Monday, February 18, 2013

30 HARI PENGAKUAN. DAY 3: FAMILY



You don't choose your family.  They are God's gift to you, as you are to them.  ~Desmond Tutu

Ketika aku menuliskan ini, aku sedang berada jauh dari mereka, keluargaku. Ini adalah pengakuanku tentang sebuah Keluarga.

Aku lahir dan tumbuh dewasa dalam lingkungan keluarga kecil. Di rumah kami hanya ada kami berempat: Ayah, Ibu, Aku dan Adikku. Yah, keluargaku seperti potret Keluarga Berencana: 2 anak cukup! :))
Ayahku, beliau keturunan Ternate, namun dibesarkan di tanah Papua. Orang bilang bahwa 'orang timur' umumnya berwatak kasar dan 'keras'. Tapi tidak dengan Ayahku. Sebagai orang 'timur', beliau sangat lembut dan bisa dibilang pendiam. Aku sangat jarang melihat Ayahku marah. Beliau sangat sabar.
Ayahku bekerja di salah satu perusahaan yang dulunya BUMN, namun sekarang sudah menjadi perusahaan swasta. Pekerjaannya menuntutnya untuk selalu berada jauh dari keluarga. Kerapkali, aku, adik dan Ibuku ditinggal pergi untuk waktu yang sangat lama, bisa berbulan-bulan lamanya. Bahkan konon menurut cerita Ibuku, waktu aku lahir, Ayahku masih berada di pulau seberang (entah Batam atau Bontang, aku lupa :p). Sehingga, orang pertama yang meng-adzankanku bukanlah Ayahku, tapi pamanku. Namun itu tak mengapa :)
Walaupun Ayah sering tidak berada di rumah, hal tersebut tidak mengurangi kedekatan kami, anak-anaknya dengannya. Terutama aku, aku sangat dekat dengan Ayahku. Konsekuensi dari jarangnya Ayah berada dirumah, kami sekeluarga menjadi manusia-manusia "rumahan", yang merasa bahwa tempat yang paling nyaman di bumi ini adalah di rumah. Kami jarang sekali bepergian, kami lebih suka berada di rumah. Saat Ayahku akhirnya pulang ke rumah, kami cukup merasa tau diri dan tidak membebani beliau untuk pergi keluar dan berlibur. Kami paham bahwa Ayah lelah bekerja dan tentunya ingin beristirahat di rumah. Itulah sebabnya hingga saat ini, aku kurang suka yang namanya travelling atau rekreasi atau apalah. Kalaupun ada waktu luangku, aku hanya ingin menghabiskannya bersama orang terdekatku di tempat yang nyaman, bernama rumah :)
Latar belakang pendidikan Ayahku cukup tinggi, sampai saat ini, beliau sudah mengoleksi beberapa gelar dari berbagai bidang studi. Beliau seorang Sarjana Teknik Mesin, Magister Teknik Industri, Magister Manajemen dan kabarnya masih akan mengambil program doktor di Bidang Teknik Informasi.
Jujur, aku tak tau otak Ayahku seperti apa, namun beliau orang yang sangat menyukai pendidikan. Itu pula sebabnya walaupun pekerjaannya sekarang tetap menuntutnya selalu bolak-balik Jakarta-Kaltim, namun di akhir pekan, beliau selalu menyempatkan diri untuk mengajar di salah satu Perguruan Tinggi di Jakarta. Pekerjaan sampingan ayahku adalah seorang Dosen.

