan memiliki kelebihan sense keibuan yang sangat normal dimiliki oleh setiap wanita. Semua itu normal-normal saja.

Namun, tak jarang hal berubah menjadi lebih complicated ketika berhubungan dengan lawan jenis. Ketika saya bersikap seperti itu, tak jarang ada perasaan yang ikut terlibat. Beberapa kali (Ugh. Oke, sering) saya menjadi lebih peduli daripada yang seharusnya. Dan, (Oke, sering lagi), keadaan berubah menjadi lebih daripada yang seharusnya. If you know what i mean.

There are times when we feel so vulnerable, wounded or even broken. And when there's a person who is willing to heal our wound, we feel healed. First aid is intimate. Tak jarang, saya dengan instan mengartikan bahwa proses penyembuhan ini telah membuat kami saling jatuh cinta.

Symptoms of the Florence Nightingale Syndrome would be very similar to that of falling in love with someone or having an intense crush

Pertanyaannya, apakah perasaan yang berkembang selama proses tersebut bisa dikatakan perasaan yang sesungguhnya? ataukah hanya sementara?

Beberapa hal yang saya alami setelah saya pikir-pikir ya memang karena FNS ini. Bertemu seorang lelaki yang begitu rapuh, butuh bahu untuk bersandar, dan sebagainya. And i played my part well, i enjoyed being healer so much. Sampai akhirnya situasi menjadi intense dan saya akhirnya sadar, bahwa saya tidak benar-benar menyukainya. Lalu kami menjauh. Beberapa kejadian berakhir damai, tapi seringnya tidak haha -__-

Pernah juga berada dalam situasi sebaliknya, di mana saat saya rapuh dan butuh bahu untuk bersandar. Ada seorang pria yang begitu baik layaknya malaikat, menjadi obat bagi luka yang saya dapat. Dan bertahun-tahun saya menganggap bahwa saya jatuh cinta padanya, padahal saya tak merasakan gejala orang yang sedang jatuh cinta saat bersamanya. Maksudnya, saya tak mengalami debaran jantung saat ia dekat atau merasa senang berlebihan yang konyol saat bertemu dengannya. Ketika bersamanya, saya hanya merasa tenang. Seolah disembuhkan.

This FNS sh*t just got real. And i was lost in confusion.

Saya juga membaca bahwa beberapa wanita menikmati menjadi dominan dalam sebuah hubungan, menikmati perannya menjadi penyembuh luka pasangannya. And i can honestly say, i'm one of those women. F**k me, right?

Apa kamu pernah atau sering merasa demikian? Kalau jawabanmu adalah iya, well.. welcome to the FNS club!

Kehilangan


Di dunia ini ada berapa macam rasa sakit? Dan sakit seperti apakah yang paling menyakitkan?
Bagi saya, sakit yang paling menyakitkan adalah rasa sakit yang tak dapat diungkapkan. Rasa yang merayap pelan di dalam hati hingga akhirnya menggerogoti seluruh kebahagiaan dan tak tersisa lagi harapan.
Tentunya bagi setiap orang, pengalaman paling menyakitkan ini berbeda-beda.
Bagi saya, pengalaman itu berupa kehilangan.

Apa kamu pernah kehilangan sesuatu? Walaupun kehilangan hal yang kecil dan remeh, tetapi pasti ada perasaan menyesal. "Mengapa saya tak menjaganya dengan cukup baik?!" Dan ketika hal tersebut sudah hilang, kamu akan merasakan ada yang berbeda dari biasanya. Ada sesuatu yang tak lengkap.

Begitulah yang saya rasakan saat saya kehilangan sesuatu. Apapun itu. Pernah suatu hari saya kehilangan dompet saya. Padahal saya termasuk tipe orang yang sangat teliti dan hati-hati menjaga dompet serta barang berharga. Itu kali pertama saya kehilangan barang berharga. Di dalam dompet tersebut ada uang sebesar kira-kira 400 ribu rupiah, tapi yang paling membuat saya tercekik adalah semua kartu identitas serta stnk motor saya ada di sana! Pasti akan sangat merepotkan jika harus mengurus ulang semua kelengkapan tersebut. Lalu saya mulai panik mengingat-ingat di mana lokasi kemungkinan saya kehilangan dompet tersebut, dengan harapan saya bisa menemukannya kembali. Berjam-jam saya berkeliling-keliling mencari, tapi usaha saya tak membuahkan hasil. Dompet saya sudah hilang. Saat itu saya merasa kecewa pada diri sendiri, ceroboh dalam menjaga barang berharga. Saya terus menerus menyalahkan diri saya sendiri. Andaikan waktu dapat diputar kembali, saya akan lebih berhati-hati.
Tapi sekuat apapun saya berusaha dan berdoa, saya tak bisa mengulang kembali waktu yang telah berlalu. Saya tak bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Hanya tersisa penyesalan.

Saat itu, saya kehilangan sebuah dompet. Saya tak pernah menyangka bahwa akan ada saatnya di mana saya harus kehilangan sesuatu yang lebih berharga dari sebuah dompet. Saya tak tau.

Saat ini, saya kehilangan sesuatu yang paling berharga dalam hidup saya. Sesuatu yang tak dapat dibeli kembali, atau dibuat "surat keterangan kehilangan" di kantor polisi terdekat. Tidak, ini sesuatu yang tak dapat terganti dengan apapun. Saya berusaha mengevaluasi, mengapa saya bisa kehilangan. Apa yang salah? Apa yang bisa saya lakukan untuk mendapatkannya kembali? Atau minimal mencari jejak hilangnya, seperti ketika saya kehilangan dompet itu. Tapi, setiap hal yang saya lakukan sepertinya malah semakin membuat kehilangan itu semakin besar, saya merasa hal itu makin jauh dari saya.

Saya tau, kali ini bukan sepenuhnya kesalahan saya sehingga saya kembali kehilangan sesuatu. Ini adalah hasil dari proses yang sudah berlangsung sejak lama. Pada awal tanda-tanda akan kehilangan itu muncul, saya juga sudah berusaha keras untuk menjaganya dengan lebih hati-hati. Namun ya itu tadi, ternyata semuanya menjadi semakin buruk. Hingga akhirnya saya benar-benar kehilangan.

Ini bukan sebuah pembelaan diri saya, bukan. Kalau kamu tau, tidak pernah ada satu hari pun terlewati tanpa saya menyalahkan diri saya sendiri sampai bisa ada kejadian seperti ini. Berkali-kali saya berusaha menghukum diri sendiri, membenci diri saya sendiri. Saya bukan orang yang baik, saya bahkan tidak bisa menjaga sesuatu yang PALING BERHARGA yang pernah saya miliki. Bagaimana mungkin saya bisa dipercaya oleh orang lain, sedangkan untuk hal seperti ini saja saya Gagal!

Saya juga merasa cukup terhukum, karena hal ini begitu dalam masuk hingga ke alam bawah sadar saya dan saya sering memimpikannya. Setiap mimpi selalu berakhir dengan semakin buruk semakin harinya.
Inilah penyesalan saya yang terdalam karena gagal menjaga sesuatu yang paling berharga.

Saat ini, saya sampai pada titik di mana saya sudah tidak tau lagi harus berbuat apa. Saya tidak punya jawaban atas pertanyaan yang terajukan. Saya tidak punya solusi untuk bahkan dicoba.

Inilah rasa sakit yang saya maksud, sakit yang sudah menghancurkan harapan. Kronis.

Pernah ada sebuah mimpi indah tentang bagaimana akhirnya saya kembali menemukan "yang hilang" tersebut. Tapi bahkan di dalam mimpi pun saya sadar bahwa saya sedang bermimpi, bahwa ini tidak nyata dan saya akan terbangun lalu kehilangan kembali.

saya tak tau bagaimana kelanjutan atau akhir dari kisah kehilangan ini.
Saya menulis ini dengan sebuah pesan, bahwa sesungguhnya kita semua lupa atas apa yang sudah kita miliki, lupa menghargainya, lupa mensyukurinya, lupa MENJAGANYA. Dan satu-satunya saat kita diingatkan akan nikmat apa yang kita miliki adalah saat kita kehilangannya.

Saya sudah merasakan dalamnya penyesalan atas sakitnya kehilangan. Jangan sampai kamu juga merasakannya.

Saat sesuatu yang berharga telah hilang, yang tersisa hanyalah ruang yang kini hampa tanpanya beserta rasa sesal yang setia menemani.

