Masalah.
Dalam hidup pasti ada masalah. Namanya juga hidup, banyak dinamika. Kalau banyak cucian namanya laundry. Kalau banyak anak namanya nggak KB. Kalau banyak ingus namanya pilek, iya nggak?
Kadangkala, masalah datang ke hidup saya dibawa oleh orang lain. Saya sudah berjuang mati matian menata rapi sana sini, sebagai upaya pencegahan terjadinya masalah yang diakibatkan oleh kesalahan saya sendiri. Eh, tiba-tiba karena kehadiran satu orang saja, semua yang sudah terbangun dengan baik langsung hancur. Bagaikan efek domino.
Kalau sudah begini, biasanya saya gampang stress.
Lha kok enak banget, orang datang hanya untuk bikin masalah. Setelah itu ditinggalkan. Saya deh yang kebagian bersih-bersih.
Pait. Pait.
Kejadian seperti ini tidak terjadi sekali atau dua kali dalam hidup. Melainkan berkali-kali, hampir selalu terjadi, dan polanya hampir sama. Ini entah saya harus tepuk tangan apa tepuk pundak sendiri ya..
Saya pernah berpikir kalau terus-terusan begitu, seumur hidup saya bisa-bisa hanya sibuk mengurusi orang lain. Saya tidak akan pernah punya kehidupan. Kalau saya hidup dengan cara memfungsikan diri sendiri sebagai tempat sampah, atau pengki, atau kemoceng, atau apalah, selamanya saya hanya akan menjadi itu semua. Berakhir dengan penuh debu.
Maka pada suatu ketika, saya mulai menjauh dari peradaban. Pelan-pelan saya mulai menjauh dari semua orang. Semua. Kecuali hanya 3 orang anggota keluarga saya saja. Sehari-hari saya benar-benar tidak berkomunikasi dengan siapapun. Kecuali memang benar-benar terpaksa, ya hanya sekedar "iya", "tidak", "Terima kasih". Atau gabungan dari ketiganya, "iya. Nggak, terima kasih"
Orang-orang mungkin menganggap saya aneh, mungkin sudah separuh gila, karena menjalani hidup yang seperti itu. Tapi -demi jenggot Merlin- saya belum pernah merasakan ketenangan dan kebahagiaan hidup yang lebih daripada saat-saat pengasingan saya itu.
Di awal-awal masa pengasingan tersebut, hidup terasa serupa bulan madunya para pengantin baru (walaupun yang seperti apa pun saya belum tau, karena saya belum pernah mengalami juga sih). Semuanya terasa sangaaat indah. Hidup terasa lebih indah, hati terasa begitu tenang, pikiran jernih, suasana hati senantiasa riang, matahari bersinar cerah, bunga-bunga bermekaran di taman, pelangi bermunculan, unicorn berdatangan.
Lama kelamaan, masa pengasingan menjadi zona nyaman saya. Saya enggan sekali keluar dari sana. Saya merasa bahwa di luar sana (di luar zona pengasingan), bertemu dengan orang-orang itu begitu menakutkan, teramat sangat mengerikan. Kemudian saya menjadi sangat defensif kepada orang lain. Manusia telah berubah menjadi serupa dementor bagi saya.
Setiap kali ada kondisi yang mengharuskan saya berkomunikasi dengan orang (siapa pun selain keluarga saya), saya sebegitu ketakutannya sehingga saya akan memikirkan 1000 atau lebih cara agar saya tidak perlu banyak berkomunikasi lebih dari sekedar 3 kata ajaib: ya, tidak, terima kasih.
Periode kegelapan ini berlangsung cukup lama. Dan saya berkubang dalam lubang kenikmatan itu seperti kuda nil di kubangan lumpur. Alam bawah sadar saya berkata itu tidak benar, namun terasa sangat nikmat hingga terasa benar.
Apakah itu semua gejala depresi? Mungkin saja. Ada delusional, denial, misanthrophy. Tapi, dibalik semua gejala depresi tersebut, anehnya saya benar-benar merasa bahagia. Masalah kebahagiaan ini bukan denial.
Entahlah, saya tidak ingin menganalisa atau membahas dari sudut pandang medis-psikiatris. Percuma lah, saya juga nggak ngerti -___-"
Saat ini, saya masih merasa kurang nyaman saat berada di dekat orang lain, terutama banyak orang. Saya masih menghemat bahan pembicaraan. Masih merasa agak defensif terhadap topik pembicaraan yang sedikit pribadi.
