Tuesday, November 19, 2013
NORMAL 101: A GUIDE TO CONVERT YOUR HUMAN INTO SOCIALLY ACCEPTABLE DROID
Tuesday, July 16, 2013
Doubt
Meragukan motif, sikap atau perilaku orang lain seringkali disalah-artikan sebagai negative thinking. Tetapi, bagaimana kita bisa benar-benar mengenal dan mengetahui seseorang jika kita tidak pernah meragukan mereka?
Ah, saya kembali teringat akan sebuah manga yang pernah saya baca. Judulnya 'Liar Game'. Ada sebuah pernyataan yang menarik bagi saya, dan tidak bisa saya lupakan.
"People should be doubted.
Many people misunderstand this concept. The truth is, doubting people is simply a part of trying to get to know them.
'Trust', that act is ,without a doubt, a very noble one.. but you know, what many people do, that they call 'trust' is actually giving up on trying to understand others. And that has nothing to do with 'trust', but is rather an APATHY. There are countless people out there who fail to realize that apathy is a far more devastating act than doubting others.
The worst of all people were the vast numbers who really believed they were doing good, when they were actually deceiving others. They didn't have the slightest clue what they were doing. Simply because they were trying to avoid picturing just how much pain they were inflicting on others by their actions. Not giving a single thought, is merely a state of complete APATHY.
The true evil is becoming apathetic about other people.
Doubt them, question them, suspect them, and take a good, long look into their hearts. Humans are the kind of beings that can't put their pain into words, after all."
Begitu ucapan Mr. Shinichi Akiyama kepada Nao Kanzaki. Mindblowing, memang. Tapi jika direnungkan dengan baik, memang benar adanya.
Rasa tidak percaya akan membawa kita pada sebuah pemahaman.
Saya juga belajar mengenai arti nilai sebuah hal justru dari rasa tidak percaya. Karena saya tidak percaya, maka saya menemukan sebuah pengetahuan baru. Karena saya tidak percaya, maka saya menemukan arti sahabat dan bertemu sahabat..
Jika Copernicus dan Galileo adalah orang-orang yang mudah percaya tanpa rasa ragu, maka hingga saat ini kita juga akan mempercayai bahwa bumi itu datar dan matahari berputar mengelilingi bumi. Karena mereka ragu, mereka skeptis, mereka terus bertanya dan bertanya, maka mereka menemukan. Begitulah banyaknya penemuan dan pengetahuan lain yang lahir justru dari rasa skeptis dan tidak percaya.
Begitu pula, jika kita mempercayai semua orang, tidak memiliki rasa ragu kepada mereka. Apa kita akan pernah memiliki beberapa orang teman dekat yang kita sebut sahabat?
Renungkan. Seorang sahabat adalah orang lain yang mulanya sama sekali tidak kita kenal, sama seperti orang lainnya. Tetapi karena kita pernah memiliki rasa tidak percaya padanya, pernah meragukan kapabilitasnya dalam memegang rahasia, pernah meragukan tingkat intelektualitasnya untuk membantu memecahkan masalah yang sedang kita hadapi, pernah meragukan ketulusannya, kejujurannya dalam berbicara, maka kita menemukan dia, sahabat kita. Dengan meragukannya, kita belajar untuk menemukannya. Sama halnya seperti ketika Copernicus meragukan teori geosentris, maka ia menemukan teori heliosentris.
Mengapa tidak percaya? Mengapa meragukan sesuatu? Karena kita peduli.
Rasa simpati. Itu dasarnya.
Mengapa harus susah memikirkan sesuatu? Kan tidak ada untungnya? Mengapa meragukan sesuatu? Bukankah itu sebuah kerugian?
Sekali lagi, karena rasa ragu dan tidak mudah percaya itu menunjukkan rasa ingin tahu, yang berasal dari rasa peduli.
Mudah saja untuk percaya. Sangat mudah. Toh tidak membuang banyak energi. Tetapi sekali lagi, renungkan. Saat kita memutuskan untuk percaya, untuk tidak meragukan sesuatu. Apakah karena kita sama sekali tidak peduli? Apakah kita telah bersikap apatis?
Ada benang yang sangat tipis yang memisahkan antara bersikap optimis dan bersikap apatis.
Meragukan sesuatu, bertanya-tanya, kembali ragu, bersikap skeptis memang seolah pesimis. Tapi setidaknya itu karena masih ada rasa simpati. Jikalau rasa simpati itu cukup besar, bisa bergerak menjadi sebuah empati.
Tetapi jika kita tidak pernah ragu, tidak pernah bertanya, bisa jadi sebenarnya kita tidak ingin terlibat, tidak ingin susah atau kita hanya tidak pernah cukup peduli. Dan jika kita tidak cukup peduli, maka kita telah menjadi seperti yang disebutkan oleh Mr. Shinichi Akiyama tadi, 'the true evil'.
Sunday, June 30, 2013
Nerd
Sunday, June 9, 2013
Unconditionally
There's no such thing as it is. When people love, they ALWAYS expect something. One's ability to love has nothing to do with one's ability to ACCEPT.
Sebaliknya, mencintai membuat seseorang selalu ingin MENGUBAH orang yang dicintainya. Bahkan, orang tua yang mencintai anak-anaknya pun selalu ingin mengubah sesuatu dari diri anak-anaknya.
Berubah menjadi lebih baik itu bagus. Menginginkan orang tercinta untuk menjadi lebih baik itu niat yang bagus. Namun, sampai mana batas perubahan? Karena keinginan tidaklah akan pernah cukup. Hari ini berharap orang lain berubah, dari level 1 ke level 2. Esoknya pun akan tetap ingin ia berubah ke level selanjutnya. Bahkan ketika orang tersebut sudah susah payah berusaha berubah demi mencapai level 100, semua tidak akan pernah cukup.
Lalu kapan cinta akan datang dalam bentuk yang paling sederhana, yaitu MENERIMA?
Ketika kita menginginkan perubahan, sudahkah kita menerima sebuah kenyataan yang sangat sederhana? Bahwa TIADA YANG SEMPURNA. Segala sesuatu memiliki kekurangan, sekecil bahkan sebesar apapun. Nampak ataupun tidak nampak. Sebelum seorang penguasa kecil yang liar dalam diri kita menginginkan lebih dan lebih, sudahkah kita memberi ruang bagi sebuah kesadaran tersebut?
Hal pertama yang harus dilakukan sebelum ingin melakukan perubahan adalah menerima. Menerima kenyataan.
Sangat mencintai seseorang terkadang membuat kita lupa bahwa yang kita cintai adalah manusia. Manusia yang batasnya tidak sama dengan kita, situasinya tidak sama dengan kita, kemampuannya tidak sama. Manusia yang juga memiliki titik terlemah.
Sangat menyayangi seseorang juga membuat kita menjadi orang yang ambisius, lupa bahwa orang yang kita sayangi bukanlah objek sebuah ambisi pribadi kita. Ataupun sebuah proyek kerja dengan targetan tertentu.
Saya hanya berpikir bahwa seharusnya keinginan untuk mengubah orang yang kita sayangi juga diimbangi dengan kemampuan untuk menerimanya dengan segala kekurangannya.
Karena saya rasa, semua orang butuh diterima. Saat dunia dipenuhi dengan begitu banyak tuntutan, bukankah minimal SATU buah penerimaan dari orang tercinta akan sangat berarti?
I'm so not perfect, but i'm also a human. If you can't love me because of my imperfection, then at least please consider me as a HUMAN.
Tuesday, April 23, 2013
Virus pemusnah massal dan di balik rencana keji
Jauh sebelum Amerika Serikat terbentuk menjadi sebuah negara, kekuatan yang mengatur dan mengendalikan tanah yang baru tersebut adalah terorisme, pemusnahan masal, dan perang biologi melalui penyebaran kuman-kuman dan penyakit-penyakit terhadap penduduk aslinya. Salah satu penyerangan yang tercatat dalam sejarah adalah yang dilakukan oleh Jendral Jeffrey Amherst.
Beberapa data yang tertuang dalam The Atlas of the North American Indian, and the Conspiracy of Pontiac and the Indian War after the Conquest of Canada, menunjukkan bahwa pahlawan militer yang terkenal ini, telah “menyetujui” pendistribusian selimut dan sapu tangan yang telah terkontaminasi bibit cacar untuk digunakan sebagai alat perang wabah penyakit terhadap Indian Amerika. Bahkan ada bukti tertulis berupa surat yang ditulis sendiri oleh Jeffrey Amherst. Dalam suratnya kepada Kolonel Henry Bouquet, Komandan angkatan bersenjata Inggris, Jenderal Amherts bertanya :
“Tidak bisakah diatur suatu cara bagi pengiriman bibit campak kepada suku-suku Indian yang tidak menyenangkan itu? Dalam hal ini kita harus menggunakan berbagai strategi untuk dapat mengurangi jumlah mereka.”
Bouquet menjawab,
“Saya akan mencoba untuk menularkan penyakit tersebut kepada mereka melalui selimut-selimut yang akan jatuh ke tangan mereka dan berusaha semaksimal mungkin untuk tidak ikut tertular.”