COAL TO LIQUID


Coal To Liquid Technology (CTL) merupakan salah satu bagian dari Coal Conversion Technology (CCT) yang bertujuan untuk memanfaatkan nilai guna batubara sebagai bahan bakar. Seperti yang sudah diketahui bersama bahwa batubara merupakan sumber bahan bakar selain minyak bumi dan gas alam yang tak dapat terbarukan (non renewable resources). Namun, berbeda dengan minyak bumi dan gas alam, batubara tersebar merata di seluruh dunia dalam cadangan yang cukup besar. Sehingga batubara dimanfaatkan sebagai sumber bahan bakar fosil utama oleh beberapa negara yang miskin sumber daya minyak/gas tetapi memiliki cadangan batubara yang melimpah seperti China, Amerika Serikat, Jepang, bahkan Afrika Selatan.
Permasalahan utama dalam penggunaan batubara adalah bahwa batubara merupakan bahan bakar padat, dan membutuhkan penyalaan awal agar bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi langsung. Selain itu, batubara juga memiliki masalah lain seperti membutuhkan tempat penyimpanan (stockpile) khusus setelah ditambang karena batubara memiliki sifat reaktif jika dibiarkan di tempat terbuka dalam waktu yang lama, dan akan segera terbakar dengan sendirinya (dikarenakan adanya volatile matters), belum lagi permasalahan transportasi yang membutuhkan penanganan khusus.

Pemanfaatan batubara dapat dimanfaatkan sebagai :

1.  sumber energi langsung, yaitu dengan cara langsung membakarnya dan mengambil energi panasnya (seperti di PLTU, dan Industri semen)

2.  sumber energi tidak langsung, yaitu dengan cara mengubah batubara ke dalam bentuk/fasa lain seperti

     ·     briket batubara (proses karbonisasi/pirolisis)

     ·     batubara cair (proses likuifaksi)

     ·     gasifikasi batubara (menghasilkan Synthesis Natural Gas, SNG)

3.  non energi:

       ·    Digunakan sebagai karbon aktif pada industri kimia

      ·     Kokas metalurgi pada industri pengolahan baja

Saat ini, terutama di Indonesia, batubara dimanfaatkan sebagai bahan bakar di PLTU, industri semen, briket batubara, serta pembuatan kokas metalurgi. Padahal, masih tersedia ruang pemanfaatan lain bagi batubara. Salah satunya adalah batubara cair, dengan proses likuifaksi

Likuifaksi Batubara adalah suatu teknologi proses yang mengubah batubara dan menghasilkan bahan bakar cair sintetis. Batubara yang berupa padatan diuah menjadi bentuk cair dengan cara mereaksikannya dengan hidrogen pada temperatur dan tekanan tinggi.

Proses likuifaksi batubara secara umum diklasifikasikan menjadi Indirect Liquefaction Processdan Direct Liquefaction Process.


1.      Indirect Liquefaction Process/ Indirect Coal Liquefaction (ICL)



Prinsipnya secara sederhana yaitu mengubah batubara ke dalam bentuk gas terlebih dahulu untuk kemudian membentuk Syngas (campuran gas CO dan H2). Syngas kemudian dikondensasikan oleh katalis (proses Fischer-Tropsch) untuk menghasilkan produk ultra bersih yang memiliki kualitas tinggi.




Gambar 1. Dua konfigurasi proses dasar untuk produksi bahan bakar cair denganIndirect Liquefaction Process

2.     Direct Liquefaction Process/ direct coal liquefaction (DCL)

Proses ini dilakukan dengan cara menghaluskan ukuran butir batubara, kemudian Slurry dibuat dengan cara mencampur batubara ini dengan pelarut. Slurry dimasukkan ke dalam reaktor bertekanan tinggi bersama-sama dengan hidrogen dengan menggunakan pompa. Slurry kemudian diberi tekanan 100-300 atm di dalam sebuah reaktor kemudian dipanaskan hingga suhu mencapai 400-480° C.

Secara kimiawi proses akan mengubah bentuk hidrokarbon batubara dari kompleks menjadi rantai panjang seperti pada minyak. Atau dengan kata lain, batubara terkonversi menjadi liquid melalui pemutusan ikatan C-C dan C-heteroatom secara termolitik atau hidrolitik (thermolytic and hydrolytic cleavage), sehingga melepaskan molekul-molekul CO2, H2S, NH3, dan H2O. Untuk itu rantai atau cincin aromatik hidrokarbonnya harus dipotong dengan cara dekomposisi panas pada temperatur tinggi (thermal decomposition). Setelah dipotong, masing-masing potongan pada rantai hidrokarbon tadi akan menjadi bebas dan sangat aktif (free-radical). Supaya radikal bebas itu tidak bergabung dengan radikal bebas lainnya (terjadi reaksi repolimerisasi) membentuk material dengan berat molekul tinggi dan insoluble, perlu adanya pengikat atau stabilisator, biasanya berupa gas hidrogen. Hidrogen bisa didapat melalui tiga cara yaitu: transfer hidrogen dari pelarut, reaksi dengan fresh hidrogen, rearrangement terhadap hidrogen yang ada di dalam batubara, dan menggunakan katalis yang dapat menjembatani reaksi antara gas hidrogen dan slurry (batubara dan pelarut).

Negara yang telah mengembangkan teknologi Direct Liquefaction Process adalah Jepang, Amerka Serikat dan Jerman. Bagi Indonesia, teknik konversi likuifaksi batubara secara langsung (Direct Liquefaction Process) dinilai lebih menguntungkan untuk saat ini. Selain prosesnya yang lebih sederhana, likuifaksi relatif lebih murah dan lebih bersih dibanding teknik gasifikasi. Teknik ini juga cocok untuk batubara peringkat rendah (lignit), yang banyak terdapat di Indonesia.

Banyak negara mengembangkan teknologi Likuifaksi Batubara. Di Amerika Serikat berkembang berbagai proyek pengembangan seperti pada gambar 2. Dan Jepang, sebagai salah satu negara pengembang teknologi Likuifaksi Batubara terkenal dengan salah satu proyeknya yaitu NEDOL memiliki 2 metode likuifaksi batubara yaitu Bituminous Coal Liquefaction dan Brown Coal Liquefaction.

Gambar 2. Proyek pengembangan teknologi Direct Liquefaction Process di Amerika Serikat

Gambar 3. Proyek pengembangan teknologi Direct Liquefaction Process di negara lain


Bituminous Coal Liquefaction

          Dalam proses Bituminous Coal Liquefaction, Proyek NEDOL berhasil menggabungkan 3 proses, yaitu: Solvent Extraction Process, Direct Hydrogenation Process, dan Solvolysis Process.

Spesifikasi proses NEDOL adalah sebagai berikut:

·         Tidak memerlukan batubara dengan spesifikasi tertentu. Batubara yang digunakan bisa dari low grade sub-bituminous sampai low grade bituminous.

·         Yield Ratio bisa mencapai 54% berat, lebih besar dari medium atau light oil

·         Temperatur standar reaksi adalah 450°C dan Tekanan standar 170 kg/cm2G

·         Membutuhkan katalis yang sangat aktif namun tidak mahal

·         Sebagai pemisah antara fasa cair-gas, digunakan sistem distilasi pengurang tekanan.

·         Digunakan pelarut terhidrogenasi yang dapat digunakan kembali untuk mengawasi kualitas pelarut agar dapat meningkatkan Yield Ratio dari batubara cair dan mencegah fenomena “cooking” pada tungku pemanas.

Proses NEDOL

·         Slurry dibuat dengan mencampurkan 1 bagian batubara dengan 1.5 bagian pelarut,lalu ditambahkan 3% katalis yang mengandung besi (ferrous catalyst)

·         Slurry dipanaskan sampai suhunya mencapai 400°C dalam preheating furnace.

·         Reaksi likuifaksi terjadi dalam kolom reaktor berjenis suspension bed foaming pada kondisi standar (Temperatur 450°C, Tekanan 170 kg/cm2G)

·         Batubara dikonversi menjadi bentuk cair oleh reaksi antara hidrogen dan pelarut.

·         Setelah melewati pemisah fase gas-cair, kolom distilasi bertekanan normal, dan kolom distilasi isap, batubara cair dipisahkan menjadi naphta, medium oil, heavy oil, dan residu.

·         Distilat medium oil dan heavy oil dipindahkan ke kolom reaksi berjenis fixed bed yang berisi katalis Ni-Mo. Pada kolom reaksi ini, distilat dikonversikan menjadi distilat ringan pada Temperatur 320°C dan Tekanan 100 kg/cm2G, dan digunakan kembali dalam reaksi sebagai pelarut (solvent)

 Gambar 4

Diagram alir proses Bituminous Coal Liquefaction



Brown Coal Liquefaction

          Proses pada Brown Coal Liquefaction, secara umum terdiri atas 3 proses, yaitu: Coal Pretreatment Process, Slurry Preheating Process, Primary hydrogenation process dan Secondary hydrogenation process.

