Thursday, February 21, 2013

Sakit


Ada yang mendapatkan kenyamanan atau kebahagiaan atau pelarian dari rasa sakitnya sendiri dengan cara SENGAJA menyakiti orang lain.
Ada orang yang jauh lebih senang menyakiti diri sendiri daripada harus tak sengaja menyakiti orang lain. Dan menemukan kesenangan dari proses menyakiti dirinya sendiri, lebih daripada kewajaran.

Ada yang memilih untuk berontak dari semua rasa sakit. Mencoba menyingkirkan rasa sakit yang terus mengejarnya sejak dulu. Berontak dan berontak seumur hidup, sehingga tak lagi jelas baginya, mana rasa sakit yang sesungguhnya harus dilawan.

Ada juga orang yang benar-benar menikmati semua kesenangan, mereguknya dengan serakah dan tak pernah merasa cukup. Menyedot semua kebahagiaan dari setiap hal yang ditemuinya sepanjang perjalanan hidupnya. Tak pernah benar-benar merasa cukup dengan kebahagiaan yang dimilikinya.

Ada pula yang benar-benar menanggung semua rasa sakit sendirian. Membiarkan rasa sakit bersemayam begitu lama dalam hidupnya. Karena benar-benar tak tau harus berbuat apa terhadapnya. Juga tak memiliki wadah untuk menumpahkan semua rasa sakitnya.

Ada yang benar2 menutup pintu hati dari semua perasaan, memiliki hidup bagaikan robot karena terlalu takut untuk merasakan rasa sakit.

Ada juga yang piawai menyembunyikan semua rasa sakitnya dibalik semua tawa dan senyumnya. Memainkan sandiwara hidup dengan baik, selalu memilih menjadi aktor/aktris protagonis. Membiarkan orang lain bersorak sorai memuji kepiawaiannya bersandiwara. Namun selalu merasa sepi.

Semua orang sakit.
Masokis, hedonis, apatis, atau apapun. Kita semua sakit!
Hidup terkadang menjadi berat dan kita merasa sakit. Cara kita menyikapinya berbeda-beda.

Seharusnya tak boleh ada sebuah standar bagi siapapun untuk menilai atau menghakimi pilihan orang lain untuk menyikapi rasa sakitnya. Bagaimana bisa sesama pasien saling memvonis?

Yang seharusnya terjadi adalah proses saling mengobati. Yang satu bisa menjadi obat bagi yang lainnya. Agar kemudian dapat tersembuhkan.

Harapan.
Itulah yang obat yang sesungguhnya dibutuhkan oleh orang yang sedang sakit. Harapan akan tetap hidup esok hati, harapan akan ada kehidupan yang lebih baik yang bisa didapatkannya setelah dia sembuh. Harapan akan senyum orang lain yang menantinya di rumah.

Di mana dapat ditemukan apotek yang menjual obat bernama 'harapan'? Sayangnya, para apoteker belum ada yang bisa menemukan obat tersebut. Jadi maaf, tidak ada di pasaran.

Lalu apa yang terjadi selanjutnya pada orang-orang sakit? Mereka harus meracik dan meramu obat bernama 'harapan' itu sendiri. Kalau mereka beruntung, akan ada orang lain yang membantu.

Kalau tidak cukup beruntung? Bukan berarti tak bisa bertahan hidup, sobat! Tumbuhkan sendiri tanaman harapanmu di bangsal rumah sakit tempat kamu dirawat. Hingga pada saatnya, ia bisa menjadi tanaman yang bisa kamu racik menjadi obat. Itu yang akan menyembuhkanmu.

Berat, memang. Sakit saja sudah berat, terlebih lagi tidak ada yang merawat dan tidak ada obat. Tapi itu semua tidak lantas kemudian membuat kesempatan hidupmu hilang sama sekali. Justru di situlah letak sebuah kesempatan emas! Kamu bisa menjadi The Chosen One, The Boy Who Lived. Halaaah... maaf, kita sedang tak berbicara tentang anak lelaki berkacamata yang memiliki bekas luka di dahinya.

Kamu bisa menjadi seorang pemenang yang berhasil lolos dari sebuah pertarungan sengit, yang lubang lolosnya lebih kecil daripada jarum jahit terkecil. Kamu akan menjadi alumni sebuah perguruan besar bernama Kehidupan. Dengan predikat summa cumlaude.

Ya, orang sakit lainnya juga akan lolos. Tapi kamu berbeda. Kamu melewati proses yang lebih 'menantang'. Sekilas kamu nampak sama, Orang Yang Sudah Sembuh. Tapi kamu TAU bahwa kamu berbeda. Dan itu cukup, sebagai modalmu.

Setelahnya, melangkah ke luar dan temui dunia baru yang siap menyambut orang hebat sepertimu!

No comments:

Post a Comment