Sangat jelas terdokumentasikan dalam catatan milik William Trent tertanggal 24 Mei 1763, seorang komandan militer lokal dari Pittsburgh.
“Kami memberi mereka dua selimut dan sebuah sapu tangan yang kami ambil dari Small Pox Hospital. Saya harap hal itu akan menimbulkan dampak yang diharapkan.”
Epidemi cacar secara cepat tersebar diantara lelaki, wanita dan anak-anak suku Pontiac (suku Indian).
Jenderal Amherst sangat terkesan atas hasil yang sangat efektif pada perang kuman tersebut, sehingga dalam suratnya kepada kolonel Henry Bouquet tertanggal 16 Juli 1763, dia mengesahkan PERANG BIOLOGI SEBAGAI KEBIJAKAN RESMI AMERIKA dan memerintahkan penyebaran selimut-selimut yang telah terinfeksi campak untuk “memusnahkan para Indian” dan menyarankan agar Bouquet mencoba metode-metode lain yang dapat memusnahkan ras yang buruk ini. Dalam suratnya tertanggal 26 Juli 1763, Bouquet menjawab surat Amherst dan mengkonfirmasikan bahwa.
“seluruh petunjuk anda akan kami perhatikan"
Seratus tahun kemudian, Secara berkala, penggunaan kuman sebagai senjata dalam peperangan telah menjadi kebijakan AS. Secara berkala, sepanjang abad ke 19, angkatan bersenjata AS menyebarkan selimut-selimut dan benda-benda lain yang telah terkontaminasi bibit penyakit kepada suku asli Amerika, termasuk mereka yang telah ditahan di kemp-kemp konsentrasi (Pemerintah secara resmi menyebut lokasi ini sebagai wilayah reservasi/ reservations. Tujuan dari serangan biologi ini adalah untuk memusnahkan dan membunuh sebanyak mungkin Indian Amerika, jika tidak menghancurkan mereka semua.
Pemerintahan awal Amerika, juga kemudian Pemerintahan Amerika Serikat yang berdiri secara sah, tidak pernah menganggap Suku asli Amerika sebagai manusia. (Mereka menganggap suku asli sebagai makhluk yang tidak diinginkan, dan berkualitas dibawah manusia).
Agen penyebar penyakit yang digunakan yang tercatat dalam sejarah bukan hanya cacar. Saat ini merekapun menggunakan Variola, yang dapat disimpan dalam kondisi kering, juga kolera dan cacar. Metoda penyebaran yang mereka pilih masih melalui penyebaran selimut-selimut dan alat-alat lain yang didistribusikan kepada para Indian.
Di tahun 1900, Angkatan bersenjata Amerika Serikat mulai bereksperimen dengan berbagai macam senjata biologi, sebagian diantaranya digunakan pada tahanan perang baik warga Amerika maupun asing. Para korban termasuk lima orang tahanan warga Filipina yang tercemar berbagai macam jenis penyakit, dan 29 tahanan yang secara sengaja ditularkan penyakit beri-beri.
Di tahun 1915, Agen-agen pemerintah mulai melakukan percobaan dengan racun-racun yang dapat menyerang dan menghancurkan otak dan sistem syaraf pusat. Dua belas orang Amerika yang ditahan di penjara Mississippi tercemar pellagra. (kekurangan Vitamin B3 atau niacin).
Warga Puerto Rico yang Malang
Pada tahun 1931, Dr. Cornellius Rhoads, seorang agen pemerintah yang dikontrak oleh Rockefeller Institute for Medical Investigation, mulai menginjeksi laki-laki, perempuan dan anak-anak dengan sel-sel kanker. Sebagai Ketua Divisi Senjata Biologi Angkatan Bersenjata Amerika Serikat, dan juga sebagai anggota komisi energi atom, Rhoads menjalankan radiasi rahasia yang dilakukan terhadap ribuan warga AS yang tidak dicurigai.
Dalam surat-suratnya untuk Departermen Pertahanan, Rhoads secara gambalang menyebutkan "pembasmian" para pemberontak dengan menggunakan "bom kuman". Pada saat ditanya mengenai penduduk Puerto Rico, Dr. Rhoads menulis
" Yang dibutuhkan kepulauan itu bukanlah pekerjaan bagi kesehatan umum, tetapi sebuah ombak pasang, yang dapat menghabiskan seluruh populasi."
Dr. Rhoads lebih lanjut mengatakan,
"Orang-orang Puerto Rico adalah ras manusia yang paling jorok, paling malas, paling berbahaya dan ras pencuri yang pernah hidup di bumi ini. Saya telah melakukan yang terbaik yang saya mampu untuk melakukan proses pemusnahan, dengan melakukan proses pembunuhan terhadap delapan dan mentransplantasi kanker ke beberapa lagi.... Semua ahli kesehatan menerimanya dengan senang hati dalam penyiksaan atas korban yang tak berdaya."
Dr. Rhoads mengklaim telah menginjeksi ratusan orang Puerto Rico dengan sel kanker.
Eksperimen Siphilis
Pada 1931, Pemerintah Amerika Serikat mulai melakukan eksperimen dengan siphilis. Korban pertama yang dikenal adalah seorang kulit hitam yang tinggal di Tuskegee, Alabama. Di tahun 1932, dokter-dokter pada Pelayanan Kesehatan Umum tidak melakukan pengobatan terhadap pasien yang terinfeksi dalam dalam rangka mempelajari perkembangan penyakit tersebut pada subjek hidup. Para pasien tidak mengetahui bahwa mereka dijadikan eksperimen pada studi yang diakui secara resmi oleh pemerintah itu. Mereka pikir mereka mendapatkan pengobatan untuk penyakitnya. Padahal, mereka diberi obat-obatan palsu.
Sepuluh tahun berikutnya, ribuan warga Amerika terekspos berbagai macam agen biologi dan kimia. Ini termasuk 400 tahanan di penjara Chicago pada tahun 1942. Mereka semua terinfeksi malaria dalam rangka memperoleh "profil dari penyakit tersebut".
Pemerintah Amerika Serikat juga memberika izin bagi Komisi Energi Amerika untuk secara rahasia menginjeksi pasien-pasien rumah sakit dengan Plutonium agar mendapatkan "Profil" efek jangka panjang. Sebagian besar individu ini menjadi sakit parah dan kemudian meninggal.
Anthtrax
Amerika Serikat dan Inggris mulai melakukan kerja sama dalam pengembangan "Bom Anthrax" yang mereka rencanakan untuk dijatuhkan di kota-kota di Jerman. Target potensial termasuk juga Berlin, Hamburg, Frankfurt, Aachen dan Wilhelmshafen.
Karena Jerman menyerah sebelum bom-bom Antrhax ini diuji pada penduduk Jerman, (target nonmiliter) bom biologis itu kemudian dijatuhkan di pedesaan Gurnard, sebuah pulau di sebelah barat laut Skotlandia. Sebagian besar sapi dan penduduk desa mengidap penyakit parah dan kemudian tewas, dan pulau tersebut tak berpenghuni hingga dari 45 tahun.
Begitupun dengan yang dikirimkan USA pada perang teluk yang mematikan ke militer Irak. Sebagian propaganda menyebutkan bahwa USA mengirim beberapa senjata biologi dan kimia untuk Saddam Husein, untuk memusnahkan suku Kurdi yang justru menjadi ujung tombak sendiri bagi Saddam Hussein. Hal ini juga diduga sebagai bahan laporan untuk penelitian ilmuwan mengenai efek-efek yang ditimbulkan dari bahan tersebut.
"FBI menutup-nutupi fakta karena mereka tahu bahwa serangan Anthrax itu adalah pekerjaan orang dalam" (Dr. Barbara Hatch R.)
OPERATION PAPERCLIP
Pada akhir masa Perang Dunia II, Amerika Serikat memperkerjakan ratusan dokter NAZI dan Jepang yang telah melakukan eksperimen-eksperimen yang sadis dan tidak manusiawi terhadap tahanan perang. Salah satu dokter sadis yang telah melakukan berbagai kejahatan terhadap manusia melalui
eksperimen-eksperimennya adalah Direktur Angkatan Kerajaan Jepang unit perang biologi, Dr. Ishii.
Ishii bereksperimen dengan shyphilis, typhoid-laced tomatoes, tetanus, plague-infected fleas, selain juga bom-bom bibit penyakit yang dijatuhkan ke penduduk sipil dan tahanan yang diikat telanjang di tiang kayu guna melakukan eksperimen.
Kelahiran HIV/AIDS
Hingga akhir 1960-an, Ilmuwan-ilmuwan di bawah pengawasan CIA, di Divisi Operasi khusus Fort Detrick, laboratorium dengan keamanan tingkat tinggi, mulai memperoleh kemajuan yang signifikan dalam pengembangan penyakit-penyakit yang menyerang sistem imun tubuh.
Pada tahun 1969, Dr. Robert MacMahan dari Departermen Pertahanan meminta dan menerima $ 10 juta dana dari kongres AS untuk mengembangkan agen Biologi buatan yang tidak ada imunitas alami yang dapat menahannya.