·         Pretreatment Process merupakan proses peremukan raw brown coal, pengeringan, dan pembuatan Slurry. Slurry dibuat dengan mencampurkan 1 bagian batubara brown coal dengan 2.5 bagian pelarut, lalu ditambahkan  katalis yang mengandung besi (iron catalyst). Lalu Slurry diproses ke preheating process.

·         Primary hydrogenation process dilakukan dengan mengalirkan gas hidrogen pada Temperatur 430-450°C dan tekanan 150-200 kg/cm2G agar dapat terjadi proses likuifaksi.

·         Produk yang dihasilkan dikirim ke kolom distilasi dan didistilasi menjadi naphta, light oil dan medium oil.

·         Kolom distilasi bawah yang mengandung padatan dialirkan menuju kolom pemisah padatan-cairan pada proses pengeringan pelarut. Distilat cair kemudian dibawa ke proses Secondary hydrogenation dan padatan dibuang.

·         Reaktor jenis fixed bed yang diisi katalis Ni-Mo agar proses hidrogenasi dapat terjadi pada temperatur 300-400°C dan tekanan 150-200 kg/cm2G.

·         Kemudian dilakukan distilasi kembali agar dapat dipisahkan menjadi nephta, light distillate dan medium distillate.

·         Setelah proses selesai, dihasilkan 3 barrel batubara cair dari 1 ton batubara brown coal kering

Gambar 5

Diagram alir proses Brown Coal Liquefaction

Manfaat Likuifaksi Batubara

Likuifaksi batubara memiliki sejumlah manfaat:

1.       Batubara terjangkau dan tersedia di seluruh dunia, memungkinkan berbagai negara untuk mengakses cadangan batubara dalam negeri -dan pasar internasional- dan mengurangi ketergantungan pada impor minyak, serta meningkatkan keamanan energi.

2.       Batubara Cair dapat digunakan untuk transportasi, memasak, pembangkit listrik stasioner, dan di industri kimia.

3.       Batubara yang diturunkan adalah bahan bakar bebas sulfur, rendah partikulat, dan rendah oksida nitrogen.

4.       Bahan bakar cair dari batubara merupakan bahan bakar olahan yang ultra-bersih, dapat mengurangi risiko kesehatan dari polusi udara dalam ruangan



Sisi Lain Batubara Cair

Dalam penggunaannya, batubara cair sebagai bahan bakar alternatif dinilai dapat:

1.       Meningkatkan dampak negatif dari penambangan batubara

Penyebaran skala besar pabrik batubara cair dapat menyebabkan peningkatan yang signifikan dari penambangan batubara. Penambangan batubara akan memberikan dampak negatif yang berbahaya. Penambangan ini dapat menyebabkan limbah yang beracun dan bersifat asam serta akan mengkontaminasi air tanah. Selain dapat meningkatkan efek berbahaya terhadap lingkungan, peningkatan produksi batubara juga dapat menimbulkan dampak negatif pada orang-orang yang tinggal dan bekerja di sekitar daerah penambangan.

2.       Menimbulkan efek global warming sebesar hampir dua kali lipat per gallon bahan bakar.

Produksi batubara cair membutuhkan batubara dan energi dalam jumlah yang besar. Proses ini juga dinilai tidak efisien. Faktanya, 1 ton batubara hanya dapat dikonversi menjadi 2-3 barel bensin. Proses konversi yang tidak efisien, sifat batubara yang kotor, dan kebutuhan energi dalam jumlah yang besar tersebut menyebabkan batubara cair menghasilkan hampir dua kali lipat emisi penyebab global warming dibandingkan dengan bensin biasa. Walaupun karbon yang terlepas selama produksi ditangkap dan disimpan, batubara cair tetap akan melepaskan 4 hingga 8 persen polusi global warming lebih banyak dibandingkan dengan bensin biasa.

PROFESSOR BODOH YANG SOMBONG


Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada?
Apakah kejahatan itu ada?
Apakah Tuhan menciptakan kejahatan?
Seorang Profesor dari sebuah universitas terkenal menantang mahasiswa-mahasiswa nya dengan pertanyaan ini, ‘Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada?’.

Seorang mahasiswa dengan berani menjawab, ‘Betul, Dia yang menciptakan semuanya’.
‘Tuhan menciptakan semuanya?’
Tanya professor sekali lagi.

‘Ya, Pak, semuanya’ kata mahasiswa tersebut.

Profesor itu menjawab, ‘Jika Tuhan menciptakan segalanya, berarti Tuhan menciptakan Kejahatan. Karena kejahatan itu ada, dan menurut prinsip kita bahwa pekerjaan kita menjelaskan siapa kita, jadi kita bisa berasumsi bahwa Tuhan itu adalah kejahatan.’

Mahasiswa itu terdiam dan tidak bisa menjawab hipotesis professor tersebut. Profesor itu merasa menang dan menyombongkan diri bahwa sekali lagi dia telah membuktikan kalau agama itu adalah sebuah mitos.

Mahasiswa lain mengangkat tangan dan berkata, ‘Profesor, boleh saya bertanya sesuatu?’

‘Tentu saja,’ jawab si Profesor

Mahasiswa itu berdiri dan bertanya, ‘Profesor, apakah dingin itu ada?’
‘Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja dingin itu ada. Kamu tidak pernah sakit flu?’ Tanya si professor diiringi tawa mahasiswa lainnya.

Mahasiswa itu menjawab, ‘Kenyataannya, Pak, dingin itu tidak ada. Menurut hukum fisika, yang kita anggap dingin itu adalah ketiadaan panas. Suhu -460F adalah ketiadaan panas sama sekali. Dan semua partikel menjadi diam dan tidak bisa bereaksi pada suhu tersebut.

Kita menciptakan kata ‘dingin’ untuk mendeskripsikan ketiadaan panas.

Mahasiswa itu melanjutkan, ‘Profesor, apakah gelap itu ada?’

Profesor itu menjawab, ‘Tentu saja itu ada.’

Mahasiswa itu menjawab, ‘Sekali lagi anda salah Pak. Gelap itu juga tidak ada. Gelap adalah keadaan dimana tidak ada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari, gelap tidak. Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk memecahkan cahaya menjadi beberapa warna dan mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna. Tapi Anda tidak bisa mengukur gelap. Seberapa gelap suatu ruangan diukur dengan berapa intensitas cahaya di ruangan tersebut.

Kata gelap dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan cahaya.’

Akhirnya mahasiswa itu bertanya, ‘Profesor, apakah kejahatan itu ada?’

Dengan bimbang professor itu menjawab, ‘Tentu saja, seperti yang telah kukatakan sebelumnya. Kita melihat setiap hari di Koran dan TV. Banyak perkara kriminal dan kekerasan di antara manusia. Perkara-perkara tersebut adalah manifestasi dari kejahatan.’

Terhadap pernyataan ini mahasiswa itu menjawab, ‘Sekali lagi Anda salah, Pak. Kejahatan itu tidak ada. Kejahatan adalah ketiadaan Tuhan. Seperti dingin atau gelap, ‘kejahatan’ adalah kata yang dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan Tuhan. Tuhan tidak menciptakan kejahatan. Kejahatan adalah hasil dari tidak adanya kasih Tuhan dihati manusia.

Seperti dingin yang timbul dari ketiadaan panas dan gelap yang timbul dari ketiadaan cahaya.’

Profesor itu terdiam.

Nama mahasiswa itu adalah Albert Einstein.

KECELAKAAN


Kecelakaan dapat terjadi karena 2 hal, yaitu unsafe acts atau unsafe conditions.

Hal inilah yang pertama kali melintas di otak saya sesaat setelah saya mengalami kecelakaan tadi pagi. Saya langsung mengevaluasi diri saya, apakah saya telah melakukan unsafe acts? Ataukah lingkungan sekitar saya yang menciptakan unsafe condition bagi saya, sehingga kecelakaan tersebut terjadi.

hmm...
Kecelakaan ini bukan yang pertama kali terjadi sih pada diri saya. Saya sudah pernah mengalami kejadian serupa. Memang tingkat kecelakaan bagi pengendara kendaraan roda dua itu lumayan tinggi. Sekitar 69% kecelakaan dialami kendaraan roda dua, dan kecelakaan saya tadi pagi akan menambah angka statistik tersebut.

