Friday, November 28, 2014
Loneliness
Wednesday, November 26, 2014
Seorang lelaki dan seorang kakek
Terkisah, ada seorang lelaki yang buta aksara.
Karena keinginannya yang kuat untuk terbebas dari kebodohan, dia pergi menuntut ilmu. Dengan giat dan sabar, dia belajar dan belajar hingga suatu hari dia bertemu dengan seorang kakek.
Mereka berbincang-bincang santai. Sang kakek pun menemukan bahwa lelaki tersebut sedang dalam proses menimba ilmu. Sang kakek merasa tertarik, kemudian bertanya mengenai ilmu yang baru saja dipelajari oleh sang lelaki. Sang lelaki pun menjelaskan, sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya mengenai ilmunya. Dia bercerita dengan hati yang tulus dan antusias dalam membagi ilmunya, walau masih sedikit dan tak seberapa nilainya.
Setelah sang lelaki selesai bercerita, sang kakek memberikan komentarnya. Betapa ilmu yang baru saja dipelajari oleh sang lelaki bertentangan dengan apa yang diketahuinya. Sang kakek juga sempat menyebutkan beberapa ilmu lain yang mendukung pendapatnya.
Sesaat, sang lelaki tertegun. Ia pun bertanya-tanya dalam hati, siapakah kakek yang baru ditemuinya? Mengapa kakek tersebut justru mengetahui lebih banyak daripada dirinya sendiri?
Saat itulah kemudian sang kakek mengaku bahwa dulunya ia adalah seorang ilmuwan. Dari obrolan selanjutnya, sang lelaki menemukan bahwa sang kakek sangat pandai dan berwawasan luas. Ia pun merasa semakin malu, ia baru saja menjelaskan ilmu dan pemahamannya yang sederhana pada orang yang ternyata lebih berilmu, seolah menebar garam di lautan.
Sang lelaki terdiam. Ia tidak pernah bermaksud untuk merasa lebih pintar lalu untuk kemudian membagikan ilmunya yang sederhana kepada siapapun. Terlebih lagi, kepada seorang ilmuwan yang ilmunya telah melebihi dirinya. Tetapi sang kakek ilmuwan telah membuatnya seolah menjadi seperti itu.
Andaikan saja sang kakek mau jujur dan terbuka sejak awal bahwa ia adalah seorang ilmuwan yang telah mengetahui ilmu sederhana yang dimiliki oleh sang lelaki, mungkin mereka justru akan saling mengerti. Sang lelaki tidak akan menuai rasa malu, bahkan justru bisa belajar dari sang kakek.
Dan sang kakek, mungkin tidak akan kehilangan banyak waktu hanya untuk mendengarkan sang lelaki menjelaskan ilmu yang telah diketahuinya sejak lama.
Sunday, November 9, 2014
Tersesat
Hidup di dunia itu tidak sendirian, dan tidak terlepas dari konflik antar sesama manusia. Saat terjadi konflik, terkadang saya masih tidak mau memaafkan kesalahan orang lain. Masih mengingat-ingatnya, menyimpannya teramat dalam di hati saya, membuatnya semakin busuk seiring berjalannya waktu.
Saya masih enggan menyapa orang yang pernah menyakiti saya, tidak mau berkomunikasi dengannya, membuang muka saat bertemu dengannya, tanpa memberinya kesempatan untuk menjelaskan, atau meminta maaf.
Padahal Allah Maha Pengampun.
Jikalau Allah itu mendendam, Dia tidak akan memaafkan dan mengampuni dosa-dosa saya di masa lalu. Terus-menerus mengingatnya, menghitung-hitungnya, menantikan saat yang tepat untuk membalas segala perbuatan buruk saya di masa lalu.
Tetapi tidak, Allah memaafkan dan mengampuni dosa setiap makhlukNya, asalkan bukan dosa karena menyekutukanNya. Ia menerima taubat, tetap mengasihi dan menyayangi makhlukNya, mengabulkan do'a yang tulus dipanjatkan. Dia tidak pernah perhitungan dalam memberikan kasih sayangNya.
Jikalau Allah mau, Dia bisa membuka seluruh aib saya, menyebarkannya kepada jin dan manusia. Membuat saya bagaikan kotoran yang berjalan, menebarkan bau yang tak sedap.
Tetapi Allah menyimpannya, menyembunyikannya dengan amat rapi. Bahkan Allah masih memberi saya kesempatan untuk memperbaiki diri, memulai hidup yang baru, menjadi lebih baik, sampai akhirnya diri yang penuh aib ini menuai banyak pujian, kekaguman.
