Monday, February 18, 2013
30 HARI PENGAKUAN. DAY 5: TRAUMA
Pernahkah kau merasa begitu takut untuk melangkah maju? Kata hatimu menginginkan sesuatu, namun ada sesuatu yang menahanmu di tempat, atau justru menarikmu ke belakang?
Well, aku pernah, beberapa kali. Aku begitu merasa takut untuk mengambil keputusan dan berpikir seribu kali. Semua diakibatkan oleh satu rasa yang bernama trauma.
Trauma berasal dari bahasa Yunani yang berarti luka. Kata tersebut digunakan untuk menggambarkan situasi akibat peristiwa yang dialami seseorang. Para psikolog menyatakan trauma dalam istilah psikologi berarti suatu benturan atau suatu kejadian yang dialami seseorang dan meninggalkan bekas. (sumber)
Kejadian yang dialami dan bekas yang ditinggalkan bukan hanya bersifat fisik, tetapi juga psikis. Trauma psikis inilah yang merupakan bahaya laten dalam perkembangan kepribadian seseorang.
Tidak semua orang memiliki trauma spesisfik, namun aku memilikinya. Inilah pengakuanku mengenai trauma.
Aku trauma pada pernikahan.
Banyaknya pertengkaran diantara kedua orangtuaku sejak aku masih teramat kecil, sedikit demi sedikit mengendap dalam alam bawah sadarku. Sampai-sampai aku pernah menganggap bahwa pernikahan identik dengan pertengkaran. Waktu aku kecil, aku pernah berkata bahwa aku mungkin tak akan pernah ingin menikah. Hidup selibat bagiku cukup. Aku tak tau bagaimana aku yang sekarang, apakah ucapanku itu masih berlaku atau tidak. Di satu sisi, aku tau bahwa menikah adalah setengah dari agama. Aku pahambahwa menikah adalah ibadah. Tapi tau dan paham tidak sama dengan merasakan. Trauma itu masih ada, walau sedikit, bahwa aku takut akan pertengkaran dalam rumah tangga. Aku takut anak-anakku kelak akan mengalami hal yang sama dengan yang kualami, yaitu merasakan ketakutan yang sama setiap hari. Merasa tidak aman hampir setiap hari. Merasa khawatir hampir setiap hari, apakah sepulang sekolah akan ada piring yang terlempar pecah ataupun koper yang dipak dan siap diangkut pergi.
Aku pernah berpendapat bahwa pernikahan itu sangat menakutkan dan aku tidak akan pernah siap menghadapinya suatu saat nanti. Kurasa, sampai saat ini, pendapat tersebut sebagian masih bertahan. Aku masih menganggap bahwa pernikahan itu bukan hal main-main dan membutuhkan bukan hanya sekedar cinta, tapi juga kedewasaan dan komitmen penuh.
Dulu, trauma ini menjadi hal yang sangat negatif buatku. Aku menjadi seperti orang yang sangat anti membicarakan pernikahan. Pokoknya aku benci setiap ada orang yang membicarakannya. Namun, sejak aku membaca sebuah hadist berikut:
Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata, telah bersabda Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang artinya: “Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi”. (HR: Thabrani dan Hakim).
Aku tidak lagi membenci pernikahan, aku tidak lagi anti terhadapnya. Aku justru semakin mempelajari mengenai pernikahan. Bagaimana agar kelak jika aku menikah, aku tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama dengan orang tuaku. Aku bahkan mempelajari sampai bagaimana mendidik anak, agar tidak sampai melukai perkembangan psikologi anak. Walaupun demikian, aku tetap merasakan kekhawatiran akan pernikahan x_x
Aku trauma pada persahabatan
Sebuah hal yang miris adalah ketika kau memiliki begitu banyak teman, namun kau masih merasa kesepian. Saat teman hanyalah sebuah status sosial yang ditempelkan satu manusia ke manusia lainnya. Yah, begitulah yang kurasakan. Aku seringkali merasa sendirian, padahal aku tak pernah benar-benar sendiri. Selalu ada manusia-manusia yang bernama teman di sekelilingku. Namun entah mengapa, seperti ada tabir antara aku dan mereka. Tabir yang semakin lama semakin tebal dan akhirnya mengasingkanku dari mereka.
Dulu, aku begitu mudah bergaul, mudah menemukan teman. Bagiku sangat mudah untuk menyayangi sosok yang disebut teman. Namun, selalu dan selalu, sosok yang disebut teman itu mengecewakanku dan menyakitiku. Apa kau tau bagaimana rasanya difitnah oleh teman dekatmu? Apa kau tau bagaimana rasanya jika rahasia terdalammu dibeberkan didepan publik lalu ditertawakan oleh seorang yang kau sebut teman sejati?? Apakah kau pernah merasakan bagaimana sakitnya saat kau dan keberadaanmu hanya dimanfaatkan oleh temanmu hanya untuk keuntungannya semata??