Saya sering berpikir bahwa rata-rata pengendara kendaraan roda dua itu memiliki budaya keselamatan yang cukup rendah. Mereka sering tidak mengindahkan keselamatan dalam berkendara. Bukan saja tidak memedulikan keselamatan dirinya sendiri, tapi mereka juga tidak memedulikan keselamatan orang lain sesama pengguna jalan.

Berapa banyak pengendara motor yang mengendarai motornya sambil sms-an? Atau bahkan sambil menelpon?? Saya bahkan ragu apakah mereka paham akan rambu-rambu lalu lintas. Ada beberapa golongan pengendara motor :
1. Yang tahu dan paham rambu lalu lintas dan rambu keselamatan berkendara lalu melaksanakannya
2. Yang tidak tahu dan tidak paham rambu lalu lintas dan rambu keselamatan berkendara tapi memiliki kesadaran untuk bertanggung jawab terhadap nyawanya dan nyawa orang lain sesama pengguna jalan sehingga mereka berkendara dengan mengutamakan keselamatan.
3. Yang tahu dan paham mengenai rambu lalu lintas dan rambu keselamatan namun memilih untuk mengacuhkannya dan ugal-ugalan di jalanan
4. yang tidak tahu, tidak paham mengenai semua rambu lalu lintas juga rambu keselamatan oleh karenanya mereka berkendara dengan tidak baik.

Sebaik-baiknya manusia pengendara kendaraan bermotor adalah mereka yang termasuk kepada golongan pertama, berkendara dengan didasari ilmu pengetahuan dan kesadaran. Orang-orang seperti inilah yang menjaga kita semua dari bahaya kecelakaan di jalan dengan menerapkan safety first. Mereka melakukan safety acts sehingga menjaga orang lain dari bahaya unsafe condition. Adapun mereka yang termasuk golongan kedua, walaupun sudah memiliki kesadaran untuk berkendara dengan hati-hati, tetaplah tidak cukup. Karena ketidak-tahuan mereka tentang keselamatan di jalan suatu saat akan dapat menimbulkan unsafe condition bagi pengguna jalan yang lain. Sedangkan golongan ketiga dan keempat, inilah mereka yang kerap kali menjadi penyebab banyaknya kecelakaan di jalan. Cara berkendara yang ugal-ugalan, egois, seenaknya sendiri salip sana sini, pepet sana sini, dan tidak sabaran seringkali merupakan hasil dari rendahnya pengetahuan yang mereka miliki. Tapi bisa jadi pula merupakan rendahnya kesadaran dari dalam diri mereka sendiri. Entah apa yang merasuki para manusia itu sehingga berkendara selayaknya binatang buas di hutan belantara sana, yang jika tidak berlari secepat kilat dan menerjang kesana kemari maka akan kehilangan buruannya.

pffffttt...
Saya rasa mungkin manusia sudah mulai berevolusi kembali menjadi binatang. Bukan begitu?

Ada satu hal menarik yang telah menjadi bahan kontemplasi saya setelah kecelakaan kecil tersebut terjadi. Hal itu adalah bagaimana dibutuhkannya sebuah sistem yang lebih mengakar rumput untuk (setidaknya) mencegah kecelakaan terus terjadi. Dibutuhkan lebih daripada hanya sekedar sebuah rambu pengingat di jalan, atau berbagai poster/spanduk pengimbau para pengendara agar berkendara dengan aman. Juga dibutuhkan lebih dari sekedar beberapa orang polisi yang berdiri di pinggir jalan seolah bertindak sebagai 'monumen' pengingat untuk berperilaku tertib di jalanan. Butuh lebih dari sekedar semua itu! Saya berbicara mengenai sebuah budaya yang berakar dari sebuah pengetahuan, kesadaran, kebiasaan, juga kepemimpinan terhadap diri sendiri agar bisa menerapkan keselamatan.

Rambu, poster, spanduk, marka, polisi, itu semua adalah faktor eksternal dalam upaya pencegahan kecelakaan. Tapi ada satu faktor yang paling penting dalam upaya ini, inilah faktor internal yang menentukan berhasil atau tidaknya upaya tersebut. Faktor itu adalah manusia itu sendiri, sebagai pelaku juga korban dari kecelakaan yang terjadi.

Manusia harus menjadikan keselamatan sebagai bagian dari budaya dalam kehidupan bermasyakarat. Itu maksud saya.

Sudah banyak penelitian yang berfokus pada faktor teknis dan juga sistem dalam penyebab terjadinya kecelakaan. Berbagai upaya pencegahan secara teknis pun dilakukan, seperti misalnya memperbaiki kondisi lingkungan agar tak terjadi kecelakaan. Juga pencegahan yang dilakukan secara sistemik, seperti membuat undang-undang tentang kecelakaan yang mengatur hukuman bagi pelanggarnya. Namun itu semua ternyata tidak menjawab inti permasalahan. Kecelakaan terus terjadi.

Lord Cullen, pada tahun 1990 mengatakan bahwa, "adalah penting untuk menciptakan suasana perusahaan atau budaya di mana keselamatan dipahami dan diterima sebagai, prioritas nomor satu oleh semua orang"

Ini maksudnya. Kecelakaan masih terjadi karena masih ada orang-orang yang meremehkan arti keselamatan. Sebagai contoh kecil yang kerap saya amati setiap kali saya duduk di kursi saya di pesawat terbang sesaat sebelum lepas landas. Ada saat dimana para awak kabin mendemonstrasikan prosedur keselamatan jika terjadi kecelakaan, bagaimana memasang sabuk pengaman, sampai prosedur evakuasi. Tidak semua orang memperhatikan, lho. Selalu ada orang yang asik ngobrol sendiri sampai ribut, atau ada yang sibuk membaca koran. Atau bahkan mulai tertidur! Yah, saya hanya berpikir sih.. iya, mungkin mereka begitu sering terbang, mungkin sehari bisa sampai dua kali hingga mereka pun sudah bosan bahkan hapal dengan prosedur tersebut. Tapi tetap saja, bagi saya apa sih susahnya memperhatikan prosedur tersebut? Tak sampai 5 menit kok, bahkan tak makan banyak energi. Hanya duduk dan memperhatikan. Well, siapa sih yang tau kapan pesawat kita akan mengalami kecelakaan? Kapan kita akan HARUS BISA menerapkan prosedur keselamatan tersebut? Bisa jadi saat kita tidak memperhatikan prosedur keselamatan itulah, pesawat kita mengalami kecelakaan dan kita mengalami serangan panik yang begitu hebatnya sehingga kita lupa harus berbuat apa.

Tapi sekali lagi, ini semua bukan mengenai bagaimana prosedurnya, atau apakah akan terjadi kecelakaan atau tidak. Ini masalah kesadaran akan keselamatan. Bagaimana jauh di dalam intisari jiwa kita, kita menghargai sebuah nyawa dan bagaimana hal tersebut kemudian mendorong kita untuk menempatkan keselamatan sebagai prioritas utama kita.

Cerminan seorang itu berbudaya atau tidak sering terlihat pada perilaku kecil yang dilakukannya ketika di tempat umum. Salah satu cara melihat apakah budaya keselamatan sudah mengakar pada masyarakat adalah mengamati perilaku masyarakat tersebut dalam berkendara. Apakah masih ugal-ugalan seperti binatang buas? Ataukah sudah lebih menghargai nyawa (minimal nyawanya sendiri)?

Eniwei
Saya jadi melantur nih .__.

Saya bersyukur sih, kecelakaan yang saya alami tidak parah. Kulit saya bahkan tidak tergores, walaupun telah dicium aspal ha ha ha. Kadang menjadi manusia nerd yang suka memakai busana berbahan tebal bahkan di hari-hari panas sekalipun itu sangat berguna. Contohnya ya saya ini. Sudah beberapa kecelakaan yang memaksa saya berciuman dengan aspal namun baju, dan rok saya yang tebal ini melindungi kulit saya dari luka parah. Bahkan pernah di suatu kecelakaan, kaus kaki saya yang tebal itu benar-benar menjadi pelindung setia. Dia robek begitu parah tapi kulit kaki saya hanya memar saja dan perih sedikit saja. Alhamdulillah yah, sesuatuk banget :p

Sedikit mengenai kronologi kecelakaannya ya. Tadi itu saya berkendara dengan motor saya seperti biasa. Lalu sampai tiba saatnya saya harus belok kanan. Saya sudah berhati-hati, dari jarak sekitar 100 m sebelum belok, saya menyalakan lampu sen ke kanan. Saya pun melihat ke spion kanan, memang ramai pengendara motor di belakang saya. Lalu karena masih ramai di belakang dan depan (arah balik), saya berhenti sejenak di kanan jalan dan menunggu sepi agar saya bisa belok dengan anggun seperti biasa. Namun tiba-tiba saya ditabrak dari arah kanan belakang oleh sebuah sepeda motor. Saya terjatuh sih ya, terhimpit pula oleh sepeda motor saya. Namun saya baik-baik saja (karena posisi motor saya sudah berhenti) dan langsung berdiri karena khawatir akan terjadi tabrakan beruntun. Namun naas melanda dua perempuan yang menabrak saya karena motor mereka yang sedang melaju harus tiba-tiba berhenti dan menabrak, pasti menimbulkan momentum yang cukup besar. Setelah menepi, kami jadi mengetahui bahwa kaca spion motornya pecah, dan sang pengendara yang hanya memakai baju sampai siku, mengalami lecet di bagian siku.