Lain halnya dengan Ayahku yang super sibuk, Ibuku adalah seorang Ibu Rumah Tangga. Pekerjaan sehari-harinya adalah mendedikasikan dirinya untuk Ayah, aku, dan adikku. Ibuku lah yang menjaga kami ketika Ayah tak ada di rumah. Ibuku wanita yang hebat, karena tidak pernah mengeluh lelah atau susah saat Ayah tak ada. Beliau yang menggantikan peran ayahku, melewati berbagai hal sulit seorang diri :)
Jika Ayahku berasal dari Indonesia bagian timur, ibuku justru berasal dari Jawa bagian timur. Kadang aku heran, mengapa mereka berjodoh.. Karena banyak hal dari mereka yang sangat berbeda, sehingga sulit menemukan dimana letak kecocokannya. Secara sifat, Ibuku lebih outgoing, lebih extrovert sedangkan Ayahku introvert dan pemalu. Ibuku juga lebih sering berbicara, sedangkan Ayahku lebih suka diam dan kalem. Ayahku orang sains dan sangat lemah dalam bahasa asing, sedang ibuku sangat menyukai bahasa asing. Lalu, mengapa mereka menemukan satu sama lain dan jatuh cinta? Sungguh merupakan sebuah misteri bagiku.
Kurasa, cinta memang merupakan sebuah misteri sejak dulu :)
Aku dan Ibuku tak terlalu dekat, beliau lebih dekat dengan adikku. Entah mengapa mereka seolah memiliki ikatan yang lebih kuat. Saat adikku sakit, pasti Ibuku ikut sakit. Begitupun sebaliknya. Kedekatanku dengan Ibu mulai terasa justru sejak aku pergi dari rumah dan memilih untuk merantau untuk kuliah. Kalau dulu, aku sering merasa bahwa Ibuku hanya memperhatikan adikku, memenuhi semua keinginan adikku, sejak aku merantau, barulah terasa bahwa Ibuku juga begitu memperhatikanku. Apalagi sejak aku dan Ibuku pergi Umroh bersama di tahun 2008, aku makin menyadari kedekatan kami.
Ibuku bukan tipe Ibu yang sangat keibuan. Beliau justru cenderung bertipe ibu yang tangguh. Aku ingat saat aku jatuh dan terluka saat aku kecil, beliau tidak pernah memelukku untuk menghilangkan rasa sakit itu atau menghapus airmataku. Beliau hanya memintaku membasuh lukaku sendiri dan menyodorkan obat antiseptik, agar aku merawat lukaku sendiri. Dulu, aku sangat merasa sakit hati.. Mengapa aku tak mendapat pelukan dari Ibu layaknya seorang anak? Begitu sullitnyakah bagi Ibu untuk mencintaiku? Belakangan, setelah aku dewasa, aku menyadari bahwa itulah cara Ibu untuk membentuk aku menjadi wanita yang mandiri dan tidak cengeng :)

Aku memiliki seorang Adik laki-laki yang usianya berbeda 3 tahun denganku. Sejak dulu, kami sangat akrab. Betapa tidak? Dialah satu-satunya saudara sedarah yang kumiliki. Entah mengapa dalam mindset-ku tertanam kuat pemikiran untuk selalu menjaganya. Sejak kecil, dia sangat lucu dan polos. Kegemarannya adalah bermain video games. Segala jenis games sangat pandai dimainkannya. Nintendo, Super Nintendo, Sega, PS1, PS2, bahkangames di Time Zone! Dia seperti seorang nerd hahaha. Kedekatan kami terus berlanjut seiring kami bertumbuh dewasa. Dia sering bertanya padaku mengenai hal-hal yang tidak dia ketahui, dan aku pun menikmati menceritakan semua pengalamanku kepadanya.
Namun, naas melanda kami saat aku harus meninggalkan rumah untuk Kuliah di saat dia justru harus masuk SMA. Saat dimana dia paling membutuhkan sosok kakak untuk berbagi kisah hidupnya, dia harus kehilangannya. Begitulah konsekuensi dari perbedaan umur kami yang 3 tahun itu. Kuakui jarak Bandung-Bekasi tidaklah terlalu jauh dan sebenarnya akupun tidak juga sama sekali tidak pulang ke rumah di saat liburku. Namun, diawal masa-masa kuliahku yang sangat berat (maklumlah mahasiswa jurusan Teknik), aku akui aku memang tidak lagi memperhatikan dia, seperti dulu. Aku lebih fokus pada hidupku yang sebagai perantau. Mungkin kami tidak siap dengan perubahan yang tiba-tiba ini, sehingga kami merasakan seperti ada jarak yang semakin lama semakin memisahkan kami.
Hingga akhirnya, kami sama-sama dipertemukan kembali di Jogja, Kota pelajar :)
Walaupun akhirnya kami sama-sama tinggal seatap, tetaplah hubungan kami tidak seperti dulu. Kami tumbuh dewasa. Aku memiliki masalah sendiri dalam hidupku yang ruwet dan diapun demikian. Kami tidaklah sedekat yang dulu. Namun, aku tetap menyayangi adik kandungku itu. Inilah proses menjadi dewasa.