Percayalah, aku sudah pernah mengalami itu semua. Ironis memang, ketika aku dengan tulus ingin berteman dengan seseorang, lalu kau harus mengalami hal-hal yang menyakitkan tersebut dengan tiba-tiba dan tak menduga. Aku memang tak pernah mengharap bahwa semua ketulusanku itu berbalas dengan kebaikan. Namun, aku lebih tidak mengharap bahwa mereka akan menyakitiku. Itu terlalu pahit buatku. Disakiti oleh orang yang sudah kau anggap sahabat sendiri jauh lebih menyakitkan dibandingkan dicaci oleh orang yang membencimu.
Oleh karenanya, pernah ada masa dimana aku bersikap sangat dingin kepada semua orang. Bersikap menjauh dari semuanya. Terlalu lelah untuk percaya bahwa yang namanya sahabat itu memang ada. Menganggap bahwa berjuang sendiri dalam kerasnya dunia itu jauh lebih baik daripada memiliki resiko untuk kembali sakit hati karena sahabat. Hatiku sudah separah itu kerusakannya.
Lalu aku bertemu seseorang. Yah, kau sudah tau Jay (baca postingan sebelumnya). Lalu dia pergi.. bertahun-tahun aku tak memiliki sahabat lagi. Sampai aku bertemu seorang pria. Pria yang entahlah, selalu ada disaat susah dan senangku. Selalu bisa berbagi beban kehidupan denganku layaknya sahabat. Mendampingi layaknya seorang kakak, dan membimbing layaknya seorang bapak. Mungkin dia lah orang pertama yang mengembalikanku pada 'kehidupan'. Kehidupan yang membuatku kembali hidup normal dan mulai percaya bahwa ketulusan itu memang benar ada. Lalu, dia pergi lagi.. sungguh naas hidupku T.T Namun, pada akhirnya, saat ini jalan kehidupan yang berliku ini mempertemukanku pada 2 orang manusia yang baik. Kisah mengenai keduanya bisa dibaca di postinganku mengenai Sahabat.
Walaupun aku saat ini sudah menemukan mereka, yang mulai kuberanikan diri untuk kupanggil sahabat, ketakutan dan trauma itu masih tetap menghantuiku. Entah mereka akan pergi dari hidupku atau mereka akan menyakitiku, itulah ketakutanku. Aku memang mulai menterapi diri sendiri dengan sugesti bahwa mereka tidak akan menyakitiku, dan kalaupun suatu saat itu akan terjadi, aku akan berusaha tetap mempertahankan mereka. Namun, bayangan perpisahan masih menghantui. Mengingat aku selalu harus berpisah dengan orang-orang kesukaanku sebelumnya. Sampai saat ini aku pun masih bertanya-tanya, apakah ini mimpi, bahwa aku akhirnya bertemu lagi dengan sahabat. Lalu kapankah aku bangun dan menemukan realita?
Aku juga trauma pada kegagalan.
Aneh, bukan? mengingat bahwa kegagalan adalah bagian dari kehidupan dan itu adalah hal yang biasa. Namun yaaah, bagiku gagal adalah sesuatu yang sangat menakutkan. Sejak kecil, orang tuaku mendidik aku dengan cara yang sangat perfeksionis sehingga aku terbiasa merasa takut untuk gagal. Gagal adalah seburuk-buruknya hal. Ayahku selalu mengharapkan agar aku berhasil di bidang akademik. Berprestasi pun aku jarang dipuji, malah cenderung dievaluasi. Lalu apalah yang terjadi jika aku gagal? Ibuku pun sama, mengharapkan aku agar bisa menjadi wanita yang tangguh, tiada pernah menangis cengeng. Lalu, apakah yang terjadi jika aku lemah dan menangis? Hal itu mengendap dalam diriku: aku tak boleh gagal. Aku harus berprestasi, kuat dan tegar.
Namun, inilah hidup. Dan akupun gagal suatu hari. Dan itu sangat memukulku. Melihat sosok ayahku yang terluka, walau beliau berusaha menyembunyikannya, harus kuakui lebih membuatku terluka. Gagal itu sangat menyakitkan! Sampai tiada sanggup rasanya melanjutkan hidup. Aku selalu memikirkan dampak kegagalan dalam hidupku bagi hati kedua orang tuaku yang memang penuh ekspektasi. Rasanya tiada pernah sanggup lagi aku lihat sorot terluka pada kedua mata mereka. Itu sangat menyakitkan.
Oleh karenanya aku sangat trauma pada kegagalan. Aku mulai memasang standar yang lebih tinggi pada diriku dalam setiap hal. Yak, aku telah sukses menjadi seorang perfeksionis. Jika kau tanya padaku apakah menjadi seorang perfeksionis merupakan sebuah hal positif atau negatif, aku akan menjawab keduanya.
Menjadi perfeksionis merupakan hal positif karena kau tidak akan melakukan suatu hal apapun tanpa bekerja dengan sangat keras. Kau akan menjadi sangat total terhadap apa yang kau kerjakan. Ini berarti dedikasi dan loyalitas. Sisi buruk dari menjadi seorang perfeksionis adalah kau menjadi mudah down. Sedikit kegagalan akan membuatmu larut dalam penyesalan dan penghakiman yang kadang tidak masuk akal pada dirimu sendiri. Lalu, kau akan menjadi semakin tidak menyukai kegagalan.