Lalu mengapa hati saya bisa sampai ingin menyebar aib dan keburukan orang lain? Menambah-nambahkannya dengan tujuan ingin seseorang dicap buruk oleh orang-orang lainnya. Lisan ini mudah memutar-balikkan fakta, menyebar hasut dan fitnah, semata ingin agar orang lain membenci seseorang?
Seringkali saya tidak sadar, bahwa saya sebagai manusia telah berperilaku berlebihan. Merasa diri yang paling baik, merasa memiliki hak untuk menghakimi orang lain. Merasa memiliki hak untuk membalas perlakuan buruk orang lain dengan perlakuan yang sama buruknya, bahkan lebih buruk.
Padahal Allah tidak pernah demikian.
Seburuk-buruknya saya, Allah tidak pernah menyulitkan hidup saya. Allah tidak pernah memberi apapun kepada saya kecuali yang terbaik. Bukan hanya itu, Dia juga masih mau mendengarkan do'a-do'a saya di saat saya putus asa, jeritan kesedihan terdalam saya yang tidak pernah sanggup saya ungkapkan kepada siapapun.
Ada trilyunan makhluk-Nya, masing-masing memohon untuk didengar dan ditanggapi. Tetapi Allah masih bisa berlaku adil, Dia mendengar setiap panjatan do'a, tidak pernah bosan mendengar do'a yang diucap berulang-ulang. Mengabulkan permohonan do'a yang sama.
Jikalau Allah itu pencemburu berat,
Sudah berapa kali Ia akan ngambek karena saya jarang menemuiNya saat senang dan hanya ingat padaNya saat saya sulit? Bahkan, di saat sholat, ruku', dan sujud pun saya tidak selalu mengingatNya. Terkadang dikalahkan oleh hal-hal sepele, seperti es krim, atau dering telpon, atau pekerjaan yang belum selesai.
Tetapi tidak, berapa kali pun ruku' dan sujud kita, walaupun seringnya dilakukan dengan kurang sempurna, Dia tetap bergembira menyambut kita.
Berapa kali pun ibadah lainnya yang saya lakukan hanya sebagai penggugur kewajiban dan terkadang bercampur riya', Allah tetap menganggap saya adalah hambaNya. Allah tetap mengharapkan kedatangan hambaNya kepadaNya dalam kondisi terbaik, dengan usaha yang terus menerus lebih baik.
Lalu mengapa saya mudah putus asa? Saat datang ujian Allah yang sedikit saja bertambah tingkat kesulitannya, saya mudah untuk merasa down, patah semangat, kebingungan mengatasi persoalan.
Padahal Allah tidak pernah satu kali pun membiarkan saya sendirian. Saat saya merasa jauh dariNya, bukan Dia yang menjauh, tetapi saya yang menjauh.
Harapan saya bukan lagi hanya padaNya, padahal Dia Yang Maha Menentukan.
Saat beban terasa semakin berat, saya malah memohon untuk diringankan beban tersebut, bukan memohon untuk diberikan diri yang semakin kuat.
Tetapi itu semua tidak membuat Dia membenci saya, atau makhluk lainnya yang mengalami hal seperti yang saya alami.
Allah tetap menyayangi setiap makhlukNya, tidak berkurang sedikitpun kasih sayangNya setiap saat.
Tanpa saya sadari, saya memang kufur nikmat selama ini. Selalu merasa kurang. Kurang cantik, kurang pintar, kurang sejahtera, kurang bahagia, terlalu banyak memiliki masalah.
Tapi, sesungguhnya Allah telah memberikan saya banyak hal, hanya saja saya yang amat sangat kurang bersyukur.
Kalau saya merasa kurang bahagia, itu bukan karena saya tidak memiliki sesuatu, tetapi karena saya tidak mensyukuri apa yang saya miliki.
Ah, sekarang saya tersadar bahwa selama ini saya sudah tersesat. Tersesat dalam labirin kenegatifan. Dan saat ini Allah telah menunjukkan secercah cahaya sebagai pedoman bagi saya dalam ketersesatan. Cahaya tersebut bernama hidayah.
Tugas saya saat ini adalah menjaga agar supaya cahaya tersebut tidak padam. Syukur-syukur jika menjadi semakin terang dan menerangi jalan di sekitar saya, membantu yang lain yang mungkin juga sedang tersesat.
"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)".
(Q.S. Ali Imraan: 8)