Namun, ajaibnya, saya juga menjadi jauh lebih baik. Saya bisa bergaul kembali dengan manusia! Saya bisa menghadiri acara yang amat sangat meriah dan penuh orang. Saya bisa bercanda, tertawa dan berbicara lebih dari 3 kata ajaib. Bahkan, saya bisa kembali menanggapi/merespon pembicaraan orang lain. Saya bisa
berdialog. Bukan dialog yang sama seperti dulu, di mana orang lain nyerocos dan saya kejepit cuma angguk angguk, senyum kecut, menahan sendawa, dan sebagainya. Tetapi dialog yang melibatkan dinamika topik pembicaraan. Orang lain bertanya, saya menjawab, lalu saya bertanya balik, dst.
Ini sebuah pencapaian dalam hidup.
Ya, menurut saya ini sebuah pencapaian yang cukup membanggakan. Karena untuk bisa sampai
ke sini, saya
harus sanggup berdiri, melangkah kemudian berjalan
dari sana. Terus melangkah dan tidak menyerah saat jatuh kembali.
Perjalanan dari sana ke sini itu adalah sebuah pengalaman.
Satu hal yang saya temukan sangat berharga dalam hidup ini adalah pengalaman.
Pengalaman itu bukanlah sesuatu yang bisa didefinisikan, digeneralisasi, diseragamkan. Pengalaman itu sifatnya personal, nilainya tidak bisa terukur. Bisa jadi bagi seseorang pengalaman mengendarai sepeda motor itu sangat biasa saja nilainya. Tapi bagi orang lain (yang memiliki kondisi fisik/psikis/ekonomi/lingkungan yang berbeda), bisa mengendarai motor adalah pengalaman yang paling menarik dalam hidupnya.
Pengalaman-pengalaman dalam hidup itu sesungguhnya merupakan proses-proses yang pada akhirnya menjadikan kita manusia yang memiliki
added value. Diibaratkan dalam sebuah reaksi kimia, Masalah (m) adalah reaktan, bereaksi menghasilkan Pengalaman(p) sebagai produk dan Kebijaksanaan (w) sebagai produk sampingan dan dengan bantuan Pengetahuan (t) sebagai katalis.
Pada orang introvert, reaksi bersifat eksotermik. Sedangkan pada orang ekstrovert, reaksi bersifat endotermik.
*Sungkem ke guru kimia sambil buru-buru ngacir*
Dalam membagi semua ini, saya tidak sedikitpun merasa malu karena membuka aib diri sendiri. Saya sudah melangkah melampaui semua rasa malu, kecewa, minder, bahkan putus asa. Jikalau ada omongan yang kurang enak, kalimat-kalimat penjatuh semangat, cibiran, hinaan, cercaan, makian, bahkan sumpah serapah pun, itu semua hanyalah rangkaian kata.
Words are only words. Even if it's an insult, they're nothing but mere words.
Sekuat apapun tekad sang pemilik kata-kata untuk memberikan jatah kata kata jahatnya kepada saya, semua itu tidak akan sanggup menyakiti saya, karena saya tidak membiarkan kata-kata tersebut memiliki kekuatan.
They're just a bunch of harmless, innocent words, used frivolously by some random person.
Dengan mental seperti itulah saya bisa bangkit dari segala macam masalah. Masalah hanyalah sebuah reaktan, dan omongan orang hanyalah kata-kata.
Saat ada masalah (yang pastinya akan terus ada) yang dibawa oleh orang lain kembali ke hidup saya yang sedang mulai saya atur kembali, saya tau bahwa masalah itu hanya akan berlangsung sementara. Seperti layaknya semua hal yang ada di dunia ini, tiada yang abadi. Saya juga paham bahwa sebenarnya masalah itu hadir PASTI beserta solusinya. Jodoh dari masalah adalah solusi. (Lalu jodoh saya siapa??)
Kalau solusi dari masalah tersebut belum sanggup saya lihat, bukan berarti solusinya tidak ada, atau sangat jauh. Bahkan mungkin solusi dari masalah tersebut lebih dekat daripada jodoh saya (hiks...). Yang saya perlukan hanyalah Katalisnya, pengetahuannya. Daripada stress sendiri berkutat dengan worry worry worry worry, endless worry tentang apa yang mungkin akan terjadi,
worst case scenario, dsb, fokus saja kepada apa yang dapat saya lakukan dengan amat sangat maksimal hari ini. Maksimalkan ikhtiar saat ini.
Mengutip
wejangan seseorang, "jangan benturkan idealisme dengan realita. Itu hanya akan menciptakan ruang kegelisahan"
Terakhir,
wejangan buat diri sendiri,
"
Dan, apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkal-lah kepada Allah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya" (Q.S. Ali Imraan :159)