Aku trauma curhat.
Yang ini lebih aneh lagi. Curhat saja bisa menimbulkan trauma?? lebay! :p Tapi ya memang, aku kurang berbakat dalam bidang yang satu ini. Sejak dulu aku memang sering menjadi tempat curhat bagi teman-temanku. Baik perempuan maupun laki-laki. Namun entah mengapa, aku tak pernah bisa curhat kepada orang yang pernah curhat padaku tanpa berpikir panjang dan berulang-ulang.
Menurutku, yang namanya curhat itu merupakan fungsi dari minimal 3 hal:
1. Kepercayaan
Apakah kau mau curhat sama orang yang tidak kau percayai bahwa dia dapat menjaga rahasiamu atau menjaga perasaanmu?
2. Kenyamanan
Ataukah kau mau curhat sama orang yang tidak nyaman kau ajak bicara, yang kau tau dia hanya akan memandangmu rendah setelah kau bercerita atau justru sama sekali tidak mendengarkan?
3. Keadaan
Terkadang, ada sebuah situasi dimana kau hanya membutuhkan orang lain untuk berbagi. Situasi dimana kau baru saja mengalami hal yang bisa jadi itu mengejutkan, membahagiakan, menyedihkan atau bahkan menakutkan!
Begitulah menurutku, seseorang akan memutuskan untuk curhat kepada orang lain jika dia merasa beberapa dari fungsi tersebut diatas terpenuhi. Untuk kasusku yang perfeksionis ini, ketiga hal tersebut harus terpenuhi semua.
Terakhir, dan ini merupakan pengakuanku yang terdalam. Aku trauma jatuh cinta.
Pengalaman jatuh cinta merupakan pengalaman yang sangat menakutkan! Seperti jatuh dalam goa yang sangat dalam, gelap dan belum pernah terjelajahi sebelumnya (halah! Sanctum syndrome! :p). Jatuh cinta adalah sebuah pengalaman yang membingungkan. Ia tak memiliki formula yang pasti dan teruji secara scientific, variabelnya tak tentu, probabilitasnya tak terukur, resiko tidak selalu bisa dicegah, dan kebenarannya tidak mutlak.
Saat seseorang jatuh cinta, semua sistem nalar dan logika seperti lumpuh sementara dan hanya hati dan perasaannya yang menguasainya. Hal ini sudah tentu menjadi hal yang paling beresiko. Bagaimana mungkin seseorang mempertaruhkan sebuah hati yang tiada gantinya hanya demi makhluk bernama cinta? Apakah resikonya sebanding dengan hasil yang (mungkin) akan didapatnya?
Andaikan saja ada suatu sistem, suatu formula, suatu resep obat, atau apapun dimana seseorang bisa jatuh cinta tanpa merasakan resiko sakit hati. Tentu jatuh cinta tidak lagi menjadi sesuatu yang menakutkan. Tapi ternyata hal tersebut belum ada, dan jatuh cinta masih menjadi momok yang menakutkan bagiku.
Aku pernah jatuh cinta, beberapa kali. Namun aku selalu berusaha menguntai benang merah dari setiap pengalaman aku terjatuh untuk mencinta.
There's no such thing as love at first sight. Karena sejatinya, cinta adalah perasaan yang bertumbuh seiring dengan waktu dan dipupuk oleh pengetahuan saling menemukan kenyamanan antara satu sama lain. Jatuh cinta bukanlah sebuah proses instan seperti mi instan (halah). Ketika perasaan itu muncul seiring berjalannya waktu dan didasari bukan hanya perasaan kagum belaka yang sementara, ia akan bertahan lama.
Bagiku, cinta tanpa logika adalah cinta yang bukan saja buta, tetapi membutakan dan membahayakan. Walau bagaimanapun segala sesuatu butuh logika, butuh pemikiran mendalam. Makhluk yang bernama cinta lahir dari hati dan logika dengan takaran yang pas dapat menjaga hati agar tidak terluka. Hati hanya ada satu, kau tak ingin kehilangannya tanpa punya pertahanan sama sekali, bukan?
Yah, aku memang tipe yang sulit untuk jatuh cinta. Butuh banyak pertimbangan, pemikiran yang mendalam dan kenyamanan sampai tiba saatnya aku jatuh cinta. Namun, saat aku jatuh cinta, aku memang tidak pernah mudah bangkit darinya. Pengalaman berbicara bahwa aku selalu membutuhkan waktu lebih dari 2 tahun untuk bangkit kembali dari pengalaman 'jatuh' yang satu ke pengalaman 'jatuh' yang lainnya. Itulah mengapa aku selalu trauma saat tanda-tanda jatuh cinta menyerangku.
Well, begitulah penuturanku yang teramat panjang mengenai trauma. Bukan topik yang mudah bagiku, dan membutuhkan penuturan yang sangat jujur dari hatiku. Dan, beginilah aku. Ini pengakuanku mengenai trauma.
(16 Mei 2011)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment