Monday, February 18, 2013

With great power comes great responsibility


Siapapun kita, pasti memiliki tanggung jawab.
Kalau kita adalah seorang guru, tanggung jawab kita bukan hanya sekedar menyampaikan materi pelajaran sesuai silabi dan kurikulum. Tapi juga bertanggung jawab agar peserta didik mencintai ilmu yang kita ajarkan.
Kalau kita adalah seorang pilot, tentu kita bertanggung jawab atas nyawa sekian banyak penumpang juga awak pesawatnya. Tapi, tanggung jawab sesungguhnya lebih dari itu, yaitu membuat perjalanan menjadi senyaman mungkin sejak lepas landas hingga mendarat.
Kalau kita adalah seorang ibu, kita minimal harus menjalankan tugas rumah tangga sehari-hari dari mulai hal remeh seperti memasak atau mencuci dan menyetrika pakaian. Bukan hanya itu, seorang ibu juga harus menjadi role model bagi anak-anaknya sehingga ia tidak hanya disayangi oleh anak dan suami, tapi juga dihormati.
Begitu pula dengan profesi dan peran lain dalam kehidupan ini, semuanya butuh tanggung jawab. Bahkan jika kita hanya seorang manusia biasa, kita punya tanggung jawab. Minimal satu untuk diri sendiri dan satu untuk lingkungan sekitar kita.
Sebagai manusia, tanggung jawab kita terhadap diri kita sendiri adalah tidak menyakiti diri sendiri. 
Ini sangat penting dan seringkali dilupakan oleh banyak orang. Termasuk saya. Ups :p 
Ketika kita dilahirkan, yang paling bahagia adalah orang tua kita. Ya, mereka memiliki harapan pada kita, tapi yang pertama muncul dalam hati mereka saat pertama kali melihat kita justru bukanlah harapan. Melainkan cinta. 
Karena cinta itulah, kita ada dan akan selalu ada. Lalu mengapa kita seringkali melupakan untuk mencintai diri kita sendiri? Melakukan berbagai cara untuk menyakiti diri sendiri. 
Saat kita masih kecil, kita akan menangis sekencang kencangnya saat kita sakit. Saat jatuh, kita menangis. Saat diejek oleh teman, kita menangis. Kita menangis karena kita tidak bahagia, atau tidak merasa nyaman. Lalu semakin beranjak dewasa, semakin sedikit kita menangis dan semakin banyak emosi yang kita sembunyikan. 
Benarkah demikian? Atau semakin lama kita semakin pasrah pada keadaan dimana kita disakiti oleh orang lain dan belajar untuk menerimanya sebagai sebuah kenyataan...? 
Bahwa kita memang pantas untuk dilukai, bahwa kita memang tidak layak untuk dicintai dan lebih layak untuk disakiti..
Tanggung jawab lain yang kita miliki sebagai seorang manusia terhadap lingkungannya adalah dengan tidak menyakiti sesama. Ini lebih sulit. 
Saat kita hidup bersama lingkungan, kita akan mempengaruhinya atau terpengaruh olehnya. Namun kita semua memilih menjadi buta akan kenyataan tersebut -bahwa kita terpengaruh/mempengaruhi lingkungan- kecuali beberapa 'insan yang terpilih'. 
Sebagian besar manusia tidak menyadari bahwa mereka memiliki minimal dua pilihan dalam setiap keputusan yang mereka ambil. 
Saat seseorang menyakiti orang lain -baik secara fisik atau verbal- sesungguhnya mereka selalu lupa bahwa mereka punya pilihan untuk TIDAK melakukannya. 
Dan kebanyakan orang selalu memilih pilihan yang salah hingga pada akhirnya menyakiti orang lain. Semua ini diakibatkan karena hal tersebut telah menjadi kebiasaan yang terlalu lama bercokol dalam kehidupannya.
Karena kita semua selalu lupa akan tanggung jawab yang kita miliki. Termasuk saya, terutama saya. 
Saat datang peringatan, entah dalam bentuk seperti apapun, kesadaran akan tanggung jawab itu muncul. Tapi lalu menghilang lebih cepat daripada saat ia muncul. 
Mempertahankan kesadaran akan sebuah tanggung jawab itu tidaklah mudah. Siapa yang bilang itu mudah?
Apalagi jika kita bukan 'hanya sekedar orang biasa', tapi kita adalah seorang yang berkuasa!
With great power comes great responsibility. 
Kekuatan yang besar membutuhkan tanggung jawab yang besar pula.
Kekuatan tersebut bisa berupa apapun. Apapun. Entah itu adalah jabatan, status sosial, banyaknya teman di dunia nyata dan maya (ya, termasuk followers di twitter :p), bahkan jika itu hanyalah merupakan kecantikan dan kepandaian. Dan kesemuanya menuntut tanggung jawab yang juga besar.
Kalau kita bukan hanya sekedar seorang guru, melainkan seorang GURU yang memiliki BANYAK MURID, tentu tanggung jawabnya akan bertambah. Setiap tingkah laku kita akan menjadi contoh bagi peserta didik. Baik atau buruknya perilaku dan ucapan kita akan selalu direkam oleh tiap sel otak peserta didik dan akan turut andil dalam perkembangan karakternya kelak saat mereka beranjak dewasa. 
Jika kita memiliki 100 orang peserta didik dan selama mengajar, kita membiarkan mereka mencontek.. Sesungguhnya kelak jika 10 orang saja diantara mereka ada yang menjadi koruptor, janganlah heran. Sebab disana ada peran kita yang menjadikan mereka seperti itu.
Kesadaran akan peran kita akan menuntun kita kepada rasa tanggung jawab.
Jika kita adalah seorang public figure, entah itu adalah seorang aktris/aktor, penyanyi, jurnalis ataupun bahkan hanya seorang penyiar di salah satu stasiun radio kecil, sesungguhnya kita memiliki pengaruh. Dan percayalah, pengaruh itu tidaklah kecil sekecil ruang lingkup otak kita yang semakin sempit seiring bertambahnya usia. 
Setiap sikap dan tindakan kita akan menjadi ROLE MODEL bagi mereka yang menyimak. Semakin terkenal seorang public figure, akan semakin banyak penggemar yang menyimak. Lampu akan menyorot semakin tajam. 
Oleh karenanya, PENTING untuk memiliki kesadaran akan sebuah tanggung jawab yang semakin besar. 
Seorang penyanyi bisa kedapatan menggunakan narkoba, jangan salahkan fansnya yang menggunakan narkoba. 
Seorang jurnalis yang menggunakan media untuk menimbulkan keresahan atau untuk PROVOKASI atau HASUTAN sungguh sangat tidak mencerminkan perilaku yang bertanggung jawab. Apalagi jika ia melakukannya secara konsisten, teratur dan terencana. 
Hal ini juga berlaku bagi praktisi di media lainnya, seperti radio announcer atau yang lainnya.
Jika kita dianugerahi wajah yang rupawan oleh Tuhan Yang Maha Pemurah, sesungguhnya wahai kawanku, tanggung jawab yang sangat besar menanti kita. Mari berpikir wahai sobat, telah berapa banyak hati yang kita permainkan dengan ketampanan atau kecantikan paras kita? 
Saat seseorang menyukai kita karena paras yang rupawan dan kita memilih untuk MERAYUNYA untuk kemudian MENINGGALKANNYA dalam KEKECEWAAN dan HARAPAN PALSU! 
Itu sangat kejam.. Bahkan itu sangat tidak berperikemanusiaan. ☹ 
Apakah kita, kawan kecilku, berpikir bahwa ada seonggok hati yang LAYAK untuk kita permainkan dengan sedemikian indahnya hingga ia terluka, berdarah dan mungkin bernanah? 
☹ ☹ ☹