Sudah dua kali ya saya hitung, saya ditabrak dari arah kanan belakang. Penyebabnya sama, sang penabrak tidak memperhatikan lampu sen saya dan asik mengobrol. Kebetulan dari dua kecelakaan itu, saya ditabrak oleh mereka yang berboncengan. Dan sekali lagi, alhamdulillah yah, saya sedang sendirian saat ditabrak. Tak terbayang jika saya juga sedang berboncengan.........

Itulah sebabnya ketika saya sedang berboncengan, saya tak terlalu suka mengobrol. Karena saya tau, konsentrasi sang pengendara akan berkurang minimal 50% jika diajak mengobrol dan akibatnya perhatiannya kepada jalanan akan berkurang pula. Ini merupakan sebuah unsafe act!

Alhamdulillah saya masih selamat, hanya memar di lutut saja. Motor saya juga tak apa-apa, hanya gores sedikit saja. Alhamdulillah yah :)
Yah, diambil pelajarannya saja ya. Bahwa keselamatan itu penting, berkendara dengan SADAR itu sangat penting. Dengan berkendara dengan sadar, kita bukan hanya menghargai nyawa diri sendiri, tapi juga nyawa orang lain.

Ingat, safety first! :)

8 KEBOHONGAN SEORANG IBU


Ibuku Seorang Pembohong ? Sukar untuk orang lain percaya, tapi itulah yang terjadi, ibu saya memang seorang pembohong!! Sepanjang ingatan saya sekurang-kurangnya 8 kali ibu membohongi saya. Saya perlu catatkan segala pembohongan itu untuk dijadikan renungan anda sekalian.

Cerita ini bermula ketika saya masih kecil. Saya lahir sebagai seorang anak lelaki dalam sebuah keluarga sederhana. Makan minum serba kekurangan.

PEMBOHONGAN IBU YANG PERTAMA. Kami sering kelaparan. Adakalanya, selama beberapa hari kami terpaksa makan ikan asin satu keluarga.. Sebagai anak yang masih kecil, saya sering merengut. Saya menangis, ingin nasi dan lauk yang banyak. Tapi ibu pintar berbohong. Ketika makan, ibu sering membagikan nasinya untuk saya. Sambil memindahkan nasi ke mangkuk saya, ibu berkata : “”Makanlah nak ibu tak lapar.”-

PEMBOHONGAN IBU YANG KEDUA. Ketika saya mulai besar, ibu yang gigih sering meluangkan watu senggangnya untuk pergi memancing di sungai sebelah rumah. Ibu berharap dari ikan hasil pancingan itu dapat memberikan sedikit makanan untuk membesarkan kami. Pulang dari memancing, ibu memasak ikan segar yang mengundang selera. Sewaktu saya memakan ikan itu, ibu duduk di samping kami dan memakan sisa daging ikan yang masih menempel di tulang bekas sisa ikan yang saya makan tadi.Saya sedih melihat ibu seperti itu. Hati saya tersentuh lalu memberikan ikan yg belum saya makan kepada ibu. Tetapi ibu dengan cepat menolaknya. Ibu berkata : “Makanlah nak, ibu tak suka makan ikan.”

PEMBOHONGAN IBU YANG KETIGA. Di awal remaja, saya masuk sekolah menengah. Ibu biasa membuat kue untuk dijual sebagai tambahan uang saku saya dan abang. Suatu saat, pada dinihari lebih kurang pukul 1.30 pagi saya terjaga dari tidur.. Saya melihat ibu membuat kue dengan ditemani lilin di hadapannya. Beberapa kali saya melihat kepala ibu terangguk karena ngantuk. Saya berkata : “Ibu, tidurlah, esok pagi ibu kan pergi ke kebun pula.” Ibu tersenyum dan berkata : “Cepatlah tidur nak, ibu belum ngantuk.”

PEMBOHONGAN IBU YANG KEEMPAT. Di akhir masa ujian sekolah saya, ibu tidak pergi berjualan kue seperti biasa supaya dapat menemani saya pergi ke sekolah untuk turut menyemangati. Ketika hari sudah siang, terik panas matahari mulai menyinari, ibu terus sabar menunggu saya di luar. Ibu seringkali saja tersenyum dan mulutnya komat-kamit berdoa kepada allah agar saya lulus ujian dengan cemerlang. Ketika lonceng berbunyi menandakan ujian sudah selesai, ibu dengan segera menyambut saya dan menuangkan kopi yang sudah disiapkan dalam botol yang dibawanya. Kopi yang kental itu tidak dapat dibandingkan dengan kasih sayang ibu yang jauh lebih kental. Melihat tubuh ibu yang dibasahi peluh, saya segera memberikan cawan saya itu kepada ibu dan menyuruhnya minum. Tapi ibu cepat-cepatmenolaknya dan berkata : “Minumlah nak, ibu tak haus!!”

PEMBOHONGAN IBU YANG KELIMA. Setelah ayah meninggal karena sakit, selepas saya baru beberapa bulan dilahirkan, ibulah yang mengambil tugas sebagai ayah kepada kami sekeluarga. Ibu bekerja memetik cengkeh di kebun, membuat sapu lidi dan menjual kue-kue agar kami tidak kelaparan. Tapi apalah daya seorang ibu. Kehidupan keluarga kami semakin susah dan susah. Melihat keadaan keluarga yang semakin parah, seorang tetangga yang baik hati dan tinggal bersebelahan dengan kami, datang untuk membantu ibu. Anehnya, ibu menolak bantuan itu… Para tetangga sering kali menasihati ibu supaya menikah lagi agar ada seorang lelaki yang menjaga dan mencarikan nafkah untuk kami sekeluarga.. Tetapi ibu yang keras hatinya tidak mengindahkan nasihat mereka. Ibu berkata : “Saya tidak perlu cinta dan saya tidak perlu laki-laki.”

PEMBOHONGAN IBU YANG KEENAM. Setelah kakak-kakak saya tamat sekolah dan mulai bekerja, ibu pun sudah tua. Kakak-kakak saya menyuruh ibu supaya istirahat saja di rumah. Tidak lagi bersusah payah untuk mencari uang. Tetapi ibu tidak mau. Ibu rela pergi ke pasar setiap pagi menjual sedikit sayur untuk memenuhi keperluan hidupnya. Kakak dan abang yang bekerja jauh di kota besar sering mengirimkan uang untuk membantu memenuhi keperluan ibu, pun begitu ibu tetap berkeras tidak mau menerima uang tersebut. Malah ibu mengirim balik uang itu, dan ibu berkata : “Jangan susah-susah, ibu ada uang.”

PEMBOHONGAN IBU YANG KETUJUH. Setelah lulus kuliah, saya melanjutkan lagi untuk mengejar gelar sarjana di luar negeri. Kebutuhan saya di sana dibiayai sepenuhnya oleh sebuah perusahaan besar. Gelar sarjana itu saya sudahi dengan cemerlang, kemudian saya pun bekerja dengan perusahaan yang telah membiayai sekolah saya di luar negeri. Dengan gaji yang agak lumayan, saya berniat membawa ibu untuk menikmati penghujung hidupnya bersama saya di luar negeri. Menurut hemat saya, ibu sudah puas bersusah payah untuk kami. Hampir seluruh hidupnya habis dengan penderitaan, pantaslah kalau hari-hari tuanya ibu habiskan dengan keceriaan dan keindahan pula. Tetapi ibu yang baik hati, menolak ajakan saya. Ibu tidak mau menyusahkan anaknya ini dengan berkata ; “Tak usahlah nak, ibu tak bisa tinggal di negara orang.”-

PEMBOHONGAN IBU YANG KEDELAPAN. Beberapa tahun berlalu, ibu semakin tua. Suatu malam saya menerimaberita ibu diserang penyakit kanker di leher, yang akarnya telah menjalar kemana-mana. Ibu mesti dioperasi secepat mungkin. Saya yang ketika itu berada jauh diseberang samudera segera pulang untuk menjenguk ibunda tercinta. Saya melihat ibu terbaring lemah di rumah sakit, setelah menjalani pembedahan. Ibu yang kelihatan sangat tua, menatap wajah saya dengan penuh kerinduan. Ibu menghadiahkan saya sebuah senyuman biarpun agak kaku karena terpaksa menahan sakit yang menjalari setiap inci tubuhnya.