Banyak hal yang terjadi pada keluargaku, dan tidak semuanya menyenangkan. Justru lebih banyak menyakitkan. Ada masa-masa sulit saat keluarga kami diambang kehancuran. Pertengkaran selalu mewarnai kehidupan keluarga ini. Ayah bertengkar dengan Ibu atau Aku bertengkar dengan Ibu. Selalu pertengkaran demi pertengkaran, sampai rasanya tiada lagi kedamaian di rumah.
Aku tak tau mengapa begitu banyak pertengkaran di keluarga kami. Padahal kebanyakan penyebabnya hanyalah hal-hal sepele, yang kalau kuingat saat ini, semuanya sangat konyol. Aku masih ingat, betapa seringnya aku dan Ibu bertengkar hanya karena hal sepele, hanya karena aku begitu egois untuk setuju mengalah dalam berpendapat saat bersama Ibu.
Belakangan, aku menyadari bahwa semua pertengkaran dan keributan itu pasti sangat meninggalkan bekas di hati adikku. Makhluk yang tak berdosa yang harus hidup dan menyaksikan semuanya.
Mungkin kami semua lelah dengan semua yang terjadi pada keluarga ini. Mungkin sudah terlalu lama berada dalam situasi negatif. Namun, Tuhan Yang Maha Kuasa dengan takdir-Nya mengubah itu sedikit demi sedikit. Perubahan di keluarga kami mulai terjadi sejak kedua orang tua kami pergi untuk menunaikan rukun islam yang ke-5, yaitu naik Haji di tahun 2003. Sejak itulah, aku merasakan perubahan yang cukup signifikan dalam keluarga dan semua itu dimulai dari kedua orang tua ku. Kesabaran, bersyukur, dan saling menghargai mulai lebih terasa dominan di keluarga kami. Itulah awal dimana aku dan keluarga memulai sebuah kehidupan baru. Hingga saat ini, kami berusaha untuk mempertahankan itu.
Segala kesulitan yang pernah kualami bersama keluarga ini pernah membuatku harus membuat pilihan sulit: lari dan hidup sendiri atau bertahan demi keluargaku (terutama adikku). Berkali-kalipun aku semakin ingin menyerah. Namun pada akhirnya, aku selalu membuat keputusan itu: aku memilih bertahan demi keluargaku. Dan aku takkan pernah menyesali keputusan itu.
Yah, beginilah keluargaku. Tidak sempurna. Ketidaksempurnaan yang membuat kami merasa semakin memiliki keluarga ini. Pernah aku melihat potret keluarga lain, yang (mungkin) lebih bahagia dari keluargaku dan aku merasa iri. Betapa mahalnya sebuah kebahagiaan dalam sebuah keluarga dan aku ingin memilikinya. Namun, saat ini aku kembali berpikir, benarkah potret keluarga yang kulihat itu benar-benar bahagia? atau justru mereka lebih pandai menyembunyikan kesulitannya?
Aku memang tidak dapat memilih keluargaku, memilih Ayah yang selalu ada di rumah dan berada bersama keluarganya setiap saat, memilih Ibu yang lebih keibuan dan penuh kasih sayang yang dapat memelukku setiap saat aku merasa sedih dan sendiri, atau memilih seorang kakak dibanding adik, yang jauh bisa diandalkan. Namun, aku beryukur ada di keluarga ini, karena setiap detik bersamanya telah membentuk diriku apa adanya seperti saat ini. Semua kesulitan telah membuatku kuat, dan setiap kesedihan telah membuatku menghargai kebahagiaan.
Keluarga ini lebih penting daripada eksistensi diriku.
(14 Mei 2011)

No comments:

Post a Comment