Ada sebuah fenomena yang menarik yang saya temui akhir-akhir ini. Bukan hanya saya saja yang mengalami rasanya, tapi sepertinya kita semua mengalami.
Jokowi dan Prabowo.
Itulah fenomenanya. Mereka seolah berada di mana-mana. Televisi, media sosial, bahkan obrolan sehari-hari pun seputar mereka.
Wajar ya, mengingat jadwal Pilpres yang semakin dekat. Dan dengan ramainya pembicaraan seputar kedua orang tersebut membuktikan bahwa animo masyarakat Indonesia terhadap politik (??) masih besar. Setidaknya, mungkin ini bisa jadi pertanda bahwa golongan apatis (?) politik semakin berkurang. Mungkin.
Sebelum saya lanjutkan menulis, saya ingin menyatakan bahwa tulisan ini tidak ada tendensi apapun dan tidak disponsori oleh golongan manapun. Saya sendiri pun bukan bagian dari golongan atau partai apapun. Bahkan, sampai saat ini pun saya belum tau akan memilih siapa pada Pilpres 9 Juli mendatang.
Kembali ke bahasan utama.
Saya sudah mengikuti 3 kali pemilu sejak 2004. Dan rasanya, belum pernah ajang Pilpres seramai kali ini. Atau hanya perasaan saya saja?
Setiap pemilu memang wajar menjadi pembicaraan sehari-hari. Pemilu yang sudah-sudah pun demikian, ramai menjadi bahan pemberitaan/pembicaraan.
Saya ingat ketika pemilu 2004 yang menghasilkan Pak SBY sebagai presiden. Atau pilpres 2009 yang bahkan lebih ramai karena pilpres dilaksanakan dalam 2 putaran, dengan hasil yang sepertinya pun sudah bisa ditebak.
Lalu, apa perbedaan pilpres yang dulu-dulu dan yang sekarang?
Harapan.
Mungkin itu sebabnya. Pada pilpres kali ini, masyarakat memiliki harapan yang sangat besar terhadap kedua calon pemimpin. Saya seperti bisa membaca harapan yang tersirat dalam setiap ulasan berita, tulisan di media sosial, atau bahkan obrolan sehari-hari. Harapan yang besar bahwa kelak, para calon pemimpin ini bisa membawa Indonesia menjadi lebih baik.
Mengenai harapan, saya sangat paham rasanya berharap. :)
Bagaimana rasanya seperti menemukan secercah cahaya dalam kegelapan. Perlahan, kita akan percaya bahwa mungkin saja hal baik akan terjadi esok hari. Bahwa mungkin saja cahaya yang hanya secercah itu akan bertambah intensitasnya. Ketika hal baik tidak juga kunjung terjadi, kita akan berusaha mempertahankan secercah cahaya tersebut, walaupun semakin redup. Bahkan, pada saat cahaya itu akan padam, kita akan mencari-cari alasan dan pembenaran bahwa cahaya itu akan hidup, bahkan akan bertambah terang.
Namun apa yang terjadi jika ternyata sang cahaya tersebut benar-benar padam? Mungkinkah kita justru akan sangat tidak suka kepada cahaya lagi di masa yang akan datang?
Saya menemukan banyak tulisan/berita yang isinya bukan hanya mendukung/memberikan opini kepada salah satu capres, tapi banyak pula yang isinya seolah mendukung salah satu capres dengan cara membeberkan prestasinya sekaligus membeberkan aib(?) capres lainnya. Terkadang pada intensitas yang amat...kuat. Seolah-olah calon yang didukungnya adalah yang terhebat, dan calon lainnya adalah.. penjahat.
Jarang saya menemukan tulisan/berita yang isinya hanya memberikan komentar simpatik kepada salah satu calon, tanpa sama sekali menyiratkan bahwa seolah-olah calon lainnya itu (minimal) bukan penjahat.
Saya sangat ingat pada suatu peristiwa di tahun 2009, menjelang Pilpres kala itu. Saat itu, saya masih sangat suka berada di tengah-tengah masyarakat. Bergaul ke sana kemari demi mendapatkan jawaban dari kehidupan, sesuatu yang saya cari mati-matian. Di suatu kesempatan, seorang bapak mengajak saya berbicara. Topik yang hangat adalah politik dan pilpres 2009. Beliau berbicara sangat banyak dan panjang lebar mengenai satu parpol, yang kebetulan mengusung capres dan lolos ke putaran kedua. Beliau berpendapat bahwa partai tersebut sangat baik, saya kutip, "terbaik". Dan sang bapak juga menyebutkan betapa parpol yang lain itu tidak baik, bahkan menyebutkan beberapa 'dosa' mereka.
Saat itu saya hanya menyimak, dan tidak banyak berkomentar. Karena saya tidak dimintai pendapat dan tidak berkapasitas untuk berpidato atau berdebat.
Tentu saja saya punya pendapat. Setiap orang pasti punya pendapat, tapi apakah pendapat tersebut harus selalu disuarakan dengan lantang dalam kondisi apapun dan bagaimana pun? Ada tempat dan waktu untuk setiap hal.
Saat ini, apa yang terjadi pada partai "terbaik" yang disebut oleh bapak itu? Atau capres yang didukungnya? Saat ini saya tidak yakin sang bapak tetap memiliki pendapat yang sama tentang apa yang dinilainya "terbaik" saat itu.
Sekali lagi, mungkin, MUNGKIN, bapak itu pernah memiliki sebuah harapan. Sama seperti masyarakat yang sekarang sedang menikmati ladang harapan utopis terhadap capres idamannya. Namun, harapan adalah.. harapan. Bisa menjadi kenyataan, bisa juga hanya harapan.
Memiliki harapan tidak pernah salah, tenggelam terlalu dalam di dalam harapan itu lah yang akan membunuh kita.
Dalam euforia pilpres dan gelombang dukungan kepada kedua capres, milikilah pelampung yang akan menyelamatkan kita agar tidak tenggelam atau hanyut.
Seperti kata bang Rhoma,
"begadang jangan begadang, kalau tiada artinya. Begadang boleh saja, asal ada perlunya"
Berharap jangan berharap, kalau tiada batasnya. Berharap boleh saja, asal ada batasnya.
:)