Saya dapat melihat dengan jelas betapa kejamnya penyakit itu telah menggerogoti tubuh ibu, sehingga ibu menjadi terlalu lemah dan kurus.. Saya menatap wajah ibu sambil berlinangan air mata. Saya cium tangan ibu kemudian saya kecup pula pipi dan dahinya. Di saat itu hati saya terlalu pedih, sakitsekali melihat ibu dalam keadaan seperti ini. Tetapi ibu tetaptersenyum dan berkata : “Jangan menangis nak, ibu tak sakit.”

Setelah mengucapkan pembohongan yang kedelapan itu, ibunda tercinta menutup matanya untuk terakhir kali. Dibalik kebohongannya, tersimpan cintanya yang begitu besar bagi anak2nya. Anda beruntung karena masih mempunyai orangtua… Anda boleh memeluk dan menciumnya. Kalau orangtua anda jauh dari mata, anda boleh menelponnya sekarang, dan berkata, “Ibu/Ayah, saya sayang ibu/ayah.” Tapi tidak saya lakukan, hingga kini saya diburu rasa bersalah yang amat sangat karena biarpun saya mengasihi ibu lebih dari segala-galanya, tapi tidak pernah sekalipun saya membisikkan kata-kata itu ke telinga ibu, sampailah saat ibu menghembuskan nafasnya yang terakhir.Ibu, maafkan saya. Saya sayang ibu…….

T_T
sumber

BATTLE HYMN OF THE TIGER MOTHER



Berawal dari kebosanan saya membaca buku fiksi akhir-akhir ini. Yah, buku fiksi akhir-akhir ini agak-agak membosankan. Buku fiksi bergenre fantasy seolah dominan memenuhi rak-rak di toko buku sejak Harry Potter, the Lord of The Rings, kemudian disusul oleh Twilight saga. Kemanapun saya pergi, di toko buku manapun, saya selalu menemukan buku-buku sejenis fantasy fiction. Awalnya saya menikmati saja sih.. tapi lama kelamaan saya bosan.
Karena saya suka sekali membaca, saya kemudian mulai mencari bacaan alternatif yang dapat memenuhi hasrat jiwa ini (halah). Pilihan saya jatuh (kembali) pada buku non-fiksi. Dan Buku Battle Hymn of the Tiger Mother (BHTM), adalah buku pilihan saya yang pertama. Sejujurnya, saya tertarik membaca buku ini sejak melihat banyaknya review buku ini di akun twitter Gramedia, dan karena dikatakan bahwa buku ini cukup kontroversial. Maka saya pun memutuskan untuk membacanya.

Saya membaca buku BHTM ini versi terjemahan dalam Bahasa Indonesia yang --dengan agak kurang pas menurut saya-- diterjemahkan menjadi "Cara Mendidik Anak Agar Sukses ala China". Kurang pas karena di dalam buku ini tidak seperti yang dicitrakan oleh judulnya, tidak berisi panduan mendidik anak ala China. Tapi lebih menyerupai sebuah kisah, sebuah memoar perjuangan seorang ibu dalam mendidik anaknya.

Saya membaca buku ini dalam 2 kali baca. Buku ini pun sebenarnya bukan termasuk buku berat, hanya 237 Halaman termasuk catatan dan sebagainya. Tetapi dapat saya katakan bahwa buku ini LUAR BIASA. Sampai detik ini, saya masih terkagum-kagum karena isi buku ini, yah, cukup mempengaruhi saya.

Setiap orang pasti memiliki sebuah prinsip dasar, seperti sebuah keyakinan yang dipegangnya dalam hidup. Prinsip ini, bukan melulu seperti sebuah prinsip yang mutlak juga sih.. tapi lebih menyerupai sesuatu yang diyakini sebagai hasil dari pengalaman hidup, pengetahuan dan wawasan, serta cita-cita dan impian seseorang dalam hidupnya. Begitu pun dengan saya. Sebelum membaca buku ini, saya pun sudah memiliki gambaran dasar mengenai bagaimana seharusnya seorang ibu membesarkan anaknya, bagaimana ibu mendidik anaknya, agar sukses. Karena saya belum berkeluarga, jadi yah.. saya hanya memiliki gambaran lah kira-kira bagaimana nantinya saya akan mendidik anak saya.

Tetapi, semua gambaran yang semula tersusun rapi dalam cita-cita saya tersebut seolah goyah dan hampir runtuh ketika saya mulai membaca buku ini. Saya rasa tidaklah berlebihan apabila buku ini dikatakan sebagai buku yang kontroversial.

Penulis (Amy Chua) dengan berani bahkan sejak di awal buku, bukan hanya memperbandingkan 2 metode mendidik anak (yang disebut ala Orangtua Barat dan ala Ibu China), tapi juga mengatakan bahwa metode Ibu China JAUH LEBIH UNGGUL dalam mendidik anak.

Well, disini masalahnya. Amy Chua dan keluarganya tinggal di Connecticut, Amerika Serikat. Suaminya, Jed Rubenfeld, adalah seorang Yahudi Amerika yang dibesarkan dengan metode Orangtua Barat. Jadi, ketika Amy Chua menuliskan buku ini, sebagian besar kaum Barat pun "menoleh".

Sebenarnya, bagi Orangtua China, metode Amy Chua dalam mendidik dan membesarkan anaknya bukan merupakan hal baru. Bisa dikatakan, hampir semua Orangtua China menerapkan metode pendidikan yang sama pada anaknya, hanya saja mereka tidak mengungkapkannya atau menuliskannya dalam bentuk buku yang menjadi NYT Best Seller.

Sering kita lihat anak Asia yang tinggal di Amerika, mereka menjadi anak yang lebih unggul dibandingkan dengan anak Amerika itu sendiri. Pada usia 10 tahun, seorang anak Asia bukan hanya sudah mampu menguasai Piano, tapi juga mampu menjadi Pianis Konser! Sementara anak Amerika sendiri, masih berkutat dengan entah apa. Disinilah Amy Chua membeberkan rahasia para Orangtua China dalam mendidik anaknya.

Anak tidak boleh mendapat nilai dibawah A dalam setiap pelajaran. A minus dianggap memalukan!
Anak harus menjadi sang nomor satu di setiap pelajaran, kecuali olahraga dan drama.
Anak harus patuh pada orang tua, apa pun yang terjadi.
Anak tidak boleh menginap di rumah teman, janjian bermain bersama teman-teman, menonton TV atau main game komputer.
Anak tidak boleh memilih kegiatan ekstrakurikuler sendiri.
Anak harus pintar bermain musik, alat musiknya harus merupakan alat musik klasik dan susah dimainkan seperti Piano dan Biola. Tidak boleh yang lain.
Anak harus berlatih keras bermain musik setiap hari, di luar jadwal kursus musik mereka, SETIAP HARI. Termasuk hari libur. Dimana pun.
Selama membaca buku ini, sebenarnya saya tercabik-cabik diantara perasaan kagum dan ragu. Saya kagum dengan hasil nyata atas metode Tiger Mother, hasil yang tidak akan didapatkan dengan menerapkan metode pendidikan ala barat. Namun saya juga ragu, apakah metode ini cukup manusiawi bagi anak-anak. Sepertinya keraguan saya juga menjadi keraguan banyak pembaca buku ini, bagaimana kerasnya Amy Chua mendidik 2 anak perempuannya (Sophia dan Louisa), apakah dengan kerasnya didikan Amy Chua, masa kanak-kanak kedua putrinya terenggut? Apakah Sophia dan Louisa menjadi anak-anak yang tidak menikmati masa kecilnya sendiri?

Semakin saya membaca buku ini, kedua hal tersebut semakin besar. Kekaguman saya kepada Amy Chua memuncak ketika pada akhirnya mengetahui bahwa Sophia memenangi kejuaraan piano setempat pada usia sembilan tahun dan pada usia 14 tahun, Sophia melakukan debutnya yang pertama di Carnegie Hall!