Dalam Kongres dia mengatakan :
"Ada dua hal tentang bidang agen biologi yang ingin saya sebutkan. Pertama adalah kemungkinan kejutan teknologi. Biologi molekuler adalah bidang yang berkembang sangat cepat dan ahli-ahli biologi terkenal percaya bahwa dalam periode waktu 5 hingga 10 tahun akan sangat mungkin diciptakan sebuah agen biologi buatan, suatu agen yang secara alami tidak ada, dan dimana imunitas alami pun tidak ada. Dalam 5 hingga 10 tahun, sangat mungkin untuk diciptakan mikroorganisme penyakit yang dapat dibedakan dalam aspek-aspek tertentu dari organisme-organisme penyakit lainnya. Yang terpenting dari semua ini adalah penyakit tersebut kebal terhadap proses imunisasi atau terapi apa pun di saat kita hendak melepaskan diri dari penyakit ini"
Jakob Segal, mengungkapkan bahwa USA telah berhasil menciptakan AIDS untuk disebarkan kepada manusia. Menurut Segal, HIV/ AIDS diciptakan di Fort Detrick, Maryland, dengan cara menggabungkan genom Viral dari Visna dan HTLV-1, karena keduanya hampir identik dengan HIV genome.
Pada 1957, saat melakukan eksperimen vaksin polio, Dr. Hillary Koprowski, menggunakan jaringan ginjal monyet yang telah dijangkiti virus yang dekat dengan AIDS, SV40, kemudian mengawasi proses injeksi vaksin yang telah terkontaminasi tersebut terhadap ratusan ribu orang negro Afrika. Anehnya mengapa percobaan itu tidak dilakukan saja kepada orang-orang Amerika sendiri. Meskipun begitu ia menolak bahwa ia ikut dalam penciptaan HIV/AIDS dan Koprowski juga menolak jika mereka menciptakan vaksin polio dengan gainjal monyet.
Pada 1978, Centers for Disease Control (CDC) mulai mengeluarkan advertensi bagi homoseksual yang ingin berpartisipasi dalam "Percobaan vaksin Hepatitis B". Percobaan pertama yang dilakukan oleh CDC adalah di New York, Los Angeles, San Fransisco, pada tahun yang sama. Pada tahun 1981 kasus AIDS pertama diketahui terjangkit pada laki-laki homoseksual di New York, Los Angeles, dan San Fransisco, membangkitkan spekulasi bahwa AIDS mungkin telah di tulari melalui vaksin hepatitis B.
Wangari Maathai mengungkapkan bahwa dia yakin AIDS adalah senjata biologi yang sengaja diciptkanan.
"Sebagian orang mengatakan bahwa Aids datang dari monyet, tapi saya meragukan hal itu, karena kami telah hidup bersama-sama monyet sejak dahulu kala, yang lain mengatakan bahwa hal itu merupakan kutukan tuhan, tapi saya katakan itu tidak mungkin"
"saya tidak memiliki gambaran siapa yang menciptakan AIDS dan apakah itu merupakan suatu agen Biologi atau buan. Tapi saya tahu pasti hal-hal seperti itu tidak akan begitu saja jatuh dari langit. Saya selalu berpikir bahwa sangat penting untuk menyampaikan kebenaran kepada setiap orang, tapi saya rasa ada beberapa kebenaran yang tidak boleh terlalu diekspos"
Flu Burung
Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menuduh World Health Organization (WHO) dan USA melakukan konspirasi dalam pengumpulan sampel-sampel virus flu burung dan produksi-produksi vaksinnya. (The Jakarta Post/03/16/2008).
"Saya katakan kepada WHO bahwa mekanisme mereka dalam mengumpulkan virus-virus dari negara-negara berkembang sangat tidak adil. Cara yang sama sebuah negara imperialis memperlakukan koloninya"
Selanjutnya ibu Siti Fadilah Supari marah ketika mengetahui sampel H5N1 yang ia kirimkan ke WHO ternyata digunakan secara ekslusif oleh 15 orang ilmuwan di laboratorium Amerika Serikat di Los Alamos.
NAMRU
Siti Fadilah Supari pernah berkata dalam sebuah wawancara, bahwa laboratorium Media Angkatan Laut AS (NAMRU) yang berada di Indonesia untuk melakukan penelitian atas penyakit-penyakit tropis sama sekali tidak memberikan keuntungan apapun pada negara tuan rumah, dan tidak transparan dalam operasinya. Menteri mengatakan bahwa laboratorium Angkatan Laut AS di Jakarta telah menerima sampel virus dari seluruh bagian Indonesia, tetapi sekarang sudah dihentikan.
"Kami tidak tahu apa yang terjadi dengan virus-virus yang kami kirimkan itu."
Endang Rahayu Sedyaningsih adalah salah satu WNI yang berwenang atas keberadaan laboratorium Namru 2 (Naval Medical Research Unit/NAMRU-2), wanita yang pernah menjadi staf litbang Depkes ini, dituding oleh mantan Menkes sebelumnya, Siti Fadilah Supari, sebagai orang orang yang mengirimkan spesimen virus influenza A (H5N1) ke laboratorium NAMRU-2 saat Departemen Kesehatan yang saat itu dia pimpin memutuskan untuk menghentikan pengiriman spesimen guna memprotes mekanisme pertukaran virus WHO yang tidak adil.
Dia memiliki akses untuk keluar masuk dengan bebas di Namru. Aktivitasnya ini kemudian diketahui oleh Siti. Karena ketahuan itulah kemudian Endang dimutasi jabatannya dan diminta untuk minta maaf kepada Siti Fadilah.
Mengenai kedekatannya dengan orang-orang di laboratorium riset Angkatan Laut Amerika ini, Endang mengatakan sebagai peneliti dia sering berhubungan dengan lembaga-lembaga riset di dalam dan luar negeri termasuk Namru 2 dan mengenal orang-orang yang bekerja di sana.
"Jadi saya dekat dengan Namru, saya dekat dengan Belanda, saya dekat dengan NIID (National Institute of Infectious Diseases) di Jepang, saya dekat dengan China, ada penelitian malaria. Sebagai peneliti kita dekat dan bekerja sama. Jadi tidak ada saya dekat dengan ini, tidak dekat dengan itu. Itu semua berbasis profesional kerjasama," tegas Menkes Endang Rahayu ketika ditanya perihal kedekatannya dengan Namru, Kamis (22/10).
Kematian Para Ilmuwan
Lee Jong-woo (61)
Meninggal dunia pada 22 Mei 2006 , disebabkan oleh gumpalan darah pada otaknya. Dia memimpin perjuangan organisasinya untuk melawan ancaman global Flu Burung, AIDS, dll. Dirjen WHO sejak 2003, Lee adalah pejabat Internasional ternama yang tidak memiliki riwayat sakit.
Dr. Mario Alberto Vargas Olvera (52)
Meninggal dunia 6 Oktober 2007, karena beberapa luka benda-benda tumpul di kepala dan lehernya. Polisi mengkategorikannya sebagai pembunuhan. Ia adalah seorang ahli biologi yang terkenal secara nasional dan internasional.
Robert J. Lull
Meningggal 19 Mei 2005, meninggal karena motif perampokkan yang aneh. Inspektur bagian pembunuhan mengatakan :
"Seorang perampok pada umumnya akan mengambil lebih banyak benda-benda berharga korban ketimbang kartu kredit korban". Lull adalah mantan Kepala the American College of Nuclear Physicians, the San Fransisco Medical Society, dan juga bertindak sebagai editor jurnal San Fransisco Medicine."
Bagaimana Virus dan Bakteri Bisa Dikendalikan Sebagai Senjata Biologi
Sebetulnya saya belum begitu paham dengan mekanisme penciptaan virus. Namun dari sabuah buku pelajaran saya dapat mengambil kesimpulan bahwa Virus atau Bakteri dapat di ciptakan dari Mutasi Biologis. Dalam komposisi mutagen yang memiliki kemampuan untuk mengubah kondisi DNA suatu sel, sehingga akan mengalami mutasi. Pada akhirnya bakteri atau virus dapat diciptakan sebagai vaksin ataupun senjata biologi.
"Perkembangan penduduk adalah isu yang sangat besar yang dihadapi dunia pada tahun-tahun mendatang, sebuah dunia pada tahun-tahun mendatang, sebuah dunia dengan penghuni 10 juta manusia bukanlah dunia yang ingin kita tinggali. Apakah kondisi dunia ini tidak dapat kita hindarkan? Ada dua cara yang memungkinkan kondisi dunia seperti itu dapat dicegah. Apakah dengan menurunkan jumlah kelahiran atau tingkat kematian meningkat. Tak ada cara lain."bld
sumber http://bldirgantara.blogspot.com/2013/04/virus-pemusnah-masal-dan-dibalik.html
Saturday, April 20, 2013
How to treat others : 5 lessons from unknown author
1. First Important Lesson - "Know The Cleaning Lady"
During my second month of college, our professor gave us a pop quiz. I was a conscientious student and had breezed through the questions, until I read the last one: "What is the first name of the woman who cleans the school?"
Surely this was some kind of joke. I had seen the cleaning woman several times. She was tall, dark-haired and in her 50s, but how would I know her name? I handed in my paper, leaving the last question blank.