Jika kita, satu diantara satu milyar penduduk planet bumi, terpilih untuk memiliki tingkat intelejensia yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata manusia di sekitar kita, sesungguhnya kita sangat beruntung. Namun, sudah berapakah manusia yang tercerahkan oleh anugerah yang kita miliki? 
Atau, sudah berapa manusia yang kita RENDAHKAN dan kita HINAKAN hanya karena kita dan mereka tidak berada dalam level intelejensia yang sama? 
Inilah saatnya intelejensia itu digunakan untuk memikirkan apakah kegunaannya hanya untuk merendahkan atau menghina orang lain. Tidak ada saat lain lagi. Hanya saat ini.
Saat kita berjalan dan berpapasan dengan orang lain, mungkin kita akan merasa superior dengan semua kelebihan yang Tuhan titipkan pada kita. Tapi, apakah orang yang berada di dalam pesawat terbang diatas sana akan dapat melihat kita?

Alangkah bahagianya jika kita dapat menjadi orang yang begitu agung dalam memeluk kesederhanaan.
Menjadi seorang manusia yang bahagia saat orang lain bahagia.
Menjadi guru dan murid bagi anak anak kita.
Menjadi rupawan dalam anggunnya kerendahan hati
Menjadi cerdas dalam lautan kebijaksanaan

Sebelum tiba saat dimana kita tak lagi dapat mengelak atas semua tanggung jawab.. Saat jabatan, status sosial, ketenaran, kecantikan, dan kepandaian tak lagi berguna.. 
Sebelum saat itu tiba...
Masih ada waktu.
Mari berubah menjadi lebih sadar akan tanggung jawab.

(19 Maret 2011. Sebuah keresahan diantara banyaknya pencitraan)

No comments:

Post a Comment