Keberhasilan Sophia menjadi Pianis Konser di usianya yang masih sangat muda tidak terlepas dari kerasnya didikan Amy Chua sebagai seorang Tiger Mother. Sophia berlatih piano bisa sampai 90 menit sehari, itu pun tidak termasuk jam belajarnya pada saat kursus. Bagaimana Amy memaksanya untuk tetap latihan sesuai jadwal, bahkan menambah jam latihannya menjelang konser. Ada saat ketika mereka sedang liburan di luar negeri, sang Tiger Mother pun tetap bersikeras bahwa anak-anaknya harus tetap berlatih musik. Bahkan sampai menyewa piano di sebuah toko musik untuk berlatih minimal selama 2 jam setiap hari!

Disinilah saya belajar mengenai kesungguhan dan kerja keras dari sang Tiger Mother. "Berlatih, berlatih, dan berlatih dengan tekun berperan sangat penting dalam menghasilkan kehebatan" adalah salah satu ungkapan sang Tiger Mother.

Anak kedua Amy Chua bernama Louisa atau biasa dipanggil Lulu. Sama seperti Sophia, Lulu juga dididik untuk menjadi seorang musisi pada usianya yang masih sangat muda. Amy Chua memilihkan Biola sebagai alat musik tambahan kepada Lulu, disamping Piano. Jadi sebenarnya Lulu juga dapat memainkan Piano, tapi kemudian dia diarahkan untuk lebih menguasai Biola.

Saya melihat bahwa Lulu berbeda dengan Sophia, Lulu lebih kritis. Sehingga Lulu dan Ibunya sering melewatkan waktu dengan bertengkar dan bertengkar selama masa latihan Biolanya. Sang Tiger Mother pun tidak sungkan untuk memaki jika anaknya tidak menaatinya. Disinilah sebenarnya konflik terjadi. Konflik batin sang Tiger Mother yang mulai meragukan metodenya sendiri.

Selama membaca buku ini, saya juga mengalami konflik batin (halah), apakah benar selama ini sang Tiger Mother benar-benar melakukan metodenya demi kebaikan anak-anaknya? apakah bukan demi dirinya sendiri? Berkali-kali sang Tiger Mother berkata bahwa anak-anak belum mengetahui apa yang baik bagi dirinya sendiri dan oleh karenanya, sudah kewajiban orang tua untuk menunjukkan apa yang terbaik untuk anak-anaknya. Walaupun demikian, sulit untuk tidak berprasangka bahwa sang Tiger Mother adalah jenis ibu ambisius yang rela mengorbankan kebahagiaan anaknya demi membuatnya bangga.

Disinilah letak kontroversialnya buku ini.

Banyak kalangan barat yang kemudian melayangkan protes kepada Amy Chua, bahwa sebagai seorang ibu, dia telah merampas hak asasi anak-anaknya sendiri dengan memaksanya terus berlatih musik dan merampas jam-jam bermain anaknya. Begitulah, karena mereka hidup di Amerika Serikat, dimana hak-hak asasi begitu dijunjung tinggi.

Tapi banyak pula kalangan yang terkagum-kagum dengan hasil nyata pendidikannya. Walau bagaimana pun, anak-anaknya terbukti menjadi anak yang sukses secara akademis sekaligus menjadi musisi cemerlang di usia mereka yang masih sangat belia.

Bagi saya pribadi, setelah membaca buku ini, saya mendapatkan banyak wawasan dan hal-hal baru. Kekaguman saya terhadap bangsa Asia Timur semakin menjadi-jadi. Saya menjadi sangat paham mengapa orang China (atau Korea atau Jepang) bisa begitu luar biasa! Metode Tiger Mother telah mengakar dalam kebudayaan mereka. Setiap kali melihat orang China memainkan Piano/Biola dengan piawainya, saya menjadi semakin kagum karena mengetahui betapa banyaknya mereka berlatih, bagaimana kerasnya disiplin mereka dalam belajar, betapa mereka dididik untuk menjadi pribadi yang kompetitif. Saya juga semakin banyak mengamati, betapa semakin banyaknya musisi yang berasal dari Asia Timur. Mengagumkan!

Saya jadi berpikir ulang mengenai metode barat dalam mendidik anaknya yang (yah akui sajalah), banyak lemahnya. Membaca buku ini membuat saya berpikir bahwa kebebasan yang diagung-agungkan oleh banyak orang barat banyak juga yang salah sasaran. Dalam beberapa hal, saya sepakat dengan Tiger Mother bahwa anak-anak perlu dididik untuk bekerja keras dan tidak memanjakannya.

"Orangtua China menuntut nilai sempurna karena mereka yakin bahwa anak mereka mampu mendapatkannya. Kalau anak mereka tidak mendapatkan nilai sempurna, orangtua China menganggap hal itu disebabkan karena anak mereka tidak belajar cukup rajin."

Sementara mungkin para orangtua Barat tidak pernah menuntut anaknya untuk mendapat nilai sempurna. Mendapat nilai B saja anak-anak mereka akan dipuji setinggi langit. Saya sepakat dengan sang Tiger Mother bahwa menanamkan pemikiran bahwa anak-anak layak untuk menjadi yang terbaik, oleh karenanya, mereka juga harus melakukan yang terbaik. Tidak ada batasan untuk kemampuan sang anak. Jika anak bisa mendapat nilai A, mengapa harus berpuas diri dengan nilai B?

"Orangtua China punya dua keunggulan dibandingkan orangtua Barat: (1) cita-cita yang lebih tinggi untuk anak-anak mereka, dan (2) rasa hormat yang lebih besar terhadap anak-anak mereka dalam mengenal seberapa banyak hal yang mampu mereka pelajari"

Namun, saya juga agak kurang sepakat dengan beberapa cara yang diterapkan sang Tiger Mother. Salah satu diantaranya adalah obsesi sang Tiger Mother agar anaknya menjadi Musisi dan seolah membatasi mereka hanya menjadi Musisi saja. No offense, tetapi di buku ini, saya mendapatkan kesan seolah sang Tiger Mother membatasi wilayah gerak sang anak hanya di bidang musik saja. Tak heranlah jika kemudian sang anak merasakan kebosanan yang memuncak sehingga membangkang bahkan sampai membenci musik.

Sesuatu yang berlebihan memang tidak pernah menjadi baik ya.. termasuk pemaksaan yang berlebihan sehingga memenjarakan diri. Walau bagaimana pun, ada sisi manusiawi dalam diri setiap manusia yang selalu ingin mencoba hal-hal baru diluar hal rutinnya. Dan sisi ini pun harus menemukan salurannya, harus turut difasilitasi.



Jika saya menjadi seorang ibu suatu saat nanti, hihihi.. Saya mungkin juga akan menerapkan keyakinan yang sama dengan Tiger Mother: anak saya layak untuk menjadi yang terbaik dan saya akan mendidiknya untuk melakukan yang terbaik. Yah, saya jadi terpikir juga untuk memberikan pendidikan musik klasik kepada mereka, tapi tidak dengan cara yang begitu ekstrim sampai memenjarakan hobi mereka yang lain.

"Musik klasik merupakan lawan dari kemerosotan, lawan dari kemalasan, kekasaran dan kemanjaan"

Musik klasik juga dapat membantu anak-anak mengembangkan otak kanannya agar seimbang dengan perkembangan otak kirinya selama mempelajari matematika dan sains. Yang pasti, anak-anak saya nantinya harus suka membaca hehehe.. kalau tidak suka membaca, berarti bukan anak saya! :p

Seperti yang saya katakan sejak awal, sangat salah mengartikan bahwa buku ini adalah seperti sebuah panduan bagaimana mendidik anak. Karena pengalaman dalam membaca buku ini tidak sama seperti membaca buku parenting. Buku ini lebih mengenai kisah seorang ibu yang sangat kuat memegang prinsipnya sebagai orang China dan menerapkan nilai-nilai tersebut kepada anak-anaknya. Saking kuatnya sang ibu, sampai menyebut dirinya sendiri Tiger Mother.

Saya juga sangat kagum dengan kecerdasan Amy Chua dalam menuliskan buku ini. Buku ini walaupun memang kisah pribadinya dan keluarganya hingga seperti memoar, tapi tidak terkesan hanya seperti buku yang berisi curhat semata. Banyak pengetahuan yang saya dapatkan mengenai musik klasik, biola, leukimia, bahkan sampai anjing Samoyed! Amy Chua selalu memasukkan data-data yang akurat dan terperinci dalam kisah-kisahnya.