Just before class ended, one student asked if the last question would count toward our quiz grade. "Absolutely," said the professor. "In your careers, you will meet many people. All are significant. They deserve your attention and care, even if all you do is smile and say "hello."
I've never forgotten that lesson. I also learned her name was Dorothy.
2. Second Important Lesson - "Pickup In The Rain"
One night, at 11:30 p.m., an older African American woman was standing on the side of an Alabama highway trying to endure a lashing rainstorm. Her car had broken down and she desperately needed a ride. Soaking wet, she decided to flag down the next car.
A young white man stopped to help her, generally unheard of in those conflict-filled 1960s. The man took her to safety, helped her get assistance and put her into a taxicab.
She seemed to be in a big hurry, but wrote down his address and thanked him. Seven days went by and a knock came on the man's door. To his surprise, a giant console color TV was delivered to his home. A special note was attached. It read: "Thank you so much for assisting me on the highway the other night. The rain drenched not only my clothes, but also my spirits. Then you came along. Because of you, I was able to make it to my dying husband's bedside just before he passed away. God bless you for helping me and unselfishly serving others."
Sincerely, Mrs. Nat King Cole.
3. Third Important Lesson - "Remember Those Who Serve"
In the days when an ice cream sundae cost much less, a 10 year-old boy entered a hotel coffee shop and sat at a table. A waitress put a glass of water in front of him. "How much is an ice cream sundae?" he asked. "50¢," replied the waitress.
The little boy pulled his hand out of his pocket and studied the coins in it. "Well, how much is a plain dish of ice cream?" he inquired. By now more people were waiting for a table and the waitress was growing impatient. "35¢!" she brusquely replied. The little boy again counted his coins. "I'll have the plain ice cream," he said.
The waitress brought the ice cream, put the bill on the table and walked away. The boy finished the ice cream, paid the cashier and left. When the waitress came back, she began to cry as she wiped down the table. There, placed neatly beside the empty dish, were two nickels and five pennies.
You see, he couldn't have the sundae, because he had to have enough left to leave her a tip.
4. Fourth Important Lesson - "The Obstacles In Our Path"
In ancient times, a King had a boulder placed on a roadway. Then he hid himself and watched to see if anyone would remove the huge rock. Some of the king's wealthiest merchants and courtiers came by and simply walked around it. Many loudly blamed the King for not keeping the roads clear, but none did anything about getting the stone out of the way.
Then a peasant came along carrying a load of vegetables. Upon approaching the boulder, the peasant laid down his burden and tried to move the stone to the side of the road. After much pushing and straining, he finally succeeded.
After the peasant picked up his load of vegetables, he noticed a purse lying in the road where the boulder had been. The purse contained many gold coins and a note from the King indicating that the gold was for the person who removed the boulder from the roadway. The peasant learned what many of us never understand - "Every obstacle presents an opportunity to improve our condition."
5. Fifth Important Lesson - "Giving When It Counts"
Many years ago, when I worked as a volunteer at a hospital, I got to know a little girl named Liz who was suffering from a rare and serious disease. Her only chance of recovery appeared to be a blood transfusion from her 5-year-old brother, who had miraculously survived the same disease and had developed the antibodies needed to combat the illness.
The doctor explained the situation to her little brother, and asked the little boy if he would be willing to give his blood to his sister. I saw him hesitate for only a moment before taking a deep breath and saying, "Yes, I'll do it if it will save her."
As the transfusion progressed, he lay in bed next to his sister and smiled, as we all did, seeing the color returning to her cheeks. Then his face grew pale and his smile faded. He looked up at the doctor and asked with a trembling voice, "Will I start to die right away?".
Being young, the little boy had misunderstood the doctor; he thought he was going to have to give his sister all of his blood in order to save her.
Source : http://www.globalone.tv/m/blogpost?id=3026128%3ABlogPost%3A15990
Wednesday, March 27, 2013
Hidup adalah Anugerah Bagi Jiwa yang Ikhlas
Yang tinggal di gunung merindukan pantai.
Yang tinggal di pantai merindukan gunung.
Di musim kemarau merindukan musim hujan.
Di musim hujan merindukan musim kemarau.
Yang berambut hitam mengagumi yang pirang.
Yang berambut pirang mengagumi yang hitam.
Diam di rumah merindukan bepergian.
Setelah bepergian merindukan rumah.
Ketika masih jadi karyawan ingin jadi Entrepreneur supaya punya time freedom…
Begitu jadi Entrepreneur ingin jadi karyawan, biar gak pusing…
Waktu tenang mencari keramaian.
Waktu ramai mencari ketenangan.
Saat masih bujangan, pengen punya suami ganteng/istri cantik.
Begitu sudah dapat suami ganteng/istri cantik, pengen yang biasa2 saja, bikin cemburu aja/ takut selingkuh..
Punya anak satu mendambakan banyak anak.
Punya banyak anak mendambakan satu anak saja.
Kita tidak pernah bahagia sebab segala sesuatu tampak indah hanya sebelum dimiliki. Namun setelah dimiliki tak indah lagi. Kapankah kebahagiaan akan didapatkan kalau kita hanya selalu memikirkan apa yang belum ada, namun mengabaikan apa yang sudah dimiliki tanpa rasa syukur ? Semoga kita jd pribadi yang selalu bersyukur..Yg snantiasa bersyukur dngn berkah yg sudah kita miliki.
Bagaimana mungkin selembar daun yang kecil dapat menutupi bumi yang luas ini? Jangankan bumi, menutupi telapak tangan saja sulit. Namun bila daun kecil ini menempel di mata kita, maka tertutuplah bumi! Begitu juga bila hati ditutupi pikiran buruk sekecil apapun maka kita akan melihat keburukan di mana-mana. Bumi ini pun akan tampak buruk. Jangan menutup mata kita, walaupun hanya dengan daun kecil. Jangan menutupi hati kita, walaupun hanya dengan sebuah pikiran buruk/negatif!
Bila hati kita tertutup, tertutuplah semua… Syukuri apa yg ada, karena hidup adalah anugerah bagi jiwa-jiwa yg ikhlas.
Dari https://m.facebook.com/photo.php?fbid=10151416516964355&id=291202364354&set=a.10150443443424355.367228.291202364354&__user=100001454516596
Wednesday, March 6, 2013
Incapability hurts!
Friday, March 1, 2013
Getting older
Thursday, February 21, 2013
Berbagi
Why French Parents Are Superior
While Americans fret over modern parenthood, the French are raising happy, well-behaved children without all the anxiety. Pamela Druckerman on the Gallic secrets for avoiding tantrums, teaching patience and saying 'non' with authority.
When my daughter was 18 months old, my husband and I decided to take her on a little summer holiday. We picked a coastal town that's a few hours by train from Paris, where we were living (I'm American, he's British), and booked a hotel room with a crib. Bean, as we call her, was our only child at this point, so forgive us for thinking: How hard could it be?
We ate breakfast at the hotel, but we had to eat lunch and dinner at the little seafood restaurants around the old port. We quickly discovered that having two restaurant meals a day with a toddler deserved to be its own circle of hell.
Bean would take a brief interest in the food, but within a few minutes she was spilling salt shakers and tearing apart sugar packets. Then she demanded to be sprung from her high chair so she could dash around the restaurant and bolt dangerously toward the docks.
Our strategy was to finish the meal quickly. We ordered while being seated, then begged the server to rush out some bread and bring us our appetizers and main courses at the same time. While my husband took a few bites of fish, I made sure that Bean didn't get kicked by a waiter or lost at sea. Then we switched. We left enormous, apologetic tips to compensate for the arc of torn napkins and calamari around our table.
After a few more harrowing restaurant visits, I started noticing that the French families around us didn't look like they were sharing our mealtime agony. Weirdly, they looked like they were on vacation. French toddlers were sitting contentedly in their high chairs, waiting for their food, or eating fish and even vegetables. There was no shrieking or whining. And there was no debris around their tables.
Though by that time I'd lived in France for a few years, I couldn't explain this. And once I started thinking about French parenting, I realized it wasn't just mealtime that was different. I suddenly had lots of questions. Why was it, for example, that in the hundreds of hours I'd clocked at French playgrounds, I'd never seen a child (except my own) throw a temper tantrum? Why didn't my French friends ever need to rush off the phone because their kids were demanding something? Why hadn't their living rooms been taken over by teepees and toy kitchens, the way ours had?
Soon it became clear to me that quietly and en masse, French parents were achieving outcomes that created a whole different atmosphere for family life. When American families visited our home, the parents usually spent much of the visit refereeing their kids' spats, helping their toddlers do laps around the kitchen island, or getting down on the floor to build Lego villages. When French friends visited, by contrast, the grownups had coffee and the children played happily by themselves.
By the end of our ruined beach holiday, I decided to figure out what French parents were doing differently. Why didn't French children throw food? And why weren't their parents shouting? Could I change my wiring and get the same results with my own offspring?
Driven partly by maternal desperation, I have spent the last several years investigating French parenting. And now, with Bean 6 years old and twins who are 3, I can tell you this: The French aren't perfect, but they have some parenting secrets that really do work.
I first realized I was on to something when I discovered a 2009 study, led by economists at Princeton, comparing the child-care experiences of similarly situated mothers in Columbus, Ohio, and Rennes, France. The researchers found that American moms considered it more than twice as unpleasant to deal with their kids. In a different study by the same economists, working mothers in Texas said that even housework was more pleasant than child care.
Rest assured, I certainly don't suffer from a pro-France bias. Au contraire, I'm not even sure that I like living here. I certainly don't want my kids growing up to become sniffy Parisians.
But for all its problems, France is the perfect foil for the current problems in American parenting. Middle-class French parents (I didn't follow the very rich or poor) have values that look familiar to me. They are zealous about talking to their kids, showing them nature and reading them lots of books. They take them to tennis lessons, painting classes and interactive science museums.
Yet the French have managed to be involved with their families without becoming obsessive. They assume that even good parents aren't at the constant service of their children, and that there is no need to feel guilty about this. "For me, the evenings are for the parents," one Parisian mother told me. "My daughter can be with us if she wants, but it's adult time." French parents want their kids to be stimulated, but not all the time. While some American toddlers are getting Mandarin tutors and preliteracy training, French kids are—by design—toddling around by themselves.
I'm hardly the first to point out that middle-class America has a parenting problem. This problem has been painstakingly diagnosed, critiqued and named: overparenting, hyperparenting, helicopter parenting, and my personal favorite, the kindergarchy. Nobody seems to like the relentless, unhappy pace of American parenting, least of all parents themselves.
Of course, the French have all kinds of public services that help to make having kids more appealing and less stressful. Parents don't have to pay for preschool, worry about health insurance or save for college. Many get monthly cash allotments—wired directly into their bank accounts—just for having kids.
But these public services don't explain all of the differences. The French, I found, seem to have a whole different framework for raising kids. When I asked French parents how they disciplined their children, it took them a few beats just to understand what I meant. "Ah, you mean how do we educate them?" they asked. "Discipline," I soon realized, is a narrow, seldom-used notion that deals with punishment. Whereas "educating" (which has nothing to do with school) is something they imagined themselves to be doing all the time.
One of the keys to this education is the simple act of learning how to wait. It is why the French babies I meet mostly sleep through the night from two or three months old. Their parents don't pick them up the second they start crying, allowing the babies to learn how to fall back asleep. It is also why French toddlers will sit happily at a restaurant. Rather than snacking all day like American children, they mostly have to wait until mealtime to eat. (French kids consistently have three meals a day and one snack around 4 p.m.)
One Saturday I visited Delphine Porcher, a pretty labor lawyer in her mid-30s who lives with her family in the suburbs east of Paris. When I arrived, her husband was working on his laptop in the living room, while 1-year-old Aubane napped nearby. Pauline, their 3-year-old, was sitting at the kitchen table, completely absorbed in the task of plopping cupcake batter into little wrappers. She somehow resisted the temptation to eat the batter.
Delphine said that she never set out specifically to teach her kids patience. But her family's daily rituals are an ongoing apprenticeship in how to delay gratification. Delphine said that she sometimes bought Pauline candy. (Bonbons are on display in most bakeries.) But Pauline wasn't allowed to eat the candy until that day's snack, even if it meant waiting many hours.
When Pauline tried to interrupt our conversation, Delphine said, "Just wait two minutes, my little one. I'm in the middle of talking." It was both very polite and very firm. I was struck both by how sweetly Delphine said it and by how certain she seemed that Pauline would obey her. Delphine was also teaching her kids a related skill: learning to play by themselves. "The most important thing is that he learns to be happy by himself," she said of her son, Aubane.
It's a skill that French mothers explicitly try to cultivate in their kids more than American mothers do. In a 2004 study on the parenting beliefs of college-educated mothers in the U.S. and France, the American moms said that encouraging one's child to play alone was of average importance. But the French moms said it was very important.
Later, I emailed Walter Mischel, the world's leading expert on how children learn to delay gratification. As it happened, Mr. Mischel, 80 years old and a professor of psychology at Columbia University, was in Paris, staying at his longtime girlfriend's apartment. He agreed to meet me for coffee.
Mr. Mischel is most famous for devising the "marshmallow test" in the late 1960s when he was at Stanford. In it, an experimenter leads a 4- or 5-year-old into a room where there is a marshmallow on a table. The experimenter tells the child he's going to leave the room for a little while, and that if the child doesn't eat the marshmallow until he comes back, he'll be rewarded with two marshmallows. If he eats the marshmallow, he'll get only that one.
Most kids could only wait about 30 seconds. Only one in three resisted for the full 15 minutes that the experimenter was away. The trick, the researchers found, was that the good delayers were able to distract themselves.
Following up in the mid-1980s, Mr. Mischel and his colleagues found that the good delayers were better at concentrating and reasoning, and didn't "tend to go to pieces under stress," as their report said.
Could it be that teaching children how to delay gratification—as middle-class French parents do—actually makes them calmer and more resilient? Might this partly explain why middle-class American kids, who are in general more used to getting what they want right away, so often fall apart under stress?
Mr. Mischel, who is originally from Vienna, hasn't performed the marshmallow test on French children. But as a longtime observer of France, he said that he was struck by the difference between French and American kids. In the U.S., he said, "certainly the impression one has is that self-control has gotten increasingly difficult for kids."
American parents want their kids to be patient, of course. We encourage our kids to share, to wait their turn, to set the table and to practice the piano. But patience isn't a skill that we hone quite as assiduously as French parents do. We tend to view whether kids are good at waiting as a matter of temperament. In our view, parents either luck out and get a child who waits well or they don't.
French parents and caregivers find it hard to believe that we are so laissez-faire about this crucial ability. When I mentioned the topic at a dinner party in Paris, my French host launched into a story about the year he lived in Southern California.
He and his wife had befriended an American couple and decided to spend a weekend away with them in Santa Barbara. It was the first time they'd met each other's kids, who ranged in age from about 7 to 15. Years later, they still remember how the American kids frequently interrupted the adults in midsentence. And there were no fixed mealtimes; the American kids just went to the refrigerator and took food whenever they wanted. To the French couple, it seemed like the American kids were in charge.
"What struck us, and bothered us, was that the parents never said 'no,' " the husband said. The children did "n'importe quoi," his wife added.
After a while, it struck me that most French descriptions of American kids include this phrase "n'importe quoi," meaning "whatever" or "anything they like." It suggests that the American kids don't have firm boundaries, that their parents lack authority, and that anything goes. It's the antithesis of the French ideal of the cadre, or frame, that French parents often talk about. Cadre means that kids have very firm limits about certain things—that's the frame—and that the parents strictly enforce these. But inside the cadre, French parents entrust their kids with quite a lot of freedom and autonomy.
Authority is one of the most impressive parts of French parenting—and perhaps the toughest one to master. Many French parents I meet have an easy, calm authority with their children that I can only envy. Their kids actually listen to them. French children aren't constantly dashing off, talking back, or engaging in prolonged negotiations.
One Sunday morning at the park, my neighbor Frédérique witnessed me trying to cope with my son Leo, who was then 2 years old. Leo did everything quickly, and when I went to the park with him, I was in constant motion, too. He seemed to regard the gates around play areas as merely an invitation to exit.
Frédérique had recently adopted a beautiful redheaded 3-year-old from a Russian orphanage. At the time of our outing, she had been a mother for all of three months. Yet just by virtue of being French, she already had a whole different vision of authority than I did—what was possible and pas possible.
Frédérique and I were sitting at the perimeter of the sandbox, trying to talk. But Leo kept dashing outside the gate surrounding the sandbox. Each time, I got up to chase him, scold him, and drag him back while he screamed. At first, Frédérique watched this little ritual in silence. Then, without any condescension, she said that if I was running after Leo all the time, we wouldn't be able to indulge in the small pleasure of sitting and chatting for a few minutes.
"That's true," I said. "But what can I do?" Frédérique said I should be sterner with Leo. In my mind, spending the afternoon chasing Leo was inevitable. In her mind, it was pas possible.
I pointed out that I'd been scolding Leo for the last 20 minutes. Frédérique smiled. She said that I needed to make my "no" stronger and to really believe in it. The next time Leo tried to run outside the gate, I said "no" more sharply than usual. He left anyway. I followed and dragged him back. "You see?" I said. "It's not possible."
Frédérique smiled again and told me not to shout but rather to speak with more conviction. I was scared that I would terrify him. "Don't worry," Frederique said, urging me on.
Leo didn't listen the next time either. But I gradually felt my "nos" coming from a more convincing place. They weren't louder, but they were more self-assured. By the fourth try, when I was finally brimming with conviction, Leo approached the gate but—miraculously—didn't open it. He looked back and eyed me warily. I widened my eyes and tried to look disapproving.
After about 10 minutes, Leo stopped trying to leave altogether. He seemed to forget about the gate and just played in the sandbox with the other kids. Soon Frédérique and I were chatting, with our legs stretched out in front of us. I was shocked that Leo suddenly viewed me as an authority figure.
"See that," Frédérique said, not gloating. "It was your tone of voice." She pointed out that Leo didn't appear to be traumatized. For the moment—and possibly for the first time ever—he actually seemed like a French child.
sumber
Sakit
Ada yang mendapatkan kenyamanan atau kebahagiaan atau pelarian dari rasa sakitnya sendiri dengan cara SENGAJA menyakiti orang lain.
Ada orang yang jauh lebih senang menyakiti diri sendiri daripada harus tak sengaja menyakiti orang lain. Dan menemukan kesenangan dari proses menyakiti dirinya sendiri, lebih daripada kewajaran.
Ada yang memilih untuk berontak dari semua rasa sakit. Mencoba menyingkirkan rasa sakit yang terus mengejarnya sejak dulu. Berontak dan berontak seumur hidup, sehingga tak lagi jelas baginya, mana rasa sakit yang sesungguhnya harus dilawan.
Ada juga orang yang benar-benar menikmati semua kesenangan, mereguknya dengan serakah dan tak pernah merasa cukup. Menyedot semua kebahagiaan dari setiap hal yang ditemuinya sepanjang perjalanan hidupnya. Tak pernah benar-benar merasa cukup dengan kebahagiaan yang dimilikinya.
Ada pula yang benar-benar menanggung semua rasa sakit sendirian. Membiarkan rasa sakit bersemayam begitu lama dalam hidupnya. Karena benar-benar tak tau harus berbuat apa terhadapnya. Juga tak memiliki wadah untuk menumpahkan semua rasa sakitnya.
Ada yang benar2 menutup pintu hati dari semua perasaan, memiliki hidup bagaikan robot karena terlalu takut untuk merasakan rasa sakit.
Ada juga yang piawai menyembunyikan semua rasa sakitnya dibalik semua tawa dan senyumnya. Memainkan sandiwara hidup dengan baik, selalu memilih menjadi aktor/aktris protagonis. Membiarkan orang lain bersorak sorai memuji kepiawaiannya bersandiwara. Namun selalu merasa sepi.
Semua orang sakit.
Masokis, hedonis, apatis, atau apapun. Kita semua sakit!
Hidup terkadang menjadi berat dan kita merasa sakit. Cara kita menyikapinya berbeda-beda.
Seharusnya tak boleh ada sebuah standar bagi siapapun untuk menilai atau menghakimi pilihan orang lain untuk menyikapi rasa sakitnya. Bagaimana bisa sesama pasien saling memvonis?
Yang seharusnya terjadi adalah proses saling mengobati. Yang satu bisa menjadi obat bagi yang lainnya. Agar kemudian dapat tersembuhkan.
Harapan.
Itulah yang obat yang sesungguhnya dibutuhkan oleh orang yang sedang sakit. Harapan akan tetap hidup esok hati, harapan akan ada kehidupan yang lebih baik yang bisa didapatkannya setelah dia sembuh. Harapan akan senyum orang lain yang menantinya di rumah.
Di mana dapat ditemukan apotek yang menjual obat bernama 'harapan'? Sayangnya, para apoteker belum ada yang bisa menemukan obat tersebut. Jadi maaf, tidak ada di pasaran.
Lalu apa yang terjadi selanjutnya pada orang-orang sakit? Mereka harus meracik dan meramu obat bernama 'harapan' itu sendiri. Kalau mereka beruntung, akan ada orang lain yang membantu.
Kalau tidak cukup beruntung? Bukan berarti tak bisa bertahan hidup, sobat! Tumbuhkan sendiri tanaman harapanmu di bangsal rumah sakit tempat kamu dirawat. Hingga pada saatnya, ia bisa menjadi tanaman yang bisa kamu racik menjadi obat. Itu yang akan menyembuhkanmu.
Berat, memang. Sakit saja sudah berat, terlebih lagi tidak ada yang merawat dan tidak ada obat. Tapi itu semua tidak lantas kemudian membuat kesempatan hidupmu hilang sama sekali. Justru di situlah letak sebuah kesempatan emas! Kamu bisa menjadi The Chosen One, The Boy Who Lived. Halaaah... maaf, kita sedang tak berbicara tentang anak lelaki berkacamata yang memiliki bekas luka di dahinya.
Kamu bisa menjadi seorang pemenang yang berhasil lolos dari sebuah pertarungan sengit, yang lubang lolosnya lebih kecil daripada jarum jahit terkecil. Kamu akan menjadi alumni sebuah perguruan besar bernama Kehidupan. Dengan predikat summa cumlaude.
Ya, orang sakit lainnya juga akan lolos. Tapi kamu berbeda. Kamu melewati proses yang lebih 'menantang'. Sekilas kamu nampak sama, Orang Yang Sudah Sembuh. Tapi kamu TAU bahwa kamu berbeda. Dan itu cukup, sebagai modalmu.
Setelahnya, melangkah ke luar dan temui dunia baru yang siap menyambut orang hebat sepertimu!
FLORENCE NIGHTINGALE SYNDROME
Gara-gara baca sebuah buku yang sedikit menyinggung tentang Florence Nightingale Syndrome, saya jadi tergelitik untuk mencari tau lebih lanjut tentangnya. Hasil gugel sana-sini, akhirnya saya menemukan beberapa hal yang cukup mengejutkan
The Florence Nightingale Syndrome is also referred to as the Florence Nightingale Effect.This syndrome happens when an individual caring for another individual develops romantic feelings for them. More specifically the Florence Nightingale Syndrome is a psychological complex that might happen when a vulnerable patient is being cared for and their caretaker develops romantic and oftentimes erotic feelings for them. The Florence Nightingale Syndrome can also occur when the patient develops romantic feelings for their caretaker as they begin to see them as their protector.
(sumber)
Well, Well.. can't help but think that i might have it.
Sejak dulu saya heran pada diri saya sendiri, karena saya memang punya kecenderungan untuk peduli pada "yang sedang kesusahan" atau "yang kurang beruntung". If you know what i mean.
Misal, di hiruk pikuknya aktifitas sehari-hari dan interaksi dengan banyak orang, saya memang cenderung merasa tertarik pada wajah yang murung. Saya mungkin akan lebih banyak mengamati si wajah murung ini sambil melakukan psiko-analisa (yang seringnya berujung sok tau sih -___-). Mengapa orang ini menampakkan wajah murung? Apakah ia benar-benar murung? Ataukah hanya sedang mengantuk? (Beberapa orang yang sedang mengantuk memiliki wajah murung juga. True story). Lalu psiko-analisa tersebut menjadi semakin liar sampai berubah menjadi keinginan untuk mengkonfirmasinya kepada orang tersebut, mengapa ia murung? Apa masalahnya? ...Sampai berlanjut kepada (biasanya) orang tersebut bercerita pada saya dan membagi bebannya.
Awalnya saya hanya berpikir kecenderungan saya ini hanya disebabkan oleh karena saya anak pertama, semacam selalu ada keinginan untuk melindungi dan membuat nyaman orang lain, sampai kalau bisa, menyembuhkan luka hatinya. Atau saya hanya kebetulan memiliki kelebihan sense keibuan yang sangat normal dimiliki oleh setiap wanita. Semua itu normal-normal saja.
Namun, tak jarang hal berubah menjadi lebih complicated ketika berhubungan dengan lawan jenis. Ketika saya bersikap seperti itu, tak jarang ada perasaan yang ikut terlibat. Beberapa kali (Ugh. Oke, sering) saya menjadi lebih peduli daripada yang seharusnya. Dan, (Oke, sering lagi), keadaan berubah menjadi lebih daripada yang seharusnya. If you know what i mean.
There are times when we feel so vulnerable, wounded or even broken. And when there's a person who is willing to heal our wound, we feel healed. First aid is intimate. Tak jarang, saya dengan instan mengartikan bahwa proses penyembuhan ini telah membuat kami saling jatuh cinta.
Symptoms of the Florence Nightingale Syndrome would be very similar to that of falling in love with someone or having an intense crush
Pertanyaannya, apakah perasaan yang berkembang selama proses tersebut bisa dikatakan perasaan yang sesungguhnya? ataukah hanya sementara?
Beberapa hal yang saya alami setelah saya pikir-pikir ya memang karena FNS ini. Bertemu seorang lelaki yang begitu rapuh, butuh bahu untuk bersandar, dan sebagainya. And i played my part well, i enjoyed being healer so much. Sampai akhirnya situasi menjadi intense dan saya akhirnya sadar, bahwa saya tidak benar-benar menyukainya. Lalu kami menjauh. Beberapa kejadian berakhir damai, tapi seringnya tidak haha -__-
Pernah juga berada dalam situasi sebaliknya, di mana saat saya rapuh dan butuh bahu untuk bersandar. Ada seorang pria yang begitu baik layaknya malaikat, menjadi obat bagi luka yang saya dapat. Dan bertahun-tahun saya menganggap bahwa saya jatuh cinta padanya, padahal saya tak merasakan gejala orang yang sedang jatuh cinta saat bersamanya. Maksudnya, saya tak mengalami debaran jantung saat ia dekat atau merasa senang berlebihan yang konyol saat bertemu dengannya. Ketika bersamanya, saya hanya merasa tenang. Seolah disembuhkan.
This FNS sh*t just got real. And i was lost in confusion.
Saya juga membaca bahwa beberapa wanita menikmati menjadi dominan dalam sebuah hubungan, menikmati perannya menjadi penyembuh luka pasangannya. And i can honestly say, i'm one of those women. F**k me, right?
Apa kamu pernah atau sering merasa demikian? Kalau jawabanmu adalah iya, well.. welcome to the FNS club!
Kehilangan
Di dunia ini ada berapa macam rasa sakit? Dan sakit seperti apakah yang paling menyakitkan?
Bagi saya, sakit yang paling menyakitkan adalah rasa sakit yang tak dapat diungkapkan. Rasa yang merayap pelan di dalam hati hingga akhirnya menggerogoti seluruh kebahagiaan dan tak tersisa lagi harapan.
Tentunya bagi setiap orang, pengalaman paling menyakitkan ini berbeda-beda.
Bagi saya, pengalaman itu berupa kehilangan.
Apa kamu pernah kehilangan sesuatu? Walaupun kehilangan hal yang kecil dan remeh, tetapi pasti ada perasaan menyesal. "Mengapa saya tak menjaganya dengan cukup baik?!" Dan ketika hal tersebut sudah hilang, kamu akan merasakan ada yang berbeda dari biasanya. Ada sesuatu yang tak lengkap.
Begitulah yang saya rasakan saat saya kehilangan sesuatu. Apapun itu. Pernah suatu hari saya kehilangan dompet saya. Padahal saya termasuk tipe orang yang sangat teliti dan hati-hati menjaga dompet serta barang berharga. Itu kali pertama saya kehilangan barang berharga. Di dalam dompet tersebut ada uang sebesar kira-kira 400 ribu rupiah, tapi yang paling membuat saya tercekik adalah semua kartu identitas serta stnk motor saya ada di sana! Pasti akan sangat merepotkan jika harus mengurus ulang semua kelengkapan tersebut. Lalu saya mulai panik mengingat-ingat di mana lokasi kemungkinan saya kehilangan dompet tersebut, dengan harapan saya bisa menemukannya kembali. Berjam-jam saya berkeliling-keliling mencari, tapi usaha saya tak membuahkan hasil. Dompet saya sudah hilang. Saat itu saya merasa kecewa pada diri sendiri, ceroboh dalam menjaga barang berharga. Saya terus menerus menyalahkan diri saya sendiri. Andaikan waktu dapat diputar kembali, saya akan lebih berhati-hati.
Tapi sekuat apapun saya berusaha dan berdoa, saya tak bisa mengulang kembali waktu yang telah berlalu. Saya tak bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Hanya tersisa penyesalan.
Saat itu, saya kehilangan sebuah dompet. Saya tak pernah menyangka bahwa akan ada saatnya di mana saya harus kehilangan sesuatu yang lebih berharga dari sebuah dompet. Saya tak tau.
Saat ini, saya kehilangan sesuatu yang paling berharga dalam hidup saya. Sesuatu yang tak dapat dibeli kembali, atau dibuat "surat keterangan kehilangan" di kantor polisi terdekat. Tidak, ini sesuatu yang tak dapat terganti dengan apapun. Saya berusaha mengevaluasi, mengapa saya bisa kehilangan. Apa yang salah? Apa yang bisa saya lakukan untuk mendapatkannya kembali? Atau minimal mencari jejak hilangnya, seperti ketika saya kehilangan dompet itu. Tapi, setiap hal yang saya lakukan sepertinya malah semakin membuat kehilangan itu semakin besar, saya merasa hal itu makin jauh dari saya.
Saya tau, kali ini bukan sepenuhnya kesalahan saya sehingga saya kembali kehilangan sesuatu. Ini adalah hasil dari proses yang sudah berlangsung sejak lama. Pada awal tanda-tanda akan kehilangan itu muncul, saya juga sudah berusaha keras untuk menjaganya dengan lebih hati-hati. Namun ya itu tadi, ternyata semuanya menjadi semakin buruk. Hingga akhirnya saya benar-benar kehilangan.
Ini bukan sebuah pembelaan diri saya, bukan. Kalau kamu tau, tidak pernah ada satu hari pun terlewati tanpa saya menyalahkan diri saya sendiri sampai bisa ada kejadian seperti ini. Berkali-kali saya berusaha menghukum diri sendiri, membenci diri saya sendiri. Saya bukan orang yang baik, saya bahkan tidak bisa menjaga sesuatu yang PALING BERHARGA yang pernah saya miliki. Bagaimana mungkin saya bisa dipercaya oleh orang lain, sedangkan untuk hal seperti ini saja saya Gagal!
Saya juga merasa cukup terhukum, karena hal ini begitu dalam masuk hingga ke alam bawah sadar saya dan saya sering memimpikannya. Setiap mimpi selalu berakhir dengan semakin buruk semakin harinya.
Inilah penyesalan saya yang terdalam karena gagal menjaga sesuatu yang paling berharga.
Saat ini, saya sampai pada titik di mana saya sudah tidak tau lagi harus berbuat apa. Saya tidak punya jawaban atas pertanyaan yang terajukan. Saya tidak punya solusi untuk bahkan dicoba.
Inilah rasa sakit yang saya maksud, sakit yang sudah menghancurkan harapan. Kronis.
Pernah ada sebuah mimpi indah tentang bagaimana akhirnya saya kembali menemukan "yang hilang" tersebut. Tapi bahkan di dalam mimpi pun saya sadar bahwa saya sedang bermimpi, bahwa ini tidak nyata dan saya akan terbangun lalu kehilangan kembali.
saya tak tau bagaimana kelanjutan atau akhir dari kisah kehilangan ini.
Saya menulis ini dengan sebuah pesan, bahwa sesungguhnya kita semua lupa atas apa yang sudah kita miliki, lupa menghargainya, lupa mensyukurinya, lupa MENJAGANYA. Dan satu-satunya saat kita diingatkan akan nikmat apa yang kita miliki adalah saat kita kehilangannya.
Saya sudah merasakan dalamnya penyesalan atas sakitnya kehilangan. Jangan sampai kamu juga merasakannya.
Saat sesuatu yang berharga telah hilang, yang tersisa hanyalah ruang yang kini hampa tanpanya beserta rasa sesal yang setia menemani.
COAL TO LIQUID
Coal To Liquid Technology (CTL) merupakan salah satu bagian dari Coal Conversion Technology (CCT) yang bertujuan untuk memanfaatkan nilai guna batubara sebagai bahan bakar. Seperti yang sudah diketahui bersama bahwa batubara merupakan sumber bahan bakar selain minyak bumi dan gas alam yang tak dapat terbarukan (non renewable resources). Namun, berbeda dengan minyak bumi dan gas alam, batubara tersebar merata di seluruh dunia dalam cadangan yang cukup besar. Sehingga batubara dimanfaatkan sebagai sumber bahan bakar fosil utama oleh beberapa negara yang miskin sumber daya minyak/gas tetapi memiliki cadangan batubara yang melimpah seperti China, Amerika Serikat, Jepang, bahkan Afrika Selatan.
Permasalahan utama dalam penggunaan batubara adalah bahwa batubara merupakan bahan bakar padat, dan membutuhkan penyalaan awal agar bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi langsung. Selain itu, batubara juga memiliki masalah lain seperti membutuhkan tempat penyimpanan (stockpile) khusus setelah ditambang karena batubara memiliki sifat reaktif jika dibiarkan di tempat terbuka dalam waktu yang lama, dan akan segera terbakar dengan sendirinya (dikarenakan adanya volatile matters), belum lagi permasalahan transportasi yang membutuhkan penanganan khusus.
Pemanfaatan batubara dapat dimanfaatkan sebagai :
1. sumber energi langsung, yaitu dengan cara langsung membakarnya dan mengambil energi panasnya (seperti di PLTU, dan Industri semen)
2. sumber energi tidak langsung, yaitu dengan cara mengubah batubara ke dalam bentuk/fasa lain seperti
· briket batubara (proses karbonisasi/pirolisis)
· batubara cair (proses likuifaksi)
· gasifikasi batubara (menghasilkan Synthesis Natural Gas, SNG)
3. non energi:
· Digunakan sebagai karbon aktif pada industri kimia
· Kokas metalurgi pada industri pengolahan baja
Saat ini, terutama di Indonesia, batubara dimanfaatkan sebagai bahan bakar di PLTU, industri semen, briket batubara, serta pembuatan kokas metalurgi. Padahal, masih tersedia ruang pemanfaatan lain bagi batubara. Salah satunya adalah batubara cair, dengan proses likuifaksi
Likuifaksi Batubara adalah suatu teknologi proses yang mengubah batubara dan menghasilkan bahan bakar cair sintetis. Batubara yang berupa padatan diuah menjadi bentuk cair dengan cara mereaksikannya dengan hidrogen pada temperatur dan tekanan tinggi.
Proses likuifaksi batubara secara umum diklasifikasikan menjadi Indirect Liquefaction Processdan Direct Liquefaction Process.
1. Indirect Liquefaction Process/ Indirect Coal Liquefaction (ICL)
Prinsipnya secara sederhana yaitu mengubah batubara ke dalam bentuk gas terlebih dahulu untuk kemudian membentuk Syngas (campuran gas CO dan H2). Syngas kemudian dikondensasikan oleh katalis (proses Fischer-Tropsch) untuk menghasilkan produk ultra bersih yang memiliki kualitas tinggi.
2. Direct Liquefaction Process/ direct coal liquefaction (DCL)
Proses ini dilakukan dengan cara menghaluskan ukuran butir batubara, kemudian Slurry dibuat dengan cara mencampur batubara ini dengan pelarut. Slurry dimasukkan ke dalam reaktor bertekanan tinggi bersama-sama dengan hidrogen dengan menggunakan pompa. Slurry kemudian diberi tekanan 100-300 atm di dalam sebuah reaktor kemudian dipanaskan hingga suhu mencapai 400-480° C.
Secara kimiawi proses akan mengubah bentuk hidrokarbon batubara dari kompleks menjadi rantai panjang seperti pada minyak. Atau dengan kata lain, batubara terkonversi menjadi liquid melalui pemutusan ikatan C-C dan C-heteroatom secara termolitik atau hidrolitik (thermolytic and hydrolytic cleavage), sehingga melepaskan molekul-molekul CO2, H2S, NH3, dan H2O. Untuk itu rantai atau cincin aromatik hidrokarbonnya harus dipotong dengan cara dekomposisi panas pada temperatur tinggi (thermal decomposition). Setelah dipotong, masing-masing potongan pada rantai hidrokarbon tadi akan menjadi bebas dan sangat aktif (free-radical). Supaya radikal bebas itu tidak bergabung dengan radikal bebas lainnya (terjadi reaksi repolimerisasi) membentuk material dengan berat molekul tinggi dan insoluble, perlu adanya pengikat atau stabilisator, biasanya berupa gas hidrogen. Hidrogen bisa didapat melalui tiga cara yaitu: transfer hidrogen dari pelarut, reaksi dengan fresh hidrogen, rearrangement terhadap hidrogen yang ada di dalam batubara, dan menggunakan katalis yang dapat menjembatani reaksi antara gas hidrogen dan slurry (batubara dan pelarut).
Negara yang telah mengembangkan teknologi Direct Liquefaction Process adalah Jepang, Amerka Serikat dan Jerman. Bagi Indonesia, teknik konversi likuifaksi batubara secara langsung (Direct Liquefaction Process) dinilai lebih menguntungkan untuk saat ini. Selain prosesnya yang lebih sederhana, likuifaksi relatif lebih murah dan lebih bersih dibanding teknik gasifikasi. Teknik ini juga cocok untuk batubara peringkat rendah (lignit), yang banyak terdapat di Indonesia.
Banyak negara mengembangkan teknologi Likuifaksi Batubara. Di Amerika Serikat berkembang berbagai proyek pengembangan seperti pada gambar 2. Dan Jepang, sebagai salah satu negara pengembang teknologi Likuifaksi Batubara terkenal dengan salah satu proyeknya yaitu NEDOL memiliki 2 metode likuifaksi batubara yaitu Bituminous Coal Liquefaction dan Brown Coal Liquefaction.
Bituminous Coal Liquefaction
Dalam proses Bituminous Coal Liquefaction, Proyek NEDOL berhasil menggabungkan 3 proses, yaitu: Solvent Extraction Process, Direct Hydrogenation Process, dan Solvolysis Process.
Spesifikasi proses NEDOL adalah sebagai berikut:
· Tidak memerlukan batubara dengan spesifikasi tertentu. Batubara yang digunakan bisa dari low grade sub-bituminous sampai low grade bituminous.
· Yield Ratio bisa mencapai 54% berat, lebih besar dari medium atau light oil
· Temperatur standar reaksi adalah 450°C dan Tekanan standar 170 kg/cm2G
· Membutuhkan katalis yang sangat aktif namun tidak mahal
· Sebagai pemisah antara fasa cair-gas, digunakan sistem distilasi pengurang tekanan.
· Digunakan pelarut terhidrogenasi yang dapat digunakan kembali untuk mengawasi kualitas pelarut agar dapat meningkatkan Yield Ratio dari batubara cair dan mencegah fenomena “cooking” pada tungku pemanas.
Proses NEDOL
· Slurry dibuat dengan mencampurkan 1 bagian batubara dengan 1.5 bagian pelarut,lalu ditambahkan 3% katalis yang mengandung besi (ferrous catalyst)
· Slurry dipanaskan sampai suhunya mencapai 400°C dalam preheating furnace.
· Reaksi likuifaksi terjadi dalam kolom reaktor berjenis suspension bed foaming pada kondisi standar (Temperatur 450°C, Tekanan 170 kg/cm2G)
· Batubara dikonversi menjadi bentuk cair oleh reaksi antara hidrogen dan pelarut.
· Setelah melewati pemisah fase gas-cair, kolom distilasi bertekanan normal, dan kolom distilasi isap, batubara cair dipisahkan menjadi naphta, medium oil, heavy oil, dan residu.
· Distilat medium oil dan heavy oil dipindahkan ke kolom reaksi berjenis fixed bed yang berisi katalis Ni-Mo. Pada kolom reaksi ini, distilat dikonversikan menjadi distilat ringan pada Temperatur 320°C dan Tekanan 100 kg/cm2G, dan digunakan kembali dalam reaksi sebagai pelarut (solvent)
Brown Coal Liquefaction
Proses pada Brown Coal Liquefaction, secara umum terdiri atas 3 proses, yaitu: Coal Pretreatment Process, Slurry Preheating Process, Primary hydrogenation process dan Secondary hydrogenation process.
· Pretreatment Process merupakan proses peremukan raw brown coal, pengeringan, dan pembuatan Slurry. Slurry dibuat dengan mencampurkan 1 bagian batubara brown coal dengan 2.5 bagian pelarut, lalu ditambahkan katalis yang mengandung besi (iron catalyst). Lalu Slurry diproses ke preheating process.
· Primary hydrogenation process dilakukan dengan mengalirkan gas hidrogen pada Temperatur 430-450°C dan tekanan 150-200 kg/cm2G agar dapat terjadi proses likuifaksi.
· Produk yang dihasilkan dikirim ke kolom distilasi dan didistilasi menjadi naphta, light oil dan medium oil.
· Kolom distilasi bawah yang mengandung padatan dialirkan menuju kolom pemisah padatan-cairan pada proses pengeringan pelarut. Distilat cair kemudian dibawa ke proses Secondary hydrogenation dan padatan dibuang.
· Reaktor jenis fixed bed yang diisi katalis Ni-Mo agar proses hidrogenasi dapat terjadi pada temperatur 300-400°C dan tekanan 150-200 kg/cm2G.
· Kemudian dilakukan distilasi kembali agar dapat dipisahkan menjadi nephta, light distillate dan medium distillate.
· Setelah proses selesai, dihasilkan 3 barrel batubara cair dari 1 ton batubara brown coal kering
Manfaat Likuifaksi Batubara
Likuifaksi batubara memiliki sejumlah manfaat:
1. Batubara terjangkau dan tersedia di seluruh dunia, memungkinkan berbagai negara untuk mengakses cadangan batubara dalam negeri -dan pasar internasional- dan mengurangi ketergantungan pada impor minyak, serta meningkatkan keamanan energi.
2. Batubara Cair dapat digunakan untuk transportasi, memasak, pembangkit listrik stasioner, dan di industri kimia.
3. Batubara yang diturunkan adalah bahan bakar bebas sulfur, rendah partikulat, dan rendah oksida nitrogen.
4. Bahan bakar cair dari batubara merupakan bahan bakar olahan yang ultra-bersih, dapat mengurangi risiko kesehatan dari polusi udara dalam ruangan
Sisi Lain Batubara Cair
Dalam penggunaannya, batubara cair sebagai bahan bakar alternatif dinilai dapat:
1. Meningkatkan dampak negatif dari penambangan batubara
Penyebaran skala besar pabrik batubara cair dapat menyebabkan peningkatan yang signifikan dari penambangan batubara. Penambangan batubara akan memberikan dampak negatif yang berbahaya. Penambangan ini dapat menyebabkan limbah yang beracun dan bersifat asam serta akan mengkontaminasi air tanah. Selain dapat meningkatkan efek berbahaya terhadap lingkungan, peningkatan produksi batubara juga dapat menimbulkan dampak negatif pada orang-orang yang tinggal dan bekerja di sekitar daerah penambangan.
2. Menimbulkan efek global warming sebesar hampir dua kali lipat per gallon bahan bakar.
Produksi batubara cair membutuhkan batubara dan energi dalam jumlah yang besar. Proses ini juga dinilai tidak efisien. Faktanya, 1 ton batubara hanya dapat dikonversi menjadi 2-3 barel bensin. Proses konversi yang tidak efisien, sifat batubara yang kotor, dan kebutuhan energi dalam jumlah yang besar tersebut menyebabkan batubara cair menghasilkan hampir dua kali lipat emisi penyebab global warming dibandingkan dengan bensin biasa. Walaupun karbon yang terlepas selama produksi ditangkap dan disimpan, batubara cair tetap akan melepaskan 4 hingga 8 persen polusi global warming lebih banyak dibandingkan dengan bensin biasa.