Saya menemukan banyak artikel setelah saya mencari tau tentang Amy Chua lewat Google. Ternyata memang banyak yang kemudian mengkritisi metodenya, dan banyak hal kontroversial lainnya. Saya rasa wajar, karena seperti yang ia katakan

"Membesarkan anak ala China teramat sepi-- setidaknya kalau kita mencoba melakukannya di dunia Barat, dan kita sadari bahwa kita sendirian. Kita harus berjuang melawan seluruh sistem nilai yang berakar pada Renaissance, hak istimewa perorangan, teori perkembangan anak, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia-- dan tak seorang pun dapat kita ajak bicara secara jujur, meskipun orang itu adalah sosok yang kita sukai dan sangat kita hormati"

Jadi, ketika berbagai kontroversi itu muncul, saya rasa Amy Chua pun sudah paham dengan hal tersebut dan bisa mengatasinya, dia kan Tiger Mother! :p

Saya juga menemukan artikel yang ditulis oleh Sophia, yang bagi saya cukup mengharukan karena ternyata bagi seorang anak, Tiger Mother tidak merenggut hak-hak asasinya, tapi justru memberikannya sebuah kemandirian.

Pada akhirnya, saya akan kembali mengutip kalimat dari buku ini

"Hidup ini begitu singkat dan begitu rapuh, tentunya kita masing-masing harus berusaha memberi sebanyak mungkin makna pada setiap tarikan napas kita, setiap detik dari waktu yang berlalu."



Dear Tiger Mother, Terima kasih atas buku yang sangat menginspirasi ya!

Terlalu berlebihan berharap


Terlalu berlebihan berharap untuk hidup tanpa rasa sakit,
Adalah salah berharap untuk hidup tanpa rasa sakit,
Karena rasa sakit adalah pertahanan tubuh kita.
Tak peduli seberapa tak sukanya kita,
Dan tak ada yang suka rasa sakit,
Rasa sakit itu penting,
Dan kepada rasa sakitlah kita harus berterima kasih.
Bagaimana lagi kita bisa tahu,
Untuk menarik tangan kita dari api?
Jari kita dari belati?
Kaki kita dari duri?
Jadi rasa sakit itu penting
Dan kepada rasa sakitlah kita harus berterima kasih.

Namun,
Ada sejenis rasa sakit yang tak ada gunanya,
Itulah rasa sakit kronis,
Itulah pasukan elite rasa sakit yang bukan untuk pertahanan,
Itu adalah kekuatan yang menyerang.
Penyerang dari dalam,
Penghancur kebahagiaan pribadi,
Penyerang ganas bagi kemampuan pribadi,
Penyerbu tak kenal lelah bagi kedamaian pribadi,
Dan, pelecehan berkelanjutan bagi hidup!

Rasa sakit kronis adalah aral lintang terberat bagi pikiran.
Kadang rasa sakit itu nyaris mustahil untuk dilampaui,
Namun, kita harus tetap mencoba,
Dan mencoba,
Dan mencoba,
Sebab jika tidak, ia akan menghancurkan kita.

Dan
Dari pertempuran itu akan muncul hal-hal yang baik,
Kepuasan penaklukan rasa sakit.
Pencapaian kebahagiaan dan kedamaian,
Pada kehidupan sekalipun darinya.
Ini sungguhlah suatu pencapaian,
Pencapaian yang sangat istimewa, sangat pribadi,
Rasa akan kekuatan,
Kekuatan batiniah,
Yang harus dialami untuk bisa dipahami.

Jadi, kita semua harus menerima rasa sakit,
Sekali pun rasa sakit yang merusak.
Karena itu bagian dari segala sesuatu,
Dan pikiran dapat mengatasinya,
Dan pikiran akan menjadi lebih kuat dalam mengalaminya.

~Jonathan Wilson-Fuller
(Ditulis pada saat dia baru berumur 9 tahun)


Dikutip dari buku "Opening the Door of Your Heart (edisi Bahasa Indonesia berjudul "Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya") yang ditulis oleh Ajahn Brahm.

Monday, February 18, 2013

Apel dan Jeruk

Alkisah ada seseorang yang menyukai buah Apel. Sangat menyukainya. Ia terus menerus mengkonsumsi Apel dan tidak mengkonsumsi buah lainnya. Ia juga tidak merasa bosan dengan buah Apel. Semakin sering ia mengkonsumsi Apel, ia pun makin menyukainya.
Namun suatu saat, buah Apel menjadi langka lalu menghilang. Pohon-pohon Apel tidak sanggup lagi berbuah. Mereka menjadi kering dan mati perlahan. Orang yang menyukai Apel tentu merasa kehilangan. Ia pun merindukan buah Apel hampir setiap saat. Semua memori rasa buah Apel pun seolah membanjiri indra perasanya bahkan ketika buah itu tak ada. Rasanya semakin nyata. Baginya, buah Apel sungguh tak tergantikan.
Lalu, beberapa saat setelahnya ia mulai melihat buah Jeruk. Apel dan Jeruk sama-sama merupakan sumber Vitamin C. Namun Jeruk memang berbeda dari Apel. Apel lebih banyak mengandung antioksidan dan serat, sedangkan pada Jeruk kandungan vitamin C sangat berlimpah. Setelah mengenal buah jeruk, ia memutuskan untuk mulai mencoba buah Jeruk. Awalnya, rasanya berbeda namun kelamaan ia pun mulai menyukai Jeruk. Ia menyukai rasa asam dan manis pada jeruk dan mengagumi bagaimana bisa dua rasa yang jauh berbeda itu bisa bersatu. Baginya, itu seperti sebuah keajaiban. Lalu, ia semakin menyukai jeruk.
Ia bingung mengapa ia bisa menyukai Jeruk sedangkan ia masih benar-benar menyukai Apel dan masih akan tetap menyukainya mungkin sampai kapanpun. Tapi ia kemudian menjadi paham bahwa ia menyukai Jeruk bukan karena Apel telah tiada. Tapi karena ia memang menyukai Jeruk. Baginya, Jeruk telah menjadi spesial.
Namun tiada yang tau apa yang akan terjadi selanjutnya, jika suatu saat buah Apel kembali hadir. Akankah ia kembali mengkonsumsi Apel? Ataukah ia tetap setia pada Jeruk?
What do you think?

Menjadi kuat

Menjadi kuat bukanlah berarti kau tidak pernah lemah. Menjadi kuat adalah tentang bagaimana kau tetap bangkit setelah lemah.
Menjadi kuat bukanlah berarti tidak pernah ingin menyerah. Menjadi kuat lebih tentang bagaimana kau melawan keinginan untuk menyerah.
Menjadi kuat bukanlah berarti kau memakai senyum palsu setiap saat pada semua orang. Menjadi kuat berarti kau tetap tersenyum tulus saat harus tersenyum dan tidak takut menangis saat kau butuh menangis di hadapan sahabatmu, agar kau bisa membagi bebanmu dan bertambah kuat.
Menjadi kuat bukanlah menjadi orang yang berpikir sehat terus menerus, tanpa pikiran gila sama sekali. Menjadi kuat adalah ketika pikiran-pikiran gila itu datang, kau melakukan segala cara agar itu semua tidak merasukimu terlalu dalam.
Menjadi kuat bukanlah berarti saat seseorang melemahkanmu lalu kau terjatuh dan itu membuatmu merasa kalah. Menjadi kuat adalah bagaimana kau selalu berusaha menemukan sumber kekuatanmu saat kau lemah. Berpegang teguh pada sumber kekuatanmu, dan yakin bahwa satu-satunya keinginanmu adalah menjadi kuat.
Menjadi kuat bukanlah berarti sama sekali tidak memiliki rasa takut. Menjadi kuat lebih berarti bahwa kau BERTEKAD mengalahkan rasa takutmu. Perlahan-lahan.
Menjadi kuat bukanlah sebuah anugerah yang turun dari langit dan bisa kau pungut. Menjadi kuat adalah usaha yang tak kenal lelah untuk mencari ke dasar jurang tergelap lalu menemukannya dan menggenggamnya erat. Seolah-olah itu adalah benda yang paling berharga.
Sesungguhnya, setiap manusia itu kuat. Hanya sugestinya yang terus membayanginya setiap saat bahwa dia lemah.
Ingat saat kita kecil dan kita mulai belajar untuk berjalan? Kita terjatuh, terjatuh, terjatuh dan terus terjatuh. Entah sudah berapa kali kita terjatuh. Namun ternyata di umur semuda itu, kita dianugerahi insting alami untuk terus kuat mencoba dan mencoba.
Jika kita, di umur itu saja mampu untuk terus bangkit, mengapa sekarang tidak?
Apa yang menghalangi kita dari menjadi kuat sesungguhnya adalah pikiran-pikiran kita sendiri.
Sebelum tidur, sugestikan pada alam bawah sadar kita, bahwa AKU KUAT. Sugestikan berulang-ulang sampai jatuh tertidur.
Cobalah. Semoga kita bisa menjadi lebih kuat!

(24 Mei 2011. The perks